Saturday, October 5, 2013

3 Tahun Terperangkap Cinta Dukun Cabul

Jangan mudah terbawa perasaan, lalu memperturutkan apa kata hati. Meski telah dikhianati orang yang paling dipercaya selama ini. Karena akibatnya bisa lebih fatal. Seperti kisah Nita, seorang janda yang dikhianati suaminya. Niatan untuk membalas dendam melalui tangan dukun berbuah petaka. Tiga tahun Nita terperangkap dalam dekapan dukun cabul. Berikut petikan kisahnya sebagaimana disampaikan kepada Ustadz Awaludin dari Ghoib Ruqyah Syar'iyyahcabang Jambi.
Perkenalanku dengan Rian bukan sesuatu yang kebetulan. Kebiasaanku minum es degan di warung depan kampusnya, membuat kami sering bertemu. Terutama jika jam istirahat, kebetulan juga kantor tempatku bekerja letaknya tidak jauh dari kampusnya Rian. Keseringan bertemu dan kesukaan pada menu minuman yang sama membuat kami sering bertegur sapa, bertukar cerita, hingga akhirnya suatu hari ia memberanikan diri ingin mengajakku nonton dan jalan-jalan.
Mendapat ajakan itu, rasanya aku seperti mendapat durian runtuh, bahkan mungkin lebih. Saat itu aku merasa lebih gembira mendengar ajakan Rian daripada informasi kenaikan gaji dan bonus yang akan kuterima bulan depan. Bagaimana tidak, gadis seusia diriku, yang selama ini hanya bisa berhayal mempunyai seorang kekasih… . Oh, belum apa-apa aku sudah membayangkan yang bukan-bukan. Padahal ajakan Rian baru sebatas nonton, jalan-jalan… dan Rian belum menyatakan apa-apa.
Oh …. tidak. Aku harus bisa mengendalikan diri. Meski tidak bisa kupungkiri bahwa dalam hati ini memendam harapan dan rasa cinta.  Aku jadi GR dan sering salah tingkah. Apakah itu yang namanya jatuh cinta? Entahlah, aku tidak lagi mempedulikannya. 

Witing tresno jalaran soko kulino (Jatuh cinta lantaran sering bertemu). Demikian teman-temanku yang dari Jawa sering bilang. Yang kurasakan memang demikian. Seiring dengan perjalanan waktu, Rian pun menyatakan kata hatinya. Satu kata yang selama ini kutunggu-tunggu itu pun menjadi nyata. "Aku cinta padamu," katanya dengan tatapan mata yang lembut.
Setelah hampir 4 bulan kami menyatakan resmi pacaran, rasa cintaku kian membuncah hingga sulit untuk tidak bertemu dengan Rian walau sehari. Sampai aku nekat mencari rumah kost-nya, bila sehari saja aku tidak mendengar suaranya.
Demi cinta, aku juga rela menyerahkan sebagian gajiku untuk keperluan kuliahnya. Ketika orang tuanya menghentikan kiriman uang kuliah karena sudah tidak mampu dan sering sakit-sakitan, aku memberanikan diri menanggung semua keperluan kuliahnya. Meski untuk itu aku harus berbohong pada ibuku dan mulai jarang memberinya uang. Sepotong kue kesenangan ibu pun sudah jarang kubelikan.
Benar kata orang, kekuatan cinta terkadang mengalahkan segalanya. Begitulah yang kualami, yang penting aku masih bisa berdampingan dengan Rian. Aku bersyukur toh akhirnya usahaku tidak sia-sia. Dua tahun kemudian Rian lulus dan menyandang gelar sarjana.
 Sesuai kesepakatan yang telah kami buat, maka 3 bulan setelah wisuda kami menikah. Meskipun rencana pernikahan kami ditentang kakak-kakakku, hanya karena Rian belum mempunyai penghasilan dan perbedaan usia kami. Aku lebih tua 4 tahun dari Rian, tapi aku tetap melenggang. The show must go on, begitu yang terlintas dalam benakku.
