Friday, September 27, 2013

Ruqyah untuk memperoleh keturunan


PASIEN SELAMA 4 TAHUN MENIKAH TIDAK MENDAPATKAN KETURUNAN.


1)   Ialah seorang wanita karir yang telah 4 tahun menikah tetapi belum ada tanda-tanda kehamilan. Padahal menurut hasil penelitian medis pasangan suami istri ini normal (tidak mandul) dan tidak ada gangguan apapun.
2) Selama dalam proses ruqyahnya pasien mengalami kehilangan kesadaran (kesurupan). Dan menurutnya dalam penglihatan ghaibnya ia melihat ada makhluk dari golongan jin bertubuh kecil dan berkepala tanpa rambut (gundul) yang menghalang-halangi pada rahimnya dan memakan sari dari spermanya,  sehingga sperma masuk kedalam rahim menjadi hampa tanpa benih.
3) Setelah saya terapi dengan RUQYAH SYARIYYAH selama 8 kali, Alhamdulillah Allah menumbuhkan benih keturunan.
4)      Kira-kira 4 bulan setelah ruqyah saya di hubungi oleh pasien bahwa ia telah hamil 40 hari.
5)   Hingga saat ini putranya telah berusia 3 tahun, dan sebagai rasa syukurnya setiap kali ulang tahun putranya saya selalu diundang dengan membawa anak-anak yatim.



Kesembuhan hanyalah milik Allah 




Thursday, September 26, 2013

Pasien Kebal dengan Listrik


PASIEN YANG KEBAL DENGAN ARUS LISTRIK, AIR PANAS,  LUKA SERTA MEMILIKI  INDERA KEENAM


Ialah pasien seorang perempuan kira-kira berumur 38 tahun yang berprofesi sebagai penjual warung nasi (warteg).

Kondisi Pasien:

Secara lahiriyah  dia bukan seperti orang sakit karena dia masih beraktivitas seperti biasa dan tidak memiliki keluhan yang terlihat oleh orang lain.  Namun setelah dia cerita hal yang di hadapinya ternyata dia mempunyai keluhan yang luar biasa, antara lain:
1)      Dia pernah terkena konsleting arus listrik pada setrika tetapi dia tidak merasakan apa-apa, padahal telapak tangannya lengket dengan setrikaan tersebut.
2)      Setiapkali dia mengangkat panci / penggorengan panas dari atas kompor dia tak merasakan panas sama sekali, padahal tanpa alas tangan / kain.  Dan selama dia memasak di dapur dia tidak pernah merasakan hawa panas (berkeringat).
3)      Selama dia berjualan (38 tahun) belum pernah terkena pisau sedikitpun ketika mengiris-iris bumbu masak. Karena setiap mata pisau itu hendak mengenai tangannya, tiba-tiba pisau itu berhenti sendiri seolah-olah ada yang menahannya.
4)      Dia memiliki indera keenam, antara lain:
a.       Mengetahui setiap kali hendak kedatangan tamu ke rumahnya.
b.      Dapat memperediksi siapa yang akan lolos dalam pemilihan seperti Kepala Desa, Walikota, Anggota DPR hanya dengan melihat gambar / fotonya.
c.       Bisa mengobati penyakit kanker payudara hanya cukup di usap pada bagian yang sakit langsung sembuh seketika.
d.      Dapat mengobati seseorang yang kakinya tergores pecahan keramik hanya dengan usapan tangan kanannya dan luka tersebut langsung sembuh tanpa bekas luka sedikitpun.
5)      Setiap malam dia merasakan sakit yang luar biasa akibat kram pada kedua betisnya. Anehnya setiap kram itu muncul, betisnya itu nampak seolah-olah terbelah dan disaksikan oleh suaminya. Dan setiap gejala ini muncul si pasien menangis kesakitan, dan ini biasanya muncul tengah malam.
6)      Kepala bagian ubun-ubun dan telinga terasa sakit yang sangat menusuk seperti ditusuk pisau.
7)      Sekujur badannya terasa keras membatu.
8)      Dan masih banyak keluhan-keluhan lainnya.

Al-hamdulillah, setelah saya terapi dengan RUQYAH SYAR’IYYAH keluhan-keluhan itu berangsur-angsur menghilang tidak muncul lagi.



Kesembuhan hanyalah milik Allah 




Gula Darah


GULA  DARAH / DIABETES


Ialah seorang perempuan kira-kira berumur 53 tahun yang menderita sakit gula cukup parah selama lebih dari 4 tahun.

Kondisi Pasien:

1.     Kadar gulanya mencapai lebih dari 600 mg/dl
2.      Jari-jari kakinya membusuk dan sulit berjalan.
3.      Keluhan sakit yang dirasakan antara lain:
1)      Seluruh bagian kepalanya terasa sakit sekali dan penglihatannya buram dan bicaranya tidak jelas.
2)      Seluruh jari-jari tangan  sakit dan kebas, begitu pula jari-jari kedua kakinya.
3)      Dada terasa sesak dan bagian sekeliling perut terasa sakit yang luar biasa jika di sentuh, sehingga ia tidak dapat meliukkan badannya.
4)      Bagian pinggangnya terasa sakit sekali jika di sentuh / dipegang. Pasien juga tidak kuasa mengangkat keatas kedua tangannya karena sakitnya.
4.      Pasien sudah berikhtiar kemana-mana untuk berobat, baik medis maupun non medis.
5.      Alhamdu lillah, setelah saya terapi dengan RUQYAH SYAR’IYYAH selama 6 kali Allah memberikan obat yang luar biasa. Yaitu: Rasa sakit di kepala hilang, penglihatan menjadi terang, bicaranya menjadi jelas, dadanya terasa lega, pinggang tidak sakit lagi, bisa menggerakkan kedua tangannya keatas dan jalannya semakin baik.



Kesembuhan hanyalah milik Allah




Tuesday, September 24, 2013

PENYAKIT ASMA  LEBIH  DARI  75  TAHUN

Ialah seorang kakek yang sudah berusia 85 tahun, ia menderita sakit asma sejak usia anak-anak.

Kondisi Pasien:
1)      Sesak nafas, sehingga ia harus bergantung dengan bantuan oksigen.
2)      Hilangnya nafsu makan, jika dipaksa makan malah muntah.  
3)   Selama sakit, pengobatan telah di jalani diberbagai tempat, baik pengobatan medis (dokter dan herbalis) maupun non medis (para normal / orang pintar).
4)      Alhamdu lillah atas idzin Allah penyakit asma yang sudah begitu lama bisa sembuh setelah saya terapi RUQYAH SYAR’IYYAH  selama 10 kali.


Kesembuhan hanya milik Allah






SHALAWAT AGAR BISA PERGI HAJI



SHALAWAT AGAR BISA PERGI HAJI


اَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ صَلاَةً تُبَلِّغُنَا بِهَا حَجَّ بَيْتِكَ الْحَرَامِ وَزِيَارَةِ قَبْرِنَبِيِّكَ, عَلَيْهِ اَفْضَلُ الصَّلاَةِ وَالسَّلاَمِ وَعَلَى اَلِهِ وَصَحْبِهِ وَبَارِكْ وَسَلِّمْ, وَالْحَمْدُ للهِ رَبِّ اْلعَالمَِينْ.

