Monika (32 tahun) seorang artis
Aku Menerawang Perselingkuhan Suamiku
Senjata makan tuan. Itulah pepatah yang menggambarkan kehidupan Monika. Sebagai seorang ahli terawangan, ia biasa menerawang masa depan atau apa yang sedang terjadi di tempat lain. Juga dengan ilmu terawangan, jin yang dikirim untuk menjaga suaminya, menggambarkan dengan jelas, bagaimana perslingkuhan suaminya terjadi. Dari detik ke detik. Sebuah pemandangan yang sangat menyakitkan. Monika menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Bekasi. Berikut kisahnya.
Menurut cerita yang kudengar dari orangtuaku, kakek dari pihak ibu tergolong orang sakti. Ia memiliki kemampuan linuwih untuk membuat aneka keris yang 'sakti'. Proses pembuatannya pun tidak sembarangan. Diperlukan tirakatan dan lelakon tertentu. Seandainya kakek hidup pada zaman kerajaan tempo dulu seperti Majapahit atau Singosari, tentu ia berhak mendapat sebutan sebagai seorang Empu. Seperti halnya kisah Empu Gandring yang sangat populer di kalangan ahli sejarah.
Beberapa keris dan benda-benda pusaka lainnya ada yang masih tersimpan di rumah nenek. Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku menginap di rumah nenek di Cilacap, Jawa Tengah aku mengalami kejadian aneh. Secara naluriah aku merasakan ada keanehan di salah satu sudut ruangan. Aku merasa ada makhluk aneh berdiam di bawah lantai. Dengan reflek kuperintahkan makhluk itu keluar.
"Eh, kamu yang di sana, keluar!" teriakku sambil menunjuk ke bawah keramik.
Dari bawah keramik di kamar 3 x 4 itu keluarlah sosok hologram setinggi tiga meter. Aku teringat dengan film Aladin. Sosok jin bertubuh tinggi besar keluar dari guci kuno.
Sosok hologram itu pun duduk bersila di lantai. Laksana seorang pengawal yang bersimpuh di hadapan rajanya.
"Ada apa kamu mengusirku? Aku sudah lama tinggal di rumah ini," kata jin tersebut. Aku terkesima. Sama sekali tidak kuduga bila ada yang menyambut seruanku. Aku hanya mengikuti kata hati yang merasakan adanya keanehan di rumah nenek. Orang Jawa bilang rumah nenek itu singup. Hawanya kurang bersahabat.
Mungkin karena usia muda, dengan entheng kuperintahkan jin itu keluar. "Ya sudah, kamu keluar dari rumah nenek," kataku.
"Tidak bisa. Aku sudah lama tinggal di rumah ini," kata jin tersebut yang enggan meninggalkan rumahnya. Aku pun terus berdialog. Dengan tetap pada satu keyakinan bahwa jin tersebut harus keluar dari rumah nenek.
Entah mengapa, jin itu kemudian menyerah dengan memberikan persyaratan. "Aku mau keluar dari rumah ini, tapi aku mau ikut kamu saja," katanya. Aku tidak tahu bagaimana memberikan jawaban atas permintaannya. Tiba-tiba sosok hologram itu telah menghilang dari hadapanku. Ia melayang menembus dinding dan lenyap dari pandanganku.
Aku pun hanya terdiam. Sebuah peristiwa aneh yang belum pernah kualami. Aku masih tidak percaya. Keesokan harinya, ketika diadakan persekutuan kecil (ritual keagamaan Kristen) di rumah nenek, pendeta berkata kepadaku.
"Mbak Monika, kamu bisa merasakan apa yang ada di sekeliling kita ini?" katanya lirih.
Aku mengerti maksud pembicaraan pendeta. Aku pun berkonsentrasi sejenak. Kucoba merasakan keanehan yang ada di sekelilingku. Perlahan kusisir dengan mata batinku. Satu persatu kusisihkan segala hal yang tidak ada hubungannya dengan permintaan pendeta.
"Ada burung di bawah lantai. Warnanya hitam," kataku pelan.
"Ya, itu burung gagak," seru pendeta. "Terus kamu teliti lagi di dalam sini ada apa saja," katanya sejurus kemudian.
Aku kembali berkonsentrasi. "Aku melihat Peti kecil berbendera. Peti itu sepertinya ditanam," kataku tak lama kemudian.
