Wednesday, September 18, 2013

Ajian pengasihan membawaku kencan dengan tujuh belas cewek

Lira, 22 tahun, karyawan swasta.

Ajian pengasihan membawaku kencan dengan tujuh belas cewek

Play boy SMA. Lira pantas mendapat julukan itu. Ia suka bergonta-ganti pacar. Tak kurang dari tujuh belas cewek sempat mampir di hatinya, saat ia masih berseragam putih abu-abu. Fantastis. Tujuh belas bukan jumlah yang sedikit. Mengapa begitu banyak cewek yang tergoda? Apa rahasianya? Lira menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Jakarta. Berikut petikannya.

Palembang, 2.000

Hari masih pagi. Jarum jam baru menunjuk angka 10. Aku duduk di bawah pohon rindang di samping sekolah. Sudah lima menit kutinggalkan ruangan kelas dengan segala hiruk pikuknya. Aku ingin menyendiri, menghilangkan segala keresahan yang ada. Kupilih pohon rindang itu, karena tak seorang pun ada di sana. Sebagian teman memilih bermain bola. Ada juga yang bertahan di ruangan kelas atau ke kantin.

Keceriaan teman-teman yang bermain bola plastik di halaman sekolah tak lagi menarik perhatianku. Aku larut dalam kesendirianku. Aku terduduk lesu menatap sepasang muda-mudi yang duduk berdua di kantin sekolah. Linda dan Santo.
Kebersamaan mereka mengusik ketenanganku. Linda. Gadis manis itu sedang mengobrak-abrik perasaanku.  Kebersamaannya dengan Santo mengoyak-oyak hatiku. Mencabik-cabiknya hingga berkeping-keping. Aku tak menyangkal, bila hatiku tertarik dengan gadis berambut panjang itu. Rambutnya yang hitam tergerai bertambah manis dengan pipinya yang lesung.

Masalahnya, aku tidak punya keberanian untuk mengutarakan isi hatiku kepada Linda. Selama ini perasaan itu hanya kupendam sendiri. Perasaan malu dan rendah diri lebih menguasai diriku. Lantaran asal-usul diriku yang bukan berasal dari keluarga kaya. Tidak punya motor, seperti Santo atau teman-teman lainnya.

Ke sekolah pun hanya jalan kaki. Dengan uang saku yang pas-pasan. Untuk memenuhi kebutuhanku sendiri saja, masih kekurangan apalagi bila harus buat pacaran.  Secara materi aku memang kalah segalanya. Berbagai pikiran negatif itu membunuh semangatku.

Dentuman bel tanda berakhirnya jam istirahat membuyarkan lamunanku. Aku masuk ke dalam kelas dengan lesu. Tak ubahnya seorang pemain yang kalah dalam pertandingan. Hari-hariku pun terasa hambar. Semangat belajarku pun hilang.

Mata hatiku seakan telah tertutup oleh pandangan yang sempit. Untuk mendapatkan cinta seorang gadis bukan hanya mengandalkan kekayaan. Masih banyak peluang dan kesempatan untuk memikat hatinya. Sukses dalam pelajaran atau jago basket misalnya.

Aku ingat, dulu, aku pernah mengutarakan kata hatiku kepada seorang gadis teman sekelas. Sebut saja namanya Nia. Kukatakan kata hatiku, layaknya seorang laki-laki jagoan. Yang berani mengatakan apa adanya. Dengan dada membusung, kuungkapkan perasaanku. I love you, kataku mantap, ketika kami sedang berduaan di kelas.

Nia terperangah mendengar kejujuranku. Kutangkap guratan tidak percaya di wajahnya. Selama ini hubungan kami memang dekat. Dan aku pun tidak ragu-ragu menunjukkan simpatiku kepadanya. Masalahnya, Nia hanya menganggapku sebatas teman biasa. Tidak lebih.