Alloohumma sholli wa sallim wabaarik ‘alaa sayyidinaa muhammadin sholaatan tuballighunaa bihaa hajja baitikal haroom, waziyaaroti qobri nabiyyika ‘alaihi afdholush-sholaati wassalaam,  wa’alaa  aalihii washohbihii wabaarik wasallim. walhamdu lillaahi robbil ‘aalamiin.
“Ya Allah, berilah rahmat, keselamatan dan keberkahan atas nabi Muhammad, yang dengan shalawat itu Engkau sampaikan kami kepada haji ke tanah haram dan berziarah makam nabi-Mu,  untuk beliau utama-utamanya shalawat dan salam dan untuk keluarga, sahabat beliau dan berkahilah serta selamatkanlah. Segala puji bagi Allah Tuhan semesta alam.”

Keterangan:

Bacalah shalawat diatas 3 x selesai shalat wajib dengan khusyu’, lalu berdoalah dengan bahasa kita, semoga Allah meridhoinya. Amin.



Doa Mengantar Orang Pergi Haji

زوّدك الله التقوى وغفر ذنبكَ ويسّر لك الخيرَ حيثما كنتَ
“Zawwadakalloohuttaqwaa Wa ghofaro dzanbaka Wa yassaro lakalkhoiro haitsu maa kunta”
(Semoga Allah memberi bekal takwa kepadamu, Semoga Allah mengampuni dosamu semogamemberimu kemudahan dimanapun kamu berada).



Doa Menyambut kedatangan Haji

وحجّا مبرورا وسعيا مشكورا وتجا رة لن تبور
"Wa hajjan mabruuron wa sa’yan masykuron wa tijaaratan lan tabuur"


(Menjadi haji yang mabrur, usahanya penuh syukur dan perniagaan yang tidak pernah rugi).







Saturday, September 21, 2013

KISTA HILANG SETELAH RUQYAH MANDIRI

oleh Apih Dudy Cahyadi

Saya hanya bisa mengucapkan Alhamdulillah sebagai wujud rasa syukur saya ketika hal diatas terjadi 3 pekan yang lalu. Saya sangat bersyukur karena bisa membantu meringankan beban masalah yang dihadapi saudara kita dan bersyukur karena untuk sekian kalinya Al Qur’an menunjukan keajaibannya.

Sekitar 3 pekan lalu, hari jumat malam sepasang suami istri datang ke rumah untuk ruqyah. Setelah panjang lebar penjelasan tentang ruqyah saya sampaikan, sang istri menyampaikan keluhannya bahwa beberapa hari (sekitar 1 pekan) badannya terasa berat dan pusing. Beliau memang sering pusing dan tidak sadarkan diri, tensi juga rendah, tapi pusing yang beliau rasakan sejak 1 pekan ini terasa lain dari pada pusing biasanya. Itulah alasan beliau sehingga memutuskan untuk ruqyah dan datang ke rumah.

Selain itu, beliau juga bercerita tentang riwayat kesehatannya, diantaranya adalah beliau saat ini sedang kena kista, panjang sekitar 3,5 cm, dan ada masalah di ginjal, namun beliau tidak merinci masalah apa. Salah seorang saudaranya, seorang dokter, mengatakan bahwa kista harus diangkat. Demikian juga saudara yang lain juga menyarankan hal yang sama, yakni menjalani operasi. Beliau diminta segera melakukan observasi di salah satu rumah sakit di luar kota, dan jadwal observasi telah ditentukan, hari Rabu depan.

Saya jelaskan kemungkinan lain bahwa kista juga bisa disebabkan oleh gangguan jin. Hal ini pernah dialami oleh salah satu pasien ruqyah saya beberapa tahun yang lalu. Dan Alhamdulillah sembuh, bahkan panjangnya sekitar 5 cm. Namun saya tetap menganjurkan beliau untuk melakukan observasi hari Rabu. Tapi saya minta, jika jadwal operasi bisa ditunda, saya minta beliau untuk menunda waktu operasi sekitar 2 pekan, dan semaksimal mungkin menjalani ruqyah mandiri selama 2 pekan tersebut.

Ruqyah pun saya mulai. Reaksi yang beliau rasakan diantaranya perut dan sekitar rahim terasa seperti ditarik-tarik, berat dipunggung dan pusing jauh berkurang. Kemudian untuk terapi mandiri beliau saya minta membaca salah satu surat dalam al Qur’an dan maksimal selesai dalam 1 hari, selain itu beliau juga saya minta minum air ruqyah tiap hari.

Beliau menyampaikan bahwa selama melakukan ruqyah mandiri dan minum air ruqyah, reaksi yang paling dominan adalah panas di perut. Hari kamis saya dapat kabar bahwa beliau telah menjalani observasi di salah satu rumah sakit di luar kota pada hari rabu, dan hasil observasinya menyatakan…..kista telah tidak ada dan kondisi ginjal bagus.

Alhamdulillah, ini pelajaran berharga bahwa Al Qur’an memberikan manfaat yang luar biasa bagi kita. Bagi Anda yang sedang sakit cobalah membaca Al Qur’an, mohonlah kesembuhan dengan membacanya. Ruqyah atau terapi dengan Al Qur’an tidak bertentangan dengan pengobatan medis,. Tetaplah datang kepada dokter dan jalani pengobatan secara medis, tetapi pada saat yang sama perbanyaklah membaca Al Qur’an dengan niat memohon kesembuhan. Dengan demikian pengobatan dhohir dan ruhani berjalan bersamaan. InsyaAlloh, mudah-mudahan manfaat dan hikmahnya akan lebih besar bagi kita.

Semoga kisah ini menjadi motivasi dan harapan baru bagi saudara-saudara kita yang sedang diuji oleh ALLOH dengan sakitnya.

Wednesday, September 18, 2013

Ajian pengasihan membawaku kencan dengan tujuh belas cewek

Lira, 22 tahun, karyawan swasta.

Ajian pengasihan membawaku kencan dengan tujuh belas cewek

Play boy SMA. Lira pantas mendapat julukan itu. Ia suka bergonta-ganti pacar. Tak kurang dari tujuh belas cewek sempat mampir di hatinya, saat ia masih berseragam putih abu-abu. Fantastis. Tujuh belas bukan jumlah yang sedikit. Mengapa begitu banyak cewek yang tergoda? Apa rahasianya? Lira menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.

Palembang, 2.000

Hari masih pagi. Jarum jam baru menunjuk angka 10. Aku duduk di bawah pohon rindang di samping sekolah. Sudah lima menit kutinggalkan ruangan kelas dengan segala hiruk pikuknya. Aku ingin menyendiri, menghilangkan segala keresahan yang ada. Kupilih pohon rindang itu, karena tak seorang pun ada di sana. Sebagian teman memilih bermain bola. Ada juga yang bertahan di ruangan kelas atau ke kantin.