Pendeta itu menyadari bahwa kelak kehidupanku akan banyak bersentuhan dengan dunia ghaib. Aku akan banyak berhubungan dengan dunia jin seperti dirinya. Karena aku bisa melihat burung gagak beserta peti dan benderanya. Sebuah pemandangan yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang. Ia mengatakan bahwa kemampuan yang kumiliki ini tergolong satu dari tujuh mukjizat. Mukjizat lainnya adalah bisa mendengar suara nyanyian dari surga, bisa ceramah, bisa melihat makhluk dan berkomunikasi dengannya.
Setelah pendeta pulang, tinggallah aku, adikku dan seorang temanku, Dira, yang berdiam di rumah nenek. Jiwa usilku kembali muncul. Kuperintahkan burung gagak tersebut untuk keluar dari bawah keramik. Dalam pandangan mataku, burung itu benar-benar keluar dari bawah keramik. Hanya saja, burung itu tidak bisa dilihat oleh adikku dan Dira.
Kuperintahkan dia meninggalkan rumah nenek, tapi tidak mau. Burung itu terbang ke pojok ruangan. Aku mengejarnya. Kami terus bertarung. Satu dua pukulanku telah menerpa badannya. Burung gagak itu sempat terdesak. Ia terbang keluar rumah. Dari ujung gang burung gagak itu melempariku dengan bola-bola api. Aku menjerit kesakitan. Bola-bola itu terus menghantam diriku.
Adik dan Dira terperangah. Mereka hanya melihat gerakan badanku yang kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya pasrah melihatku seperti orang kesakitan.
Kukatakan kepada adik dan Dira apa yang baru saja kualami. Keduanya percaya dengan apa yang kukatakan, meski mereka tidak melihatnya. Bertiga, kami kembali melakukan persekutuan kecil. Kami meminta perlindungan kepada Tuhan dari keburukan makhluk ciptaan-Nya.
Ketika kami sedang dalam kondisi berdoa, yang datang makin aneh-aneh. Ada yang berbentuk pocong. Ia menghampiriku sambil menyeringai. Aku menjerit ketakutan. Sementara adik dan Dira hanya bisa melihat reaksiku. Mereka tidak melihat apa yang kulihat. Bergantian makhluk-makhluk aneh terus menggangguku. Ada raksasa. Ada ular dan macan.
Adik dan Dira berusaha melindungiku dari terkaman macan dan gigitan ular. Sambil menangis dan berdoa. Tak terasa, pertarungan itu berlangsung hingga jam setengah sepuluh malam. Pertarungan itu terhenti dengan sendirinya, setelah badanku kelelahan. Dan aku pun tertidur.
Menjadi incaran jin di kos-kosan.
Sejak pertemuan dengan jin di rumah nenek itu, persinggunganku dengan dunia jin terus berlanjut. Aku bisa melihat penampakan bangsa jin, meski orang lain tidak ada yang melihatnya. Kebetulan, sewaktu kuliah aku tinggal di kos-kosan. Di samping lebih dekat dengan kampus juga hemat biaya.
Di tempat kos itulah jin laki-laki, katanya, banyak yang suka kepadaku. Hal ini kuketahui dari jin yang merasuk ke dalam tubuhku. Suatu ketika, aku hendak mandi. Ternyata di dalam kamar mandi sudah ada jinnya. Kuperintahkan dia keluar. Jin itu pun menurut. Namun, beberapa menit berselang, ketukan pintu bertubi-tubi menggangguku. Pikirku dia adalah jin yang barusan keluar. Ternyata benar. Jin itu enggan tinggal di kamarku. Ia lebih memilih tinggal di kamar mandi.
Penampakan jin di kamar mandi itu hanyalah satu dari sekian penampakan jin yang kulihat di tempat kos yang kebetulan banyak kamar kosongnya. Entah mengapa, banyak mahasiswi yang enggan kos di sana. Apakah mereka sering mendapat gangguan dari jin? Aku tidak tahu.
Setelah peristiwa demi peristiwa yang kualami, bisa jadi apa yang menimpaku juga menimpa mereka. Bedanya, mereka tidak bisa berdialog dengan jin seperti diriku.
Suatu ketika, aku menderita demam di tempat kos. Sudah berhari-hari suhu panas badanku tidak kunjung turun. Teman-teman yang mulai mengkhawatirkan kondisiku berinisiatif untuk menghubungi orangtuaku.
Ketika mama menjengukku di tempat kos, tiba-tiba suaraku berubah. Kata mama, aku kerasukan jin yang mengaku bernama Magdalena.