Aku tetap bahagia dan kebahagianku semakin komplit manakala seminggu setelah pernikahan, Rian diterima kerja di perusahaan kontraktor. Gajinya memang belum begitu besar bila dibanding dengan gajiku, tapi hal itu tidak menjadi masalah buatku.
Dengan kemampuan seadanya kami pun memilih mencari rumah kontrakan yang lebih baik. Namun ternyata di sinilah awal mula bencana kekisruhan rumah tanggaku.
Rian yang dulu romantis, penyayang dan sangat perhatian langsung berubah. Ia bagaikan srigala berbulu domba. Wataknya yang asli tak lagi dapat disembunyikannya. Dulu, untuk berbicara saja Rian sangat hati-hati, bahkan hampir dibilang tidak pernah berkata kasar. Namun semuanya telah berbalik 180 derajat.
Pada bulan pertama usia pernikahan kami kesalahpahaman mulai sering terjadi. Dari yang paling kecil seperti urusan kebersihan rumah, setrikaan yang kurang rapi, menu makanan yang katanya monoton, hingga seabrek masalah yang ketika pacaran tidak pernah dipermasalahkan, kini sering dijadikan bahan perdebatan. Pertengkaran pun sering terjadi. Bahkan Rian mengumpat dengan kata-kata kotor yang tidak pernah kudengar ketika masa pacaran dulu. Kalau sudah begitu, biasanya aku lebih banyak mengalah, bersabar dan berdo’a, semoga ini hanya ujian sementara yang akan segera berakhir.
 Tapi harapan hanya tinggal harapan. Kenyataannya yang kualami justru semakin parah. Memasuki bulan kedua, Rian mulai berani menghardik dan tega memukulku bila aku menjawab meskipun hanya sekadar untuk membela diri. Akibatnya aku sering melamun. Di tempat kerja pun aku sering menangis. Aku tidak berani mengadukan masalah ini pada kakak-kakakku yang pernah menentang pernikahan kami. Karenanya aku sering sakit-sakitan.
Dalam kondisi seperti itu pun Rian tidak memperhatikan kesehatanku. Sebaliknya, ia sering tidak pulang ke rumah dengan alasan lembur kerja. Meski sejujurnya aku juga bersyukur bila ia tidak di rumah karena setidaknya caci maki dan tamparan tidak kuterima, yang biasanya hampir setiap hari menderaku.
Memasuki bulan ketiga adalah puncak perlawananku. Aku yang semula hanya menerima atas perlakuannya yang kasar sudah berani melawan. Akibatnya pertengkaran kami sering mengganggu tetangga. Bukan hanya sekadar suara bentakan tetapi pecahan perabot rumah pun hampir selalu ada pada setiap pertengkaran.
Rumah tanggaku yang belum genap seumur jagung kurasakan bagai neraka saja. Terlebih ketika aku tahu Rian menjalin cinta dengan wanita lain di tempat kerjanya. Hatiku meradang. Emosiku semakin tidak terkendali. Jika semula Rian yang memulai pertengkaran, justru kini akulah yang lebih sering menyerang dan memukulnya dengan apa saja yang ada di sekelilingku. Aku sering mengamuk seperti orang kesurupan, hingga pada akhirnya suatu hari pukulan telak Rian bersarang di dadaku. Aku terjerembab dan tak sadarkan diri.
Terpedaya dendam kesumat
Melalui proses yang agak rumit akhirnya gugatan perceraianku dikabulkan oleh KUA, meskipun sampai sekarang Rian tidak mau menandatangani surat talaknya itu. Jadilah aku menyandang gelar janda. Saat itu aku merasa menjadi manusia yang merdeka. Aku merasa telah terbebas dari sebuah himpitan batu yang sangat berat, meskipun aku harus memulai hidup dengan kesendirian lagi. Ahbiarlah…toh aku masih muda dan masih bisa mencari pria lain, pikirku saat itu. Pokoknya yang penting aku telah bebas dari cacian, makian, tamparan dan berbagai pertengkaran dengan orang yang tidak tahu diuntung.