Keceriaan teman-teman yang bermain bola plastik di halaman sekolah tak lagi menarik perhatianku. Aku larut dalam kesendirianku. Aku terduduk lesu menatap sepasang muda-mudi yang duduk berdua di kantin sekolah. Linda dan Santo.
Kebersamaan mereka mengusik ketenanganku. Linda. Gadis manis itu sedang mengobrak-abrik perasaanku.  Kebersamaannya dengan Santo mengoyak-oyak hatiku. Mencabik-cabiknya hingga berkeping-keping. Aku tak menyangkal, bila hatiku tertarik dengan gadis berambut panjang itu. Rambutnya yang hitam tergerai bertambah manis dengan pipinya yang lesung.

Masalahnya, aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan isi hatiku kepada Linda. Selama ini perasaan itu hanya kupendam sendiri. Perasaan malu dan rendah diri lebih menguasai diriku. Lantaran asal-usul diriku yang bukan berasal dari keluarga kaya. Tidak punya motor, seperti Santo atau teman-teman lainnya.

Ke sekolah pun hanya jalan kaki. Dengan uang saku yang pas-pasan. Untuk memenuhi kebutuhanku sendiri saja, masih kekurangan apalagi bila harus buat pacaran.  Secara materi aku memang kalah segalanya. Berbagai pikiran negatif itu membunuh semangatku.

Dentuman bel tanda berakhirnya jam istirahat membuyarkan lamunanku. Aku masuk ke dalam kelas dengan lesu. Tak ubahnya seorang pemain yang kalah dalam pertandingan. Hari-hariku pun terasa hambar. Semangat belajarku pun hilang.

Mata hatiku seakan telah tertutup oleh pandangan yang sempit. Untuk mendapatkan cinta seorang gadis bukan hanya mengandalkan kekayaan. Masih banyak peluang dan kesempatan untuk memikat hatinya. Sukses dalam pelajaran atau jago basket misalnya.

Aku ingat, dulu, aku pernah mengutarakan kata hatiku kepada seorang gadis teman sekelas. Sebut saja namanya Nia. Kukatakan kata hatiku, layaknya seorang laki-laki jagoan. Yang berani mengatakan apa adanya. Dengan dada membusung, kuungkapkan perasaanku. I love you, kataku mantap, ketika kami sedang berduaan di kelas.

Nia terperangah mendengar kejujuranku. Kutangkap guratan tidak percaya di wajahnya. Selama ini hubungan kami memang dekat. Dan aku pun tidak ragu-ragu menunjukkan simpatiku kepadanya. Masalahnya, Nia hanya menganggapku sebatas teman biasa. Tidak lebih.

"Maaf ya, Lira, aku tidak mau pacaran. Biarlah kita berteman saja," katanya setelah terdiam beberapa saat. Beberapa bulan sebelumnya, aku juga sempat mengatakan hal yang sama kepada gadis lain. Waktu itu pun cintaku ditolak.

Semenjak penolakan Nia, aku tidak berani mengutarakan kata hatiku kepada gadis lain. Aku hanya memendam perasaan itu dalam hati. Karena aku tidak ingin sakit hati untuk yang kesekian kalinya. Bukan karena tidak mau pacaran, Nia menolak cintaku. Tapi lebih disebabkan oleh keadaanku yang serba kekurangan. Buktinya, Nia sudah bergandengan tangan dengan cowok lain. Ia pacaran dengan Taufik, hanya berselang dua minggu setelah menolakku. Berkali-kali kulihat mereka berboncengan sepeda motor sepulang sekolah.

Aku berpacaran dengan tujuh belas gadis

Sebagai seorang remaja, yang terbiasa hidup keras, aku tidak mau menyerah. Kekuranganku secara materi tidak boleh membuatku larut dalam kesedihan. Aku bertekad untuk menjalani masa remaja seperti halnya teman-temanku yang lain. Berpacaran dan tidak minder, meski mereka juga tidak punya sepeda motor.

Kutempuh jalan pintas. Aku meminta bantuan kepada seorang dukun yang terkenal kesaktiannya di kampungku. Terus terang kukatakan bila aku ingin menjadi muridnya. Aku ingin seperti dirinya yang disegani dan menarik perhatian wanita. "Pak, saya ini orang susah. Jadi saya minta tolong, saya dikasih sesuatu agar punya keberanian mendekati cewek. Agar orang-orang segan kepada saya."

Gayung bersambut. Lelaki empat puluhan tahun yang biasa dipanggil Pak Sarno itu memenuhi permintaanku. "Datang saja ke rumahku malam Legi.  Jangan lupa untuk membawa bunga tujuh warna," katanya.

Meski awalnya, aku tidak mengerti mengapa harus membawa bunga tujuh warna. Tetap saja permintaannya itu kupenuhi. Pada malam yang dijanjikan aku datang tepat waktu. Jam sembilan. Setengah jam kemudian, Pak Sarno memulai ritual mandi kembang.

Setelah mandi kembang itu, Pak Sarno membekali diriku dengan minyak wangi yang harus dioleskan di alis sebelum keluar rumah. Selain itu, ia menyebutkan pantangan yang tidak boleh dilanggar. "Ada dua pantangan yang tidak boleh dilanggar,” katanya dengan mimik serius. “Pertama, tidak boleh berpacaran dengan wanita yang sudah bersuami. Yang kedua, tidak boleh melakukan hubungan di luar nikah," ujarnya sambil menyodorkan botol minyak wangi.

Kupenuhi saran Pak Sarno. Wiridan-wiridan yang harus dibaca setelah shalat pun kujalankan. Hasilnya, langsung terasa setelah lima kali mandi kembang. Rasa percaya diriku meningkat tajam. Aku tidak lagi merasa rendah diri di hadapan wanita, meski aku tetap seperti kemarin. Masih tidak punya motor, serta uang saku yang pas-pasan.

Sasaran pertamaku adalah Nia yang kuanggap telah meninggalkan luka yang mendalam. Ia yang kini telah berpacaran dengan orang lain, kembali kudekati. Di hadapannya, aku tidak menunjukkan rasa dendam atas penolakannya. Aku bersikap biasa, seakan tak pernah kecewa. Aku mendekatinya dengan ungkapan kata-kata lucu yang mengundang tawa.

Entah kenapa, pancinganku berhasil begitu mudah. Perangkap yang kupasang ditelan mentah-mentah. Perlahan namun pasti Nia mulai lebih memilih ngobrol denganku daripada dengan pacarnya.

Suatu hari, di saat jam istirahat, kuajak Nia ke samping sekolah. Di bawah pohon yang rindang. Di sanalah dengan tenang kuucapkan kata-kata manis, bahwa aku mencintainya. Kulihat matanya berkaca-kaca. Ia nampak senang mendengar pengakuanku. Sangat jauh berbeda dengan dulu, ketika untuk pertama kalinya kuucapkan kata cinta.

Nia pun tidak menolak, meski ia juga belum memutuskan ya atau tidak. Karena ia merasa masih menjadi kekasih orang lain. Dua hari kemudian, jawaban atas cintaku terdengar. Di tempat yang sama, Nia menyatakan cintanya. Ia juga mengatakan telah memutuskan cinta dengan pacarnya.