"Maaf ya, Lira, aku tidak mau pacaran. Biarlah kita berteman saja," katanya setelah terdiam beberapa saat. Beberapa bulan sebelumnya, aku juga sempat mengatakan hal yang sama kepada gadis lain. Waktu itu pun cintaku ditolak.

Semenjak penolakan Nia, aku tidak berani mengutarakan kata hatiku kepada gadis lain. Aku hanya memendam perasaan itu dalam hati. Karena aku tidak ingin sakit hati untuk yang kesekian kalinya. Bukan karena tidak mau pacaran, Nia menolak cintaku. Tapi lebih disebabkan oleh keadaanku yang serba kekurangan. Buktinya, Nia sudah bergandengan tangan dengan cowok lain. Ia pacaran dengan Taufik, hanya berselang dua minggu setelah menolakku. Berkali-kali kulihat mereka berboncengan sepeda motor sepulang sekolah.

Aku berpacaran dengan tujuh belas gadis

Sebagai seorang remaja, yang terbiasa hidup keras, aku tidak mau menyerah. Kekuranganku secara materi tidak boleh membuatku larut dalam kesedihan. Aku bertekad untuk menjalani masa remaja seperti halnya teman-temanku yang lain. Berpacaran dan tidak minder, meski mereka juga tidak punya sepeda motor.

Kutempuh jalan pintas. Aku meminta bantuan kepada seorang dukun yang terkenal kesaktiannya di kampungku. Terus terang kukatakan bila aku ingin menjadi muridnya. Aku ingin seperti dirinya yang disegani dan menarik perhatian wanita. "Pak, saya ini orang susah. Jadi saya minta tolong, saya dikasih sesuatu agar punya keberanian mendekati cewek. Agar orang-orang segan kepada saya."

Gayung bersambut. Lelaki empat puluhan tahun yang biasa dipanggil Pak Sarno itu memenuhi permintaanku. "Datang saja ke rumahku malam Legi.  Jangan lupa untuk membawa bunga tujuh warna," katanya.

Meski awalnya, aku tidak mengerti mengapa harus membawa bunga tujuh warna. Tetap saja permintaannya itu kupenuhi. Pada malam yang dijanjikan aku datang tepat waktu. Jam sembilan. Setengah jam kemudian, Pak Sarno memulai ritual mandi kembang.

Setelah mandi kembang itu, Pak Sarno membekali diriku dengan minyak wangi yang harus dioleskan di alis sebelum keluar rumah. Selain itu, ia menyebutkan pantangan yang tidak boleh dilanggar. "Ada dua pantangan yang tidak boleh dilanggar,” katanya dengan mimik serius. “Pertama, tidak boleh berpacaran dengan wanita yang sudah bersuami. Yang kedua, tidak boleh melakukan hubungan di luar nikah," ujarnya sambil menyodorkan botol minyak wangi.

Kupenuhi saran Pak Sarno. Wiridan-wiridan yang harus dibaca setelah shalat pun kujalankan. Hasilnya, langsung terasa setelah lima kali mandi kembang. Rasa percaya diriku meningkat tajam. Aku tidak lagi merasa rendah diri di hadapan wanita, meski aku tetap seperti kemarin. Masih tidak punya motor, serta uang saku yang pas-pasan.

Sasaran pertamaku adalah Nia yang kuanggap telah meninggalkan luka yang mendalam. Ia yang kini telah berpacaran dengan orang lain, kembali kudekati. Di hadapannya, aku tidak menunjukkan rasa dendam atas penolakannya. Aku bersikap biasa, seakan tak pernah kecewa. Aku mendekatinya dengan ungkapan kata-kata lucu yang mengundang tawa.

Entah kenapa, pancinganku berhasil begitu mudah. Perangkap yang kupasang ditelan mentah-mentah. Perlahan namun pasti Nia mulai lebih memilih ngobrol denganku daripada dengan pacarnya.