Katanya, ia merasuk ke dalam diriku, karena ingin melindungiku dari gangguan jin laki-laki yang suka iseng. Ia pun menyarankan agar aku segera dibawa ke rumah sakit. "Tante-tante, anaknya sudah harus dibawa ke rumah sakit nih. Ini sudah parah." Saat jin Magdalena berkata begitu, aku sudah tidak sadarkan diri.
Akhirnya mama membawaku ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit itu, katanya, jin Magdalena terus berkomentar macam-macam. Ia mengatakan ini dan itu. Sesampai di depan rumah sakit, mama jengkel karena jin Magdalena ngoceh terus. "Kalau kamu mau menolong Monika, kamu harus keluar," kata mama.
"Ya sudah, aku mau keluar. Tapi syaratnya nanti kuburanku di Petamburan, Jakarta Barat harus ditengok," pinta jin Magdalena.
Mama menyetujui permintaan jin Magdalena. Begitu menginjak pintu rumah sakit, aku sadarkan diri. Tapi binatang kus-kus peliharaanku langsung mati. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan kepergian Magdalena dan kematian kus-kus. Tapi yang jelas, karena ketidakmengertian, akhirnya tiga hari berselang dari kesembuhanku, dengan diantar mama aku mendatangi kuburan yang ditunjukkan jin Magdalena. Masalahnya, nama Magdalena begitu banyak tertera di atas batu nisan hingga kami kebingungan. Kami pun meninggalkan kuburan tanpa tahu di mana makam jin Magdalena.
Menjadi Peramal di Kampus.
Perlahan namun pasti, aku mulai memiliki kemampuan menerawang. Aku tidak tahu bagaimana keahlian itu mengalir dalam diriku. Tiba-tiba saja aku iseng ketika ada teman kos yang memajang foto pacarnya di dinding.
"Tak lama lagi kamu akan pisah dengan dia," kataku acuh tak acuh. Rupanya, temanku itu tidak terima. Ia marah dan langsung memukulku. Aku dianggap telah berdoa yang tidak baik. Karena itu, aku diam saja diperlakukan begitu. Karena aku tahu bila dia mencintai pacarnya. Masalahnya, dalam terawanganku, aku mendapat isyarat bahwa hubungan mereka hanya tinggal hitungan hari.
Apa yang kukatakan itu benar adanya. Hubungan mereka putus. Seperti bunga yang layu sebelum berkembang. Dari sini, kemampuan terawanganku menyebar dari mulut ke mulut. Sampai ada yang khusus datang ke kamarku hanya minta diterawang masa depannya. Ia datang menghadapku dengan begitu hormatnya seperti sedang berhadapan dengan seorang dukun. Dia mengatakan bila hubungannya dengan pacar ditentang oleh orangtua pacarnya.
Melihat tingkahnya aku sampai menahan geli. Tapi apa mau dikata. Kucoba konsentrasi sejenak. Gambaran wajah pacarnya pun hadir dalam benakku. "Pacarmu, rambutnya pendek, kulitnya putih, cakep, …" tanyaku setelah selesai menerawang.
"Benar," katanya dengan mata berbinar.
"Di antara ruang tamu dan ruang tengah rumahmu ada sekat seperti lemari. Di sebelah kiri ada kamarnya," kataku lagi. Ia membenarkan ucapanku lalu bertanya. "Gimana, lebih baik dilanjutkan atau tidak?"
Waktu itu aku tidak punya tendensi apa-apa. Kukatakan saja bila pacarnya itu terlalu didominasi oleh ibunya. Dan tak lama lagi, hubunganmu akan putus. Wanita muda itu mendengarkan ucapanku dengan antusias. Meski aku tahu, dalam hatinya ia sulit menerima apa yang kukatakan dengan tenang. Ia sudah sekian tahun berpacaran, lalu mengapa harus berpisah?
Beberapa hari kemudian, jawaban dari terawanganku menemukan hasil. Wanita itu, katanya, sudah diputus sama pacarnya. Sang pacar lebih memilih menuruti orangtuanya daripada pilihannya sendiri.
Selain terawangan dengan hasil yang akurat, aku juga pernah dibohongi jin yang memberikan terawangan yang salah. Kisahnya bermula ketika bapakku kehilangan uang dua juta lima ratus ribu rupiah. Sebuah nilai yang tidak sedikit. Akhirnya bapak mengumpulkan dua puluhan orang yang dimungkinkan mengambil uang tersebut. Bapak kemudian memintaku menerawang. Siapa di antara mereka yang mengambil uangnya.