Hari-hariku berubah. Setiap ada kesempatan aku dan Nia selalu mojok berdua. Saat istirahat atau sepulang sekolah. Aku tidak mengajak Nia kemana-mana. Kami hanya ngobrol berdua di sekolah. Membicarakan banyak hal. Bercerita tentang apa saja.

Semakin lama, Nia semakin sayang kepadaku. Di sinilah niat jahat dalam diriku mulai muncul. Aku ingin membalas dendam atas perbuatan Nia yang dulu menolak cintaku. Aku ingin ia merasakan penderitaan yang sama. Betapa sakit rasanya patah hati.

Nia yang seakan tidak mau berpisah dengan diriku itu sengaja kubuat hatinya terluka. Kuputuskan cintanya. Nia menangis. Ia tidak mau bila harus berpisah denganku. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau menarik kembali kata-kataku. Tinggallah berduaan dengan Nia menjadi kenangan tersendiri dalam diriku.

Selepas meninggalkan Nia, aku mencari sasaran baru. Siapa cewek yang dapat kudekati. Setelah pilah-pilih, aku menemukan seorang gadis yang masih berdekatan dengan Nia. Namanya, Trias. Ia teman dekatnya Nia. Selama ini mereka sering jalan berdua. Mereka teman karib.

Kupasang kembali jebakan yang sama. Dengan banyak bercerita yang lucu serta kepercayaan diri yang tinggi. Beberapa hari aku mendekati Trias hingga akhirnya berhasil juga. Kukatakan, bila aku sudah putus dengan Nia.

Aku juga tidak mengerti mengapa Trias mau menerima uluran tanganku. Padahal dia tahu aku dulu berpacaran dengan Nia. Dia tidak mengerti bila aku sengaja memperalat dirinya untuk menyakiti hati Nia.

 Saat jam istirahat, aku sengaja menemui Trias di kelasnya, ketika Nia juga ada di sana. Kuperhatikan, tatapan matanya. Ia kecewa dengan kedatanganku. Ia pun melengos dan meninggalkan ruangan kelas. Kesedihan Nia tak membuatku merasa bersalah. Aku enjoy saja ngobrol berdua dengan Trias.

Sejak itu, aku menjadi petualang cinta. Lepas dari satu wanita beralih ke wanita yang lain. Rata-rata mereka masih sekolah denganku. Meski ada juga yang berasal dari lain sekolah.

Pernah, dalam waktu yang sama aku berpacaran dengan empat gadis sekaligus. Gilakan? Tapi aku merasa biasa saja. Waktu itu aku tidak merasa bersalah, lantaran membagi cinta untuk empat wanita. Dua gadis masih satu sekolah denganku. Dan dua lainnya berbeda sekolah.

Saat perayan valentine day, aku bingung bagaimana cara menunjukkan simpatiku kepada empat gadisku dengan tetap menjaga rahasia. Masing-masing merasa diperhatikan tanpa ada yang merasa dikhianati.

Aku sempat bingung tujuh keliling. Sampai terlintas untuk tidak memberikan apa-apa kepada setiap gadisku. Tapi niatan itu kuurungkan. Aku meminta Rio, seorang temanku, untuk membeli empat bunga yang murah tapi bagus. Masing-masing seharga seribu lima ratusan. Kuminta dia memberikan satu bunga valentine kepada salah seorang pacarku.

Pada saat yang bersamaan, aku memanggil pacarku yang lain ke kamar mandi. Di sanalah kuberikan bunga valentine. Tak ketinggalan kubumbuhi juga dengan ungkapan kasih sayang. Untuk dua pacarku yang berbeda sekolah, tidak ada halangan yang berarti. Karena aku bisa janjian di tempat dan waktu yang berbeda.

Nah, untuk membagi waktu pertemuan dengan masing-masing pacarku,  aku tidak mengalami banyak kendala. Sepulang sekolah aku tinggal janjian untuk ketemu di sekolah. Di sanalah, kami ngobrol. Hanya saja, aku harus bisa membagi waktu yang tepat untuk dua pacar yang masih satu sekolah. Agar masing-masing tidak tahu. Untuk dua pacar yang lain sekolah, aku biasanya janjian ketemu di pasar.

Waktu itu aku tidak terlalu pusing bila akhirnya diketahui. Ada skenario lain yang kupersiapkan bila rahasiaku terbongkar. Tinggal diputuskan dan mencari lagi mangsa yang baru. Toh selama ini mudah bagiku mencari pacar. Hingga tak kurang dari tujuh belas gadis yang sempat menjadi pacarku, hanya dalam kurun waktu tiga tahun.

Kuakui, kemudahan itu tidak terlepas dari minyak wangi serta wirid yang diajarkan Pak Sarno. Pada sisi lain, semenjak berguru pada Pak Sarno, aku merasa selalu dikuntit dua orang kemanapun aku pergi. Keduanya memang tidak pernah menampakkan diri, tapi kehadirannya dapat kurasakan. Ketika hal itu kutanyakan kepada Pak Sarno, katanya, itu adalah khadam. Tidak perlu dikhawatirkan, katanya.

Apa karena kehadiran khadam itu hingga aku mudah tersinggung? Entahlah. Tapi aku memang mudah marah. Hanya karena masalah sepele, tanganku sudah melayang. Saat sedang berkumpul bersama dengan teman-teman misalnya. Bila ada di antara mereka yang tertawa tanpa alasan yang kuketahui, timbullah pikiran buruk dalam diriku. Bahwa mereka sedang mentertawakanku. Kepalaku pun terasa panas dan pusing.

Merantau ke Jakarta Lulus SMA, kutinggalkan semua pacarku. Tinggal satu gadis yang kupertahankan. Namanya Uli. Untuk yang satu ini aku serius. Aku ingin berlanjut hingga ke pelaminan.

Aku sudah berubah. Aku tidak mau mempermainkan hati wanita lagi. Karena itu, kuputuskan untuk merantau ke Jakarta, menyusul paman yang sudah menetap di sana. Aku ingin cari uang lalu menikah dengan Uli. Saat berangkat ke Jakarta, kudatangi Uli di rumahnya. “Tunggu aku. Aku mau merantau ke Jakarta. Kalau sudah waktunya, nanti aku melamarmu,” kataku serius. Rasanya berat meninggalkannya.

Selama di Jakarta, aku selalu memikirkan Uli. Terkadang aku sampai merengek-rengek pada kakak. “Kak, aku ingin pulang. Aku mau ketemu Uli,” kataku. Saat itu pikiranku selalu terhubung dengan Uli. Mau makan ingat dia, mau tidur ingat dia. Bayangan Uli selalu hadir dalam jiwaku.

Setelah empat bulan di Jakarta aku pulang. Kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sekalian mau lebaran di rumah. Setelah bertemu dengan orangtua, aku ingin melepas kerinduanku pada Uli. Kudatangi rumahnya. Waktu itu ia masih menerimaku dengan wajar. Mempersilahkanku masuk dan menyediakan minuman. Aku masih menganggapnya tidak berubah.

Sehari kemudian, aku baru menyadari bila Uli tidak lagi sendirian. Kini, ia sudah memiliki pacar baru. Anaknya orang kaya. Meski wajahnya tidak setampan diriku. Jujur, pengakuan ini kudapatkan dari tetangga. “Lira, anaknya tampan, cuma tidak punya. Robin, anaknya kaya. Tapi tingkah lakunya seperti bencong,” begitulah bisik-bisik tetangga yang kudengar.