Suatu hari, di saat jam istirahat, kuajak Nia ke samping sekolah. Di bawah pohon yang rindang. Di sanalah dengan tenang kuucapkan kata-kata manis, bahwa aku mencintainya. Kulihat matanya berkaca-kaca. Ia nampak senang mendengar pengakuanku. Sangat jauh berbeda dengan dulu, ketika untuk pertama kalinya kuucapkan kata cinta.

Nia pun tidak menolak, meski ia juga belum memutuskan ya atau tidak. Karena ia merasa masih menjadi kekasih orang lain. Dua hari kemudian, jawaban atas cintaku terdengar. Di tempat yang sama, Nia menyatakan cintanya. Ia juga mengatakan telah memutuskan cinta dengan pacarnya.

Hari-hariku berubah. Setiap ada kesempatan aku dan Nia selalu mojok berdua. Saat istirahat atau sepulang sekolah. Aku tidak mengajak Nia kemana-mana. Kami hanya ngobrol berdua di sekolah. Membicarakan banyak hal. Bercerita tentang apa saja.

Semakin lama, Nia semakin sayang kepadaku. Di sinilah niat jahat dalam diriku mulai muncul. Aku ingin membalas dendam atas perbuatan Nia yang dulu menolak cintaku. Aku ingin ia merasakan penderitaan yang sama. Betapa sakit rasanya patah hati.

Nia yang seakan tidak mau berpisah dengan diriku itu sengaja kubuat hatinya terluka. Kuputuskan cintanya. Nia menangis. Ia tidak mau bila harus berpisah denganku. Tapi keputusanku sudah bulat. Aku tidak mau menarik kembali kata-kataku. Tinggallah berduaan dengan Nia menjadi kenangan tersendiri dalam diriku.

Selepas meninggalkan Nia, aku mencari sasaran baru. Siapa cewek yang dapat kudekati. Setelah pilah-pilih, aku menemukan seorang gadis yang masih berdekatan dengan Nia. Namanya, Trias. Ia teman dekatnya Nia. Selama ini mereka sering jalan berdua. Mereka teman karib.

Kupasang kembali jebakan yang sama. Dengan banyak bercerita yang lucu serta kepercayaan diri yang tinggi. Beberapa hari aku mendekati Trias hingga akhirnya berhasil juga. Kukatakan, bila aku sudah putus dengan Nia.

Aku juga tidak mengerti mengapa Trias mau menerima uluran tanganku. Padahal dia tahu aku dulu berpacaran dengan Nia. Dia tidak mengerti bila aku sengaja memperalat dirinya untuk menyakiti hati Nia.

 Saat jam istirahat, aku sengaja menemui Trias di kelasnya, ketika Nia juga ada di sana. Kuperhatikan, tatapan matanya. Ia kecewa dengan kedatanganku. Ia pun melengos dan meninggalkan ruangan kelas. Kesedihan Nia tak membuatku merasa bersalah. Aku enjoy saja ngobrol berdua dengan Trias.

Sejak itu, aku menjadi petualang cinta. Lepas dari satu wanita beralih ke wanita yang lain. Rata-rata mereka masih sekolah denganku. Meski ada juga yang berasal dari lain sekolah.

Pernah, dalam waktu yang sama aku berpacaran dengan empat gadis sekaligus. Gilakan? Tapi aku merasa biasa saja. Waktu itu aku tidak merasa bersalah, lantaran membagi cinta untuk empat wanita. Dua gadis masih satu sekolah denganku. Dan dua lainnya berbeda sekolah.

Saat perayan valentine day, aku bingung bagaimana cara menunjukkan simpatiku kepada empat gadisku dengan tetap menjaga rahasia. Masing-masing merasa diperhatikan tanpa ada yang merasa dikhianati.