 Sejalan dengan berlalunya waktu, ternyata aku tidak bisa melupakan Rian. Mungkin karena dia adalah lelaki pertama yang membuatku terpesona. Kenangan indah itu tetap tidak bisa terhapus oleh perangainya yang kasar. Jujur, bayangan wajahnya, senyumnya, candanya, sesekali melayang di ingatanku. Satu kenyataan yang membangkitkan rasa rindu. Secara sembunyi-sembunyi, aku sering mencari informasi tentang dirinya. Tapi justru di sini, aku terjebak pada praktek perdukunan.
Ketika aku mendengar Rian akan menikah, entah mengapa dada ini rasanya sesak. Aku sadar Rian bukan suamiku lagi. Tapi kesan ia masih mencintaiku tidak bisa terhapus dari sorot matanya, saat ia menjengukku di rumah sakit. Satu hal yang membuatku masih sedikit berharap Rian akan kembali ke pangkuanku.
 Namun, setelah mendengar berita rencana pernikahan Rian, tiba-tiba aku jadi dendam. Amarah yang selama ini telah terkubur dalam-dalam, bangkit bak hantu gentayangan yang siap membalas dendam.
Aku menghubungi Mbah Kiro, yang katanya, dukun mumpuni.  Setelah memenuhi berbagai persyaratan, aku sampaikan niatku agar ia mau membantuku menjadikan Rian dibenci oleh kaum hawa dan agar tidak ada seorangpun mau dinikahinya.
Aku sempat terperangah ketika mendengar kabar perkawinan Rian benar-banar batal. Konon, mempelai wanita menolak menikah dengan lelaki yang katanya sering mirip monyet.
 Dari Mbah Kiro, aku mendapat jawaban bahwa ia mengirim jin monyet untuk merasuki raga Rian. Saat itu yang kutahu aku puas dendamku telah terbalaskan.
 Digerayangi dukun cabul
 Setelah 3 tahun menjanda hasrat kewanitaanku lebih sering tidak terkendali. Aku merasa kesepian. Aku kembali mendatangi Mbah Kiro untuk mohon pertolongan agar didekatkan jodoh buatku. Mulai dari ritual mandi kembang, pasang susuk, dan topo rendem(direndam tengah malam) kujalani dengan penuh harapan semoga jodohku akan segera datang. Nyatanya sampai 6 tahun usia jandaku tetap saja belum ada laki-laki yang serius ingin menikahiku. Kalaupun ada yang dekat padaku biasanya hanya ingin sesuatu yang tidak semestinya. Maka bila gelagat yang tidak baik itu muncul akulah yang harus bersusah payah menghidarkan diri. Alhamdulillah, Allah masih menguatkan imanku untuk tidak terjebak pada bujuk rayu laki-laki iseng, meski kuakui hasrat kewanitaanku juga sedang menggelora.
Melalui informasi seorang teman, aku diajak berkunjung ke 'orang pintar' lainnya. Orang-orang sering memanggilnya Ustadz Mali.  Jaraknya tidak terlalu jauh dari kota tempat tinggalku. Katanya, ia menggunakan metode zikir dalam membantu pasiennya.
Benar saja, pada hari pertama aku dibuatnya menangis. Banyak sekali nasehat dan pesan yang disampaikan bahwa aku harus tegar dan sabar. Kesejukan dan kedamaian hati dalam menerima nasehat-nasehatnya membuatku sering berkunjung ke tempat prakteknya. Pada mulanya memang hanya diajak zikir, sholat sunat hajat bersama, dan dengan jamaah lainnya aku jadi rutin setiap minggu berkumpul. Hingga suatu hari Ustadz Mali mengatakan, menurut wangsit yang ia terima aku terkena guna-guna dari seorang dukun yang ciri-cirinya mirip sekali dengan Mbah Kiro.
Untuk menghilangkan pengaruh sihir, aku harus dimandikan dengan air yang diambil dari 9 tempat yang berbeda. Lagi-lagi aku hanya bisa menuruti perintahnya. Aku dimandikan oleh Ustadz Mali. Setelah itu diajak sholat hajat hanya berdua saja.