Aku kecewa. Wanita yang selama ini kupikirkan, ternyata telah mengkhianati diriku. Malam itu, aku lampiaskan kekecewaan dengan menenggak minuman keras. Aku mabuk dan kehilangan kendali hingga anak-anak yang bermain di jalan kupukul. Keesokan harinya, masih dalam suasana hati yang tidak menentu, aku berkelahi dengan anak mantan preman.

 Karena merasa telah mempermalukan keluarga, akhirnya kuputuskan untuk merantau lagi. Kali ini, aku berpindah ke Bogor. Kebetulan, kakakku juga menetap di sana. Aku bersyukur, tak lama kemudian, mendapatkan pekerjaan baru.

Selain itu, aku juga bergabung dengan sebuah perguruan tenaga dalam. Dalam salah satu latihannya, aku dan dua orang teman diajak berendam di sumur Kebun Raya Bogor. Saat ritual itu, guru yang mengajar kami kerasukan jin. Dia mengatakan, “Itu, anak yang dari seberang itu, suruh ngamalin al-Ikhlas seratus kali di batu Ki Sentot.”

Batunya besar. Kami bertiga wiridan di sana. Belum lama merapal wiridan, kurasakan kepalaku pusing. Kubuka mata yang sedari awal terpejam. Saat itulah aku mendengar suara guru. “Ada yang jatuh ke batu. Cari benda itu,” katanya. Tanganku reflek meraba-raba di sekitarku. Ada dua benda asing yang tersentuh tanganku. Satu berupa keris dan lainnya berbentuk segi empat terbuat dari kulit.

Kedua benda itu pun kuserahkan kepada guru. Katanya, keris itu adalah keris penakluk hujan. “Kamu belum kuat pegang keris ini. Keris ini saya berikan kepada temanmu. Kamu yang kulit ini saja,” kata guru sambil menyodorkan kulit kepadaku.

Hanya berselang seminggu dari pendadaran di Kebon Raya Bogor, aku sakit parah. Katanya, aku sudah hampir mati. Nafasku tinggal satu dua. Akhirnya kakak membawaku ke tiga rumah sakit. Setiap rumah sakit ada yang bilang tidak sanggup, ada yang mengatakan sakit usus buntu, ada juga yang mengatakan aku tidak menderita sakit apa-apa.

Dikatakan tidak sakit apa-apa, tapi mengapa jalan saja tidak bisa? Punggungku bungkuk. Akhirnya, kakak menelpon orangtuaku di Palembang. Bapak menyuruh kakak, agar segera membawaku ke Palembang. Nanti diobati di sana, katanya.

Bapak membawaku ke dukun ternama. Ki Dirjo namanya. Dari namanya, terkesan ia bukan penduduk asli Palembang. Beberapa hari kemudian, setelah kesehatanku mulai membaik aku kembali ke Bogor.

Di Bogor, aku gelisah. Aku merasakan ilmu yang kudapat dari Pak Sarno telah hilang. Aku kembali takut berhadapan dengan wanita. Perasaan rendah diri pun muncul lagi. untuk mengembalikan kepercayan diri, aku kembali menempuh langkah seperti dulu. Mencari orang sakti yang dapat membantu.

Aku berpikir, Ki Dirjo yang mengobatiku lebih sakti daripada Pak Sarno.  Aku pun mulai mengatur keuangan, agar bisa mendapat ilmu baru dari Ki Dirjo. Ki Dirjo mengerti apa yang kumaksudkan. Ia memberiku 'semar mesem', minyak wangi dan wifk. Setelah itu saya disuruh rebahan di lantai. Kemudian Ki Dirjo, mentransfer tenaga dalam melalui batu kecil yang diusapkan ke seluruh tubuhku.

Sepulang dari Ki Dirjo, kondisiku kejiwaanku makin parah. Mudah tersinggung. Tidak boleh ada yang salah ucap sedikit saja. Bisa dikatakan, di Bogor, aku anak perantauan. Tapi keberanianku melebihi orang pribumi. Siapa saja yang menyakiti, kubikin ribut. Kadang kuancam dengan pisau, lain kali kuajak duel di lapangan.

Suatu malam, aku pulang apel jam sepuluh. Waktu itu aku ditemani seorang teman. Ketika aku keluar dari kontrakan pacarku, sudah ada sebelas orang yang menghadangku. Aku kenal beberapa orang dari mereka. Sepertinya mereka tidak senang, aku berpacaran dengan gadis Bogor. Adu mulut pun tak terhindarkan. Hingga adu jotos pun tak terelakkan. Dua lawan sebelas, jelas tidaklah seimbang. Temanku kabur, aku menyusul di belakangnya.

Malam itu, aku tidak mau menyerah. Kukumpulkan beberapa orang teman. Ada enam orang teman yang siap menyerang kembali. Berbekal pentungan, samurai dan benda tajam lainnya, kudatangi sebelas orang yang menghadangku.

Kami mengobrak-abrik kontrakan mereka. Ada yang hidungnya berdarah, ada pula yang kepalanya bocor. Kegaduhan malam itu mengundang perhatian tetangga. Mereka berdatangan, meski hanya menjadi penonton. Sebelum akhirnya kami melarikan diri seteleh melihat sekumpulan polisi berseragam mendekat.

Malam itu, aku menginap di rumah teman. Tapi keesokan harinya, begitu aku masuk ke kontrakan, tanganku langsung diborgol polisi. Rupanya mereka telah menunggu kedatanganku. Aku pun diciduk, dan sempat merasakan pahitnya hidup di balik jeruji besi.

Menemukan ketenangan jiwa melalui ruqyah Suatu ketika, bibiku datang ke Bogor. Sudah beberapa tahun, kami tidak bertemu. Bibiku meraskan ada yang aneh dalam diriku. Tidak seperti biasanya, aku hanya bengong dan tidak banyak bicara. Anting-anting yang menghiasi telingaku serta gaya celanaku yang robek di sana-sini lebih membuat bibiku terkejut.

Saat itu, bibi mengajakku ke Jakarta. Katanya, aku mau dibawa berobat ke Ustadz Hasan untuk menjalani terapi ruqyah. Kebetulan, bibiku kenal baik dengan Ustadz Hasan. Saat menjalani terapi ruqyah, aku tidak sadar apa yang terjadi. Katanya aku meraung-raung seperti harimau. Jariku yang tajam-tajam itu siap menerkam orang yang mendekat. Akibatnya salah seorang yang berusaha meringkusku menjadi korban. Kakinya kucakar, hingga berbekas.