Aku sempat bingung tujuh keliling. Sampai terlintas untuk tidak memberikan apa-apa kepada setiap gadisku. Tapi niatan itu kuurungkan. Aku meminta Rio, seorang temanku, untuk membeli empat bunga yang murah tapi bagus. Masing-masing seharga seribu lima ratusan. Kuminta dia memberikan satu bunga valentine kepada salah seorang pacarku.

Pada saat yang bersamaan, aku memanggil pacarku yang lain ke kamar mandi. Di sanalah kuberikan bunga valentine. Tak ketinggalan kubumbuhi juga dengan ungkapan kasih sayang. Untuk dua pacarku yang berbeda sekolah, tidak ada halangan yang berarti. Karena aku bisa janjian di tempat dan waktu yang berbeda.

Nah, untuk membagi waktu pertemuan dengan masing-masing pacarku,  aku tidak mengalami banyak kendala. Sepulang sekolah aku tinggal janjian untuk ketemu di sekolah. Di sanalah, kami ngobrol. Hanya saja, aku harus bisa membagi waktu yang tepat untuk dua pacar yang masih satu sekolah. Agar masing-masing tidak tahu. Untuk dua pacar yang lain sekolah, aku biasanya janjian ketemu di pasar.

Waktu itu aku tidak terlalu pusing bila akhirnya diketahui. Ada skenario lain yang kupersiapkan bila rahasiaku terbongkar. Tinggal diputuskan dan mencari lagi mangsa yang baru. Toh selama ini mudah bagiku mencari pacar. Hingga tak kurang dari tujuh belas gadis yang sempat menjadi pacarku, hanya dalam kurun waktu tiga tahun.

Kuakui, kemudahan itu tidak terlepas dari minyak wangi serta wirid yang diajarkan Pak Sarno. Pada sisi lain, semenjak berguru pada Pak Sarno, aku merasa selalu dikuntit dua orang kemanapun aku pergi. Keduanya memang tidak pernah menampakkan diri, tapi kehadirannya dapat kurasakan. Ketika hal itu kutanyakan kepada Pak Sarno, katanya, itu adalah khadam. Tidak perlu dikhawatirkan, katanya.

Apa karena kehadiran khadam itu hingga aku mudah tersinggung? Entahlah. Tapi aku memang mudah marah. Hanya karena masalah sepele, tanganku sudah melayang. Saat sedang berkumpul bersama dengan teman-teman misalnya. Bila ada di antara mereka yang tertawa tanpa alasan yang kuketahui, timbullah pikiran buruk dalam diriku. Bahwa mereka sedang mentertawakanku. Kepalaku pun terasa panas dan pusing.

Merantau ke Jakarta Lulus SMA, kutinggalkan semua pacarku. Tinggal satu gadis yang kupertahankan. Namanya Uli. Untuk yang satu ini aku serius. Aku ingin berlanjut hingga ke pelaminan.

Aku sudah berubah. Aku tidak mau mempermainkan hati wanita lagi. Karena itu, kuputuskan untuk merantau ke Jakarta, menyusul paman yang sudah menetap di sana. Aku ingin cari uang lalu menikah dengan Uli. Saat berangkat ke Jakarta, kudatangi Uli di rumahnya. “Tunggu aku. Aku mau merantau ke Jakarta. Kalau sudah waktunya, nanti aku melamarmu,” kataku serius. Rasanya berat meninggalkannya.

Selama di Jakarta, aku selalu memikirkan Uli. Terkadang aku sampai merengek-rengek pada kakak. “Kak, aku ingin pulang. Aku mau ketemu Uli,” kataku. Saat itu pikiranku selalu terhubung dengan Uli. Mau makan ingat dia, mau tidur ingat dia. Bayangan Uli selalu hadir dalam jiwaku.

Setelah empat bulan di Jakarta aku pulang. Kebetulan bertepatan dengan bulan Ramadhan. Sekalian mau lebaran di rumah. Setelah bertemu dengan orangtua, aku ingin melepas kerinduanku pada Uli. Kudatangi rumahnya. Waktu itu ia masih menerimaku dengan wajar. Mempersilahkanku masuk dan menyediakan minuman. Aku masih menganggapnya tidak berubah.