Tiga hari kemudian, sesuai dengan anjurannya, aku datang kembali untuk dimandikan lagi. Jika pada mandi yang pertama, aku masih mengenakan pakaian lengkap, maka pada mandi yang kedua harus tanpa busana dan hanya ditutupi kain sarung sebatas dada. Setelah itu aku diajak sholat hajat berdua.
Tiga hari kemudian aku masih disuruh datang untuk mandi yang terakhir. Katanya sebagai pungkasan adalah air yang telah dimantra dengan wirid selama 3 hari 3 malam. agar pengaruh sihir itu benar-benar hilang dari tubuhku. Katanya, kali ini Ustadz Mali sendiri yang harus menggosok tubuhku dengan bubuk batu bata yang sudah dihaluskan. Aku kembali tidak berdaya menolak perintahnya. Karena aku masih yakin ia benar-benar ingin menolong kesulitanku, maka kuiklashkan semua tubuhku dilulur langsung oleh tangan Ustadz Mali.
Namun, malam harinya aku tidak bisa tidur. Akal sehatku mulai berpikir jernih, bagaimana mungkin seorang yang mengaku ustad memelototi dan meraba pasiennya dengan mata dan tangan telanjang? Keesokan harinya aku berontak dengan menghubunginya via telepon. Dengan panjang lebar ia menjelaskan bahwa semua itu adalah tahapan prosesi yang memang harus dilalui jika aku ingin terbebas dari pengaruh sihir jahat yang telah mendarah daging dalam tubuhku.
Aku kembali tidak berdaya mendengar ceramahnya. Bahkan katanya masih harus ada dua tahapan lagi yang harus kulalui. Meski pada mulanya gamang akhirnya prosesi selanjutnya tetap aku penuhi demi satu keinginan agar pengaruh sihir sebagaimana yang ia sampaikan benar-benar hilang.
Akan tetapi prosesi terapi lanjutan itu lebih gila dari sebelumnya. Katanya tubuhku harus dirajah dengan air susu yang diambil dari (maaf) payudaraku sendiri. Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, aku menurut saja. Pada prosesi yang terakhir aku sempat berontak. Saat itu, tubuhku harus dirajah dengan air yang diambil dari (maaf) liang kemaluanku. Meski semula aku sangat berontak keras tapi entah bagaimana akhirnya aku menyerah. Setelah mendengar penuturannya aku tidak kuasa menolaknya.
Dua prosesi terakhir itu, kuanggap prosesi yang paling jorok dan konyol. Oh… aku jadi malu sendiri. Aku jadi merasa hina mengingat semuanya. Setelah itu dia berjanji bahwa paling lama seminggu sejak prosesi terakhir, akan datang seorang laki-laki yang ingin memperistriku.
'Ditiduri' dukun cabul 
Belum genap sepekan sejak prosesi terapi terakhir aku makin sering resah dan gelisah. Pikiranku selalu teringat nasehat-nasehat Ustadz Mali. Wajahnya selalu menari-menari di benak kepalaku dan seperti ada dorongan yang sangat luar biasa datangnya dari dalam diriku untuk segera bertemu. Semakin kutahan rasa rindu itu, malah semakin membuatku tersiksa. Aku telah dibuatnya setengah gila. Sampai pada akhirnya aku benar-benar dibuat tidak berdaya dan harus rela menerima segala perlakuannya yang seharusnya tidak boleh terjadi.
 Idul Fitri tahun 2006, genap 9 tahun aku menyandang status janda. Aku sengaja tidak pulang ke rumah Ibuku yang kini menetap di Palembang. Sementara semua saudaraku berkumpul di sana. Aku lebih memilih berkunjung ke rumah kakakku yang berada di kota Jambi. Di sinilah pada mulanya aku kenal dengan kalimat Ruqyah Syar’iyyah melalui Vivi, teman sekantor kakakku. Bahkan dia menyarankanku mengikuti terapi ruqyah. Beberapa keluarganya juga telah banyak yang tertolong melalui terapi ruqyah.