Setelah beberapa kali menjalani terapi ruqyah, aku bersyukur kondisiku semakin membaik. Aku tidak lagi mudah tersulut emosi. Dengan wanita juga mulai takut kembali. Yang lebih penting dari itu adalah perubahan kepribadianku. Aku baru menyadari atas kesalahan langkah yang kutempuh selama ini. Mulai dari mempermainkan wanita hingga berpindah dari satu dukun ke dukun lain untuk mendapatkan kepuasan jiwa.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/ 

Aku Menerawang Perselingkuhan Suamiku

12 tahun dalam deraan jin calon mertua

Nurma, 30 tahun, ibu rumah tangga

12 tahun dalam deraan jin calon mertua

Jangan pernah berputus asa. Ingat, bahwa Allah tidak akan membebani umatnya melebihi batas kemampuannya. Seberat apapun cobaan yang diberikan, masih bisa ditanggung selama ada iman di dada. Iman. Itu kuncinya. Seperti dialami Nurma, ibu beranak empat yang telah mengalami gangguan jin selama 12 tahun. Dengan ditemani suaminya, Nurma menceritakan kisahnya kepada Majalah Al-Iman. Berikut petikannya.

Tahun 1996, aku bekerja di salah satu supermarket ternama di bilangan Jakarta Timur. Aku bekerja di bagian penjualan. Dari sana, hubunganku semakin luas. Tiap hari bertemu dengan pelanggan-pelanggan yang baru kukenal. Semua itu membuat sikapku semakin luwes. Aku lebih mudah berkomunikasi dengan sekian banyak watak dan karakter seseorang.

Setelah sekian lama bekerja, masuklah pegawai baru. Tono, namanya. Ia masih kuliah. Untuk menambah pengalaman lapangan, Tono memilih kerja paruh waktu. Malam kuliah, siangnya bekerja. Orangnya pendiam dan tidak banyak bergaul dengan wanita.

Kata pepatah, trisno jalaran songko kulino. Cinta itu datang kapan saja, lantaran seringnya pertemuan, menjadi kenyataan. Sikapnya yang ulet dan pantang menyerah membuatku tertarik.

Ya, dalam usia yang baru delapan belas tahun itu aku mulai menjajaki suasana baru. Singkat kata, aku berpacaran dengan Tono. Setelah tiga bulan berpacaran, Tono menawariku untuk dipertemukan dengan orang tuanya, di Solo, Jawa Tengah.

Terus terang, aku senang mendengar ajakan itu. Hatiku berbunga-bunga. Siapa yang tidak ingin bertemu dengan calon mertua? Wah, aku terlalu GR (gedhe rumongso) waktu itu. Tapi itulah kenyataannya. Aku mengartikan bahwa Tono tidak main-main dengan hubungan di antara kami.

Meski kepergian ke Solo itu adalah kesempatan untuk bertemu dengan orang tua Tono, tapi aku tidak mau pergi berdua saja. Aku tidak mau terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Syetan bisa masuk dan mengacaukan segalanya.

Tono memang pacarku, tapi dia belum menjadi suamiku. Hubungan di antara kami hanya sebatas itu. Artinya, dia masih orang lain. Ada banyak hal yang tidak boleh kami lakukan. Karena itulah, aku mengajak Winda, teman kerja, untuk menemaniku. 

Tono tidak keberatan. Hubungan di antara kami bertiga selama ini memang baik. Jadi kehadiran Winda tidak menjadi masalah bagi Tono.

Bertiga, kami berangkat dari terminal Pulogadung ke Solo. Dalam perjalanan aku lebih banyak ngobrol dengan Winda yang duduk sejajar denganku, sementara Tono memilih kursi di belakangku.

Dari terminal Solo perjalanan kemudian dilanjutkan dengan angkutan pedesaan. Ya, rumahnya Tono memang agak ke pelosok. Pada detik itu, aku makin kagum padanya. Ia berhasil kuliah di Jakarta dan juga tidak malu untuk bekerja demi kelangsungan kuliahnya. Ia memang tipe seorang pemuda yang mandiri.

Setelah satu jam prejalanan, kami sampai di rumahnya Tono. Kampungnya tidak jauh dari hutan. Dikelilingi hamparan sawah yang menghijau. mengingatkanku dengan kampung orang tuaku di Jawa Barat. Setidaknya, setahun sekali bapak mengajakku bersilaturrahmi kepada keluarga yang masih menetap di desa.

Rumahnya luas. Berdinding kayu dengan halaman yang juga luas. Rumah bergaya kuno. Rumahnya Tono memang agak terpisah dari rumah sekitarnya. Tono mempersilahkanku dan Winda masuk ke ruang tamu. Ia sendiri langsung ngeloyor ke dalam mencari orang tuanya.

Di ruang tamu itu, kulihat sebongkah tengkorak kepala sapi menempel di dinding. Entahlah, apakah itu tengkorak kepala sapi yang sesungguhnya atau sekadar hiasan dinding yang terbuat dari plastik. Yang jelas kehadiran tengkorak itu menambah seram rumah yang terkesan sepi ini.

Tak lama kemudian, Tono keluar lagi dengan membawa kendi minuman yang terbuat dari tanah. “Dimana orang tuamu?” tanya Winda sambil menyeruput air putih. “Masih di kebun. Sebentar lagi juga datang,” jawabnya sambil berlalu ke dalam.

Lepas tengah hari, kedua orang tua Tono pulang. Mereka nampak agak terkejut dengan kehadiranku dan Winda di rumahnya. Wajar, selama ini Tono pasti belum berbicara dengan orang tuanya tentang diriku. Atau memang Tono belum pernah mengajak teman wanita ke rumahnya.

Ibunya Tono memperhatikan diriku, lebih dari perhatiannya kepada Winda. Padahal, ia juga belum pernah bertemu dengan Winda. Entah apa yang dipikirkannya, yang jelas, hatiku merasa tidak tenang diperhatikan seperti itu.

Setelah berbincang sejenak, orang tua Tono meninggalkan kami berdua. “Nur, sepertinya orang tua Tono tidak suka denganmu,” celetuk Winda dengan pelan. Rupanya, ia juga memperhatikan perbedaan sikap orang tua Tono kepadaku.

Waktu itu, aku tidak memedulikan komentar Winda, toh ia juga belum lama bertemu denganku. Semoga pandangannya nanti juga akan berubah.

Setelah makan siang, Tono mengajakku dan Winda untuk jalan-jalan ke tepi hutan. “Pemandangannya indah,” kata Tono meyakinkan.

Bertiga, kami melewati jalanan berbatu dan pematang sawah untuk sampai di tempat yang dituju. Kuakui, pemandangannya memang indah. Gemericik air yang jatuh di bebatuan padas menjadi nyanyian tersendiri. Kami bergantian mengabadikan momen itu dengan foto bersama.

Tak terasa hari telah menjelang senja, kami pun pulang dengan wajah semringah. Sesampai di rumah, orang tua Tono tidak banyak berbincang-bincang dengan diriku. Mereka sibuk dengan urusannya sendiri. Akhirnya aku dan Winda masuk ke dalam kamar yang disediakan untuk kami berdua.

Selepas Isya’ kepalaku terasa agak pusing. Aku dan Winda memilih tidur duluan. Tengah malam, sekitar jam dua aku terbangun. Kepalaku masih terasa pusing. Aku bermaksud ke kamar mandi yang terletak di belakang rumah.

Betapa terkejutnya diriku, malam itu, kulihat ibunya Tono duduk bersila di halaman tengah dengan asap kemenyan meliuk-liuk ke udara. Ia sedang melakukan ritual tertentu. Rambutnya yang panjang dibiarkan terurai. Susana malam yang hening, semakin menambah seram suasana.

Ya, rasa takut mulai menyeruak ke relung hatiku. Kupercepat langkah kakiku ke kamar mandi lalu meneruskan tidur kembali.

Keesokan harinya, kuperhatikan sikap orang tua Tono tidak berubah. Ibunya masih menampakkan perasaan tidak senangnya kepada diriku. Sementara itu sikapnya kepada Winda biasa saja.

Keadaan itu membuatku tidak betah untuk berlama-lama di sana. Siang harinya aku dan Winda memutuskan untuk balik ke Jakarta. Tono yang rencananya ingin tinggal beberapa hari di rumahnya, akhirnya juga ikut kembali ke Jakarta bersama kami. Ia merasa tidak enak dengan sikap ibunya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa.

Ketika menunggu bis jurusan Jakarta di terminal, kami dikejutkan oleh kehadiran bapaknya Tono. Ia menyusul kami naik ojek. “Ini buat bekal di jalan,” katanya sambil menyodorkan bungkusan kain kepada Tono.

Ternyata bungkusan itu berisi nasi dan seekor ayam kampung. Wah, senang rasanya. Kami tidak khawatir kelaparan di tengah jalan atau tidak harus mengeluarkan uang untuk membeli makanan.

Enam bulan tergeletak di tempat tidur

Setelah dua hari di Solo dalam suasana yang tidak menyenangkan, aku kembali menghirup udara Jakarta. Berkumpul kembali dengan keluarga yang sangat menyayangiku. Ada nuansa yang sangat jauh berbeda kurasakan. Kesejukan, kedamaian dan ketenangan hati yang tidak kurasakan ketika di Solo kembali merasuki jiwaku.

Namun, kepulanganku dari Solo membawa cerita sedih. Kepalaku yang sedari pulang terasa pusing, kian menyakitkan. Aku bahkan muntah-muntah. Awalnya kukira aku hanya masuk angin. Hingga obat-obatan yang dijual bebas di pasaran menjadi incaranku.

Lain kali aku merasakan ada sesuatu yang dingin masuk. Entahlah apa itu. Yang jelas sakitku makin parah. Aku dibawa bapak berobat ke dokter. Bolak-balik ke dokter tetap tidak diketahui penyakitku. Dari hari ke hari, sakitku makin parah. Hingga akhirnya aku hanya tergeletak di atas tempat tidur.

Tono yang menjengukku ke rumah pun ditanya sama ibu. “Ini kenapa Mas, kok Nurma menjadi begini?” tanya ibu. “Nggak tahu Bu,” jawab Tono sambil menundukkan pandangan.

“Kejadiannya di sana memang bagaimana?” cerca ibu lagi. “Ya begitu. Ibu saya kurang suka,” kata Tono. “Ya sudah, Mas bilangin saja ke ibu, biar anak saya tidak begini,” kata ibu. Tono semakin merasa bersalah. Selanjutnya ia hanya terdiam.

Kurasa Tono memang tidak tahu apa yang terjadi. Meski sebenarnya, ia menyadari bahwa ibunya tidak suka denganku. Pada sisi lain, ibunya tergolong penganut kejawen yang sangat kental.

Karena kondisiku yang makin kritis, berdasarkan saran dari keluarga dan tetangga, aku dibawa berobat ke seorang tabib di Jakarta Timur. Saat itu, aku sudah tidak lagi bisa berjalan. Untuk berobat pun aku harus dibopong.

Tono ikut menemaniku juga ke tabib. Setelah beberapa saat memeriksaku, tabib mengatakan bila penyakit yang kuderita itu non medis. “Nurma memang ada yang mengganggu,” katanya kepada bapak. Tanpa tedeng aling-aling, tabib menunjuk seseorang sebagai pelakunya. Tak lain dia adalah ibunya Tono.

“Kamu jelaskan kepada orang tuamu, agar anak ini cepat sembuh,” kata tabib kepada Tono. Tebakan tabib itu mengejutkan kami sekeluarga. Bapak belum bercerita apa-apa tentang diriku, tapi tabib itu sudah menebaknya.

Tono yang langsung ditunjuk batang hidungnya, makin tidak berkutik. Ia hanya terdiam tanpa usaha membela diri sama sekali. Sepulang dari tabib, Tono berpamitan mau pulang ke Solo. Ia akan menemui orang tuanya dan melepaskan jeratan sihirnya kepadaku.

Tapi yang terjadi kemudian Tono menghilang. Ia sama sekali tidak muncul ke rumah. Kakak yang berusaha mencari dimana keberadaannya dibuat kesal oleh kakak sepupunya yang tinggal di Kalibata, Jakarta Selatan.

“Kamu cari saja sendiri ke Solo,” katanya kepada kakak dengan nada yang kurang bersahabat. Padahal kakak datang dengan baik-baik dan bertanya dengan baik-baik. Semenjak itu, keluargaku tidak lagi berusaha mencari Tono. Toh, ia bukan apa-apaku.

Walau kondisiku juga tidak kunjung membaik. Nyaris tiap malam, aku tidak bisa tidur. Mataku selalu melotot. Yang lebih mengerikan, aku sering merasakan kehadiran makhluk yang tidak kelihatan, namun kurasakan kehadirannya. Ia selalu menindihku dari belakang.

Setelah beberapa kali ke tabib dan belum banyak perubahan yang berarti, kakak pergi ke Ciamis untuk mencari pengobatan. Waktu itu, aku tidak dibawa karena kondisiku yang makin parah. Kakak pulang membawa air dalam botol. Katanya, air itu harus kupakai mandi.

Ketika air itu diguyurkan ke tubuhku, adik yang sedang membaca al-Qur’an di lantai atas, tiba-tiba menjerit-jerit. Kami sekeluarga dikejutkan dengan kejadian yang aneh itu. Adik seperti orang yang kerasukan jin.

Meski pengobatan itu menimbulkan reaksi pada adik, tapi aku tidak mengalami kejadian apa-apa. Aku tetap sakit. Badanku sesekali masih merasakan hawa dingin sebagai pertanda ada jin yang masuk ke tubuhku.

Berbagai pengobatan itu menguras simpanan orang tuaku. Sampai ibu merelakan untuk menjual empang yang di kampung. Meski demikian, kondisiku tidak kunjung membaik.

Orang tuaku tidak berputus asa. Dimana dikatakan di sana ada pengobatan yang mujarab, aku pun dibawa kesana. Seperti yang dilakukan di Bekasi Selatan. Di sana, setelah dimandikan air, aku justru diikat di pohon. Aneh memang. Aku yang datang ke sana dengan dibopong karena tidak bisa jalan itu tetap harus diikat di pohon.

Meski demikian, bapak tidak banyak komentar. Bapak menurut saja ketika disuruh mengikatku ke pohon yang berada tidak jauh dari rumah orang pintar paruh baya itu.

Pengobatan demi pengobatan yang tidak membawa hasil itu, kembali mempertemukanku dengan tabib yang di Jakarta Timur. Di sana, aku disuruh memperbanyak membaca al-Qur’an, ayat Kursi dan juga shalat. Kuakui selama ini, aku memang jarang shalat. Ketika ke Solo juga jarang shalat.

Ketika kuturuti nasehat dan saran tabib, berangsur-angsur kondisiku membaik. Meski belum bisa dibilang sembuh total.

Dipertemukan dengan jodoh di tempat kursus.

Setelah kondisiku membaik, aku kembali bekerja di supermarket. Masalahnya, kehadiranku untuk yang kedua kalinya di sana, juga tidak berlangsung lama. Hanya seminggu, lalu aku mengundurkan diri. Aku merasa tidak enak dengan atasan, karena setelah bekerja seminggu, aku kembali tidak sadarkan diri dan tidak masuk kerja.

Hal yang sama selalu berulang, ketika kondisiku membaik dan aku diterima kerja di tempat yang baru, aku hanya masuk sebulan atau dua bulan. Setelah itu aku mengundurkan diri.

Masalahnya selalu sama. Kalau kecapekan, keesokan harinya aku tidak bisa bangun dari tempat tidur. Badanku lemas. Beberapa atasanku juga merasa heran dengan keadaanku. Katanya, kerjaku bagus. Tapi mengapa selalu tidak sadarkan diri?

Meski tidak lagi kuliah, aku memang selalu menambah wawasan dengan ikut kursus. Itu mungkin yang membuatku berbeda dengan teman-teman kerjaku yang enggan meningkatkan kemampuan.

Di tempat kursus pula, aku dipertemukan dengan suamiku. Mas Fahmi, begitu aku biasa memanggilnya. Orangnya terkesan dewasa. Waktu itu Mas Fahmi bekerja sebagai staf di tempat kursusku.

Tak perlu proses yang lama, kami pun menikah. Terus terang, aku tidak cerita kepada Mas Fahmi tentang sakit kepala yang sering menderaku. Aku juga tidak cerita bila dulu sempat sakit enam bulan lamanya. Aku hanya berpikir, biarlah nanti waktu yang memberitahunya.

Saat resepsi pernikahan digelar, sebenarnya, aku juga merasakan sakit kepala, dan perut yang melilit. Beberapa kali aku sempat muntah-muntah. Tapi semua itu tidak kusampaikan kepada Mas Fahmi. Hanya ibuku yang kuberitahu.

Kujalani hidup baru sebagai sepasang pengantin baru. Kami pun pindah ke rumah kontrakan. Meski di rumah kontrakan, tapi aku ingin merajut hari dengan kenangan manis. Meninggalkan masa lalu di belakang dan tidak perlu ditengok kembali.

Waktu terus berjalan, kebahagiaan kami semakin lengkap dengan lahirnya anak kembar kami. Ya, Allah memberi kami amanah dua anak langsung. Anak yang manis dan lucu-lucu.

Di tengah kebahagiaan itu, sesekali aku masih merasakan kehadiran makhluk asing tersebut. Puncaknya setelah tiga puluhan hari melahirkan, aku merasakan ada bisikan-bisikan di dalam diri yang semakin kuat. Sebelumnya, bisikan tersebut memang pernah kurasakan, tapi tidak terlalu parah.

Sebelum kejadian itu, aku melihat Ustadz Junaidi di salah satu stasiun televisi menjelaskan tentang ruqyah syar’iyyah. Berbekal informasi dari televisi tersebut aku minta diantar Mas Fahmi ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah yang dulu di percetakan Negara.

Mas Fahmi kuajak begitu saja. Padahal saat itu ia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Baru setelah aku menjalani terapi ruqyah, dan jin yang berada di dalam diriku berbicara dengan bahasa China, Mas Fahmi tahu bila selama ini aku mengalami gangguan jin.

Berkali-kali aku menjalani terapi ruqyah. Saat itu, kurasakan ada sesuatu yang keluar dari punggung dan kakiku. Kondisiku pun semakin membaik. Kejadian itu, membuat Mas Fahmi bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Kuceritakan semuanya apa adanya. Dari awal sampai akhir.

Meski demikian, aku tahu bahwa tidak semua jin yang merasuk ke dalam diriku sudah keluar. Karena sesekali aku masih merasakan kehadirannya. Kurasakan hawa dingin masuk ke dalam tubuhku, selanjutnya aku merasa berat.

Bisikan-bisikan jahat pun sesekali masih terdengar. Bisikan itu semakin sering ketika hatiku kesal. Kesal kepada anakku atau kesal kepada Mas Fahmi. Suatu hari, ketika Mas Fahmi sedang menjemur pakaian, ada bisikan jahat di telingaku. Bunuh saja anakmu. Bunuh saja anakmu.

Tanpa sadar, aku melangkah ke dapur. Kuturuti bisikan itu dan kubiarkan anakku tergolek di atas ranjang. Pisau yang tergeletak di meja kuambil. Hanya satu tujuanku. Mengikuti perintah dari bisikan yang terus terngiang di telingaku. Bunuh anakmu. Bunuh anakmu.

Aku bersyukur di saat yang genting itu, Allah menyadarkanku. Betapa terkejutnya diriku, menyadari apa yang telah kulakukan. Kulempar pisau itu dan berkali-kali aku beristighfar.

Aku tidak menceritakan peristiwa itu kepada suamiku, karena khawatir semakin memperuncing perselisihan di antara kami. Selama ini, kami sering bertengkar, meski tidak sampai terdengar oleh tetangga. Perselisihan itu hanya menjadi konsumsi kami berdua.

Telah puluhan kali aku menjalani terapi ruqyah. Dan berkali-kali gangguan itu datang. Tapi aku tidak lagi menempuh cara yang dulu, mencari kesembuhan dari jalan yang tidak diridhoi-Nya. Aku tidak lagi ke ‘orang pintar’ yang melakukan terapi dengan cara-cara yang aneh.

Seminggu yang lalu, aku dirawat di rumah sakit. Badanku panas. Kepalaku pusing. Ketika Mas Fahmi menjengukku di rumah sakit, ia merasakan ada keanehan dalam diriku. Katanya, ia meminta agar aku meluruskan kaki, tapi aku tidak mau. Katanya, kakiku juga terasa dingin.

Melihat gejala yang aneh itu, Mas Fhami membaca ayat Kursi. Aku menjerit dan meronta-meronta. Karena merasa tidak enak dengan pasien sebelah, akhirnya Mas Fahmi menghentikan bacaannya. Ia hanya meminjat-memijat kakiku. Anehnya, tak lama kemudian, kakiku kembali menghangat.

Saat itu juga Mas Fahmi menyadari bahwa sakitku ini bukan penyakit medis. Ada jin yang kembali merasuk ke dalam diriku. Karena itulah, aku dibawa kembali ke Ghoib Ruqyah Syar’iyyah.

Reaksinya tetap sama. Ketika dibacakan ayat-ayat al-Qur’an, aku kembali meronta-ronta seperti dulu. Semoga Allah menguatkan diriku untuk terus menapaki jalan yang benar. Semoga aku diberi kesabaran yang berlipat untuk menjalani terapi ruqyah. Aku tidak ingin terjebak dalam kesalahan masa lalu. Kembali ke dukun lantaran ketidaktahuan.