Sehari kemudian, aku baru menyadari bila Uli tidak lagi sendirian. Kini, ia sudah memiliki pacar baru. Anaknya orang kaya. Meski wajahnya tidak setampan diriku. Jujur, pengakuan ini kudapatkan dari tetangga. “Lira, anaknya tampan, cuma tidak punya. Robin, anaknya kaya. Tapi tingkah lakunya seperti bencong,” begitulah bisik-bisik tetangga yang kudengar.

Aku kecewa. Wanita yang selama ini kupikirkan, ternyata telah mengkhianati diriku. Malam itu, aku lampiaskan kekecewaan dengan menenggak minuman keras. Aku mabuk dan kehilangan kendali hingga anak-anak yang bermain di jalan kupukul. Keesokan harinya, masih dalam suasana hati yang tidak menentu, aku berkelahi dengan anak mantan preman.

 Karena merasa telah mempermalukan keluarga, akhirnya kuputuskan untuk merantau lagi. Kali ini, aku berpindah ke Bogor. Kebetulan, kakakku juga menetap di sana. Aku bersyukur, tak lama kemudian, mendapatkan pekerjaan baru.

Selain itu, aku juga bergabung dengan sebuah perguruan tenaga dalam. Dalam salah satu latihannya, aku dan dua orang teman diajak berendam di sumur Kebun Raya Bogor. Saat ritual itu, guru yang mengajar kami kerasukan jin. Dia mengatakan, “Itu, anak yang dari seberang itu, suruh ngamalin al-Ikhlas seratus kali di batu Ki Sentot.”

Batunya besar. Kami bertiga wiridan di sana. Belum lama merapal wiridan, kurasakan kepalaku pusing. Kubuka mata yang sedari awal terpejam. Saat itulah aku mendengar suara guru. “Ada yang jatuh ke batu. Cari benda itu,” katanya. Tanganku reflek meraba-raba di sekitarku. Ada dua benda asing yang tersentuh tanganku. Satu berupa keris dan lainnya berbentuk segi empat terbuat dari kulit.

Kedua benda itu pun kuserahkan kepada guru. Katanya, keris itu adalah keris penakluk hujan. “Kamu belum kuat pegang keris ini. Keris ini saya berikan kepada temanmu. Kamu yang kulit ini saja,” kata guru sambil menyodorkan kulit kepadaku.

Hanya berselang seminggu dari pendadaran di Kebon Raya Bogor, aku sakit parah. Katanya, aku sudah hampir mati. Nafasku tinggal satu dua. Akhirnya kakak membawaku ke tiga rumah sakit. Setiap rumah sakit ada yang bilang tidak sanggup, ada yang mengatakan sakit usus buntu, ada juga yang mengatakan aku tidak menderita sakit apa-apa.

Dikatakan tidak sakit apa-apa, tapi mengapa jalan saja tidak bisa? Punggungku bungkuk. Akhirnya, kakak menelpon orangtuaku di Palembang. Bapak menyuruh kakak, agar segera membawaku ke Palembang. Nanti diobati di sana, katanya.

Bapak membawaku ke dukun ternama. Ki Dirjo namanya. Dari namanya, terkesan ia bukan penduduk asli Palembang. Beberapa hari kemudian, setelah kesehatanku mulai membaik aku kembali ke Bogor.

Di Bogor, aku gelisah. Aku merasakan ilmu yang kudapat dari Pak Sarno telah hilang. Aku kembali takut berhadapan dengan wanita. Perasaan rendah diri pun muncul lagi. untuk mengembalikan kepercayan diri, aku kembali menempuh langkah seperti dulu. Mencari orang sakti yang dapat membantu.