Semula aku tidak menghiraukan anjuran itu. Lagian menurutku paling-paling ustadnya juga sama dengan Ustadz Mali yang sampai waktu itu masih sering membuatku mabuk kepayang.
 Pertama kali berkunjung ke GRS Jambi, jujur kukatakan bahwa aku setengah dipaksa. “Lihat saja dulu, konsultasi dulu, nggak usah terapi juga nggak apa-apa kok,” tegas vivi. Aku menurut saja. Tetapi setelah melihat secara langsung sejak pendaftaran, tausiah, konsultasi dan terapi, aku mulai bisa menyimpulkan bahwa terapi ruqyah di GRS Jambi, memang berbeda dengan prakteknya Ustadz Mali. Terlebih ketika mendengar penjelasan tentang ruqyah secara panjang lebar, akal sehatku langsung menerima dan akhirnya aku menyadari bahwa selama ini ternyata aku terjebak oleh praktek dukun cabul yang menggunakan label Ustadz.
Sekarang aku membiasakan diri mengenakan jilbab jika berkunjung ke GRS cabang Jambi. Sungguh ini ajakan moral yang tidak pernah kudengar dari Ustadz Mali yang lebih senang melihatku tampil modis. Pada kunjungan ketiga aku mulai memberanikan diri untuk ikut terapi. Diluar dugaanku, kata Vivi, aku mengamuk sejadi-jadinya dengan bahasa Jawa dan dialeg Rejang Lebong (bahasa daerah). Padahal aku asli Palembang yang tidak mengerti kedua bahasa itu.
Kata Vivi, jin yang mengaku dari Mbah Kiro menuntut balas, karena aku tidak pernah mengunjungi Mbah Kiro tetapi malah pindah ke dukun lain. Sedangkan jin yang menggunakan bahasa Dialeg Rejang mengaku, kalau ia sengaja disuruh menjaga tubuhku oleh Ustadz Mali.
“Sudahlah tidak usahdipercaya omongan jin. Meski ada yang benar, tetapi lebih banyak bohongnya,” kata Ustadz Juanda menjelaskan. Jadilah aku pasien tetap yang dijadwal setiap minggu. Anehnya, setiap sehabis terapi Ruqyah Ustadz Mali selalu tahu. Melalui telepon, ia selalu mengancam akan membunuhku bila tidak segera pulang ke Bengkulu.
Puncaknya, aku menjadi paranoid dan ketakutan yang luar biasa. Untuk ke kamar mandi saja takut. Kaset Ruqyah yang dibekali dari GRS cabang Jambi untuk membantu terapi harianku seperti rusak dan kusut. Tapi ketika Vivi menghidupkan di walkmannya suaranya terdengar jelas. Ketika kudengarkan, yang keluar justru suara orang yang sedang bersenandung lagu Rejang Lebong.
Alhamdulillah berkat ketekunan dan kesabaranku menjalani terapi yang sudah tidak terhitung jumlahnya, akhirnya gangguan di telingaku hilang. Namun sebaliknya setiap kali terapi ruqyah, jin yang di dalam tubuhku hanya mau keluar lewat (maaf) pipis. Sekarang aku benar-benar menyesali perbuatanku selama ini. Karena dendam pada mantan suami, ternyata aku terseret pada lembah kemusyrikan.
Melalui tausiah dan nasehat di GRS cabang Jambi, aku menemukan segelas air yang benar-benar mampu menghapus kotoran jiwaku.  “Banyaklah beristighfar dan sujud malam, Allah pasti menolong kita. Jangan suka dendam, karena dendam tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Tapi menyadarkan musuh justru itulah sikap yang paling bijaksana”. Tausiah seperti ini akan tetap kuingat. Dalam sujudku, aku hanya berharap semoga Allah mengampuni kesalahanku dan mempertemukanku dengan lelaki yang menyayangiku.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/ 

0 comments:

Post a Comment