Kucoba konsentrasi. Petunjuknya mengarah kepada satu orang yang masih teman bapak sendiri. Bapak kemudian menanyai orang tersebut, tapi dia tidak mengaku. Waktu itu aku sangat yakin dengan terawanganku, maka kukatakan pada bapak. "Cari saja di mobilnya. Mungkin diumpetin di jok mobil," kataku.
Beberapa orang kemudian menggeledah mobilnya, tapi tetap tidak menemukan hasilnya. Dalam keadaan mata terpejam, jin yang merasuk ke dalam diriku sempat berkata melalui diriku. "Kamu harus jujur. Jangan suka mencuri." Aku malu bila mengingat kejadian itu. Sku telah mempermalukan orang di muka umum.
Melihat terawanganku tidak berhasil, akhirnya bapak memanggil orang pintar yang kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahku. Hasil terawangannya sama dengan terawanganku. Masalahnya, orang yang tertuduh tetap tidak mengakui bahwa dia yang mencurinya.
Dua hari kemudian, kepastian uang itu didapat. Ternyata uang dua juta setengah yang diributkan itu masih tersimpan dalam rekening tabungan bapak. Selama ini uang tersebut belum sempat diambilnya.
Menerawang Perselingkuhan Suami
Kebiasaan untuk menerawang masih berlanjut meski aku telah memeluk agama Islam dan menikah. Bedanya, bila dulu terawangan itu kumanfaatkan untuk meneropong orang lain, setelah menikah terawangan itu kupergunakan untuk memonitor suamiku.
Sebagai seorang penyanyi, aku menikah dengan seorang artis. Sebut saja namanya Leo. Sebagai seorang istri seorang artis aku sadar memang tidak mudah. Ada banyak godaan yang menerpa suami. Baik godaan dari sesama artis maupun penggemarnya.
Suatu ketika, suamiku sedang syuting di daerah puncak, Bogor. Hatiku mulai tidak tenang. Terlebih bila suamiku pernah cerita bahwa ada seorang pemain yang suka menggodanya. Kegelisahanku semakin memuncak ketika aku sedang shalat. Entah kenapa tiba-tiba terlintas bayangan suamiku sedang digoda seorang wanita.
Selesai shalat, aku berbicara dengan salah satu jin. "Tolong, jagain dia. Jaga dia dari apapun yang tidak baik," kataku kepada salah satu jin yang selama ini sering dialog denganku.
Selang sehari kemudian, aku mendapat terawangan bahwa suamiku tidur satu pavillyun dengan pemain wanita yang selama ini menggodanya. Dalam terawangan itu tergambar dengan jelas bagaimana pemain wanita yang mengenakan daster tipis berwarna pink mendekati suamiku. Ia mendekat lalu memeluknya.
Seketika aku terkesiap. Dadaku sesak. Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres di sana. Aku langsung menghubungi adik kandungku yang kebetulan juga ikut terlibat di kegiatan syuting itu. Kukatakan terawanganku apa adanya. Adikku membenarkan bila artis wanita tersebut sering mengenakan daster pink. "Ada bordernya," kataku.
"Iya." Dari balik telephone, adikku membenarkan terawanganku. Katanya, suamiku tinggal satu pavillyun dengan wanita yang suka menggodanya. Namun, mereka tidur di kamar yang berbeda. Sementara ruangan tamu dipakai kru-kru syuting lainnya.
Dadaku semakin sesak. Apa yang kukhawatirkan semakin mendekati kenyataan. Akhirnya, masih dengan hati yang panas, kuhubungi suamiku. Ia berusaha menjelaskan kondisi yang sesungguhnya. Bahwa ia tidak mungkin berhubungan dengan wanita lain. Terlebih ruangan tamu disesaki oleh kru syuting.
Untuk sementara hatiku sedikit tenang. Tapi bukan berarti aku sudah terbebas dari perasaan cemburu. Sebagai seorang istri wajar bila aku emosi melihat suami didekati wanita lain. Meski itu hanya ada dalam terawangan. Yang masih menyimpan kemungkinan benar dan salah.
Akibatnya, percekcokan dalam rumah tanggaku tidak lagi terelakkan. pada satu sisi ketika hatiku tidak tenang, maka kugunakan kemampuan terawanganku. Namun, pada sisi lain, apa yang kulihat dalam terawangan itu disangkal suamiku. Ia tidak mengakui bila telah selingkuh.
Hingga suatu ketika, aku harus kembali berpisah dengan suamiku untuk rentang waktu yang cukup lama. Tiga bulan kami terpisah karena jarak. Aku di