Aku berpikir, Ki Dirjo yang mengobatiku lebih sakti daripada Pak Sarno.  Aku pun mulai mengatur keuangan, agar bisa mendapat ilmu baru dari Ki Dirjo. Ki Dirjo mengerti apa yang kumaksudkan. Ia memberiku 'semar mesem', minyak wangi dan wifk. Setelah itu saya disuruh rebahan di lantai. Kemudian Ki Dirjo, mentransfer tenaga dalam melalui batu kecil yang diusapkan ke seluruh tubuhku.

Sepulang dari Ki Dirjo, kondisiku kejiwaanku makin parah. Mudah tersinggung. Tidak boleh ada yang salah ucap sedikit saja. Bisa dikatakan, di Bogor, aku anak perantauan. Tapi keberanianku melebihi orang pribumi. Siapa saja yang menyakiti, kubikin ribut. Kadang kuancam dengan pisau, lain kali kuajak duel di lapangan.

Suatu malam, aku pulang apel jam sepuluh. Waktu itu aku ditemani seorang teman. Ketika aku keluar dari kontrakan pacarku, sudah ada sebelas orang yang menghadangku. Aku kenal beberapa orang dari mereka. Sepertinya mereka tidak senang, aku berpacaran dengan gadis Bogor. Adu mulut pun tak terhindarkan. Hingga adu jotos pun tak terelakkan. Dua lawan sebelas, jelas tidaklah seimbang. Temanku kabur, aku menyusul di belakangnya.

Malam itu, aku tidak mau menyerah. Kukumpulkan beberapa orang teman. Ada enam orang teman yang siap menyerang kembali. Berbekal pentungan, samurai dan benda tajam lainnya, kudatangi sebelas orang yang menghadangku.

Kami mengobrak-abrik kontrakan mereka. Ada yang hidungnya berdarah, ada pula yang kepalanya bocor. Kegaduhan malam itu mengundang perhatian tetangga. Mereka berdatangan, meski hanya menjadi penonton. Sebelum akhirnya kami melarikan diri seteleh melihat sekumpulan polisi berseragam mendekat.

Malam itu, aku menginap di rumah teman. Tapi keesokan harinya, begitu aku masuk ke kontrakan, tanganku langsung diborgol polisi. Rupanya mereka telah menunggu kedatanganku. Aku pun diciduk, dan sempat merasakan pahitnya hidup di balik jeruji besi.

Menemukan ketenangan jiwa melalui ruqyah Suatu ketika, bibiku datang ke Bogor. Sudah beberapa tahun, kami tidak bertemu. Bibiku meraskan ada yang aneh dalam diriku. Tidak seperti biasanya, aku hanya bengong dan tidak banyak bicara. Anting-anting yang menghiasi telingaku serta gaya celanaku yang robek di sana-sini lebih membuat bibiku terkejut.

Saat itu, bibi mengajakku ke Jakarta. Katanya, aku mau dibawa berobat ke Ustadz Hasan untuk menjalani terapi ruqyah. Kebetulan, bibiku kenal baik dengan Ustadz Hasan. Saat menjalani terapi ruqyah, aku tidak sadar apa yang terjadi. Katanya aku meraung-raung seperti harimau. Jariku yang tajam-tajam itu siap menerkam orang yang mendekat. Akibatnya salah seorang yang berusaha meringkusku menjadi korban. Kakinya kucakar, hingga berbekas.

Setelah beberapa kali menjalani terapi ruqyah, aku bersyukur kondisiku semakin membaik. Aku tidak lagi mudah tersulut emosi. Dengan wanita juga mulai takut kembali. Yang lebih penting dari itu adalah perubahan kepribadianku. Aku baru menyadari atas kesalahan langkah yang kutempuh selama ini. Mulai dari mempermainkan wanita hingga berpindah dari satu dukun ke dukun lain untuk mendapatkan kepuasan jiwa.
http://ruqyahmajalahghoib.blogspot.com/ 

0 comments:

Post a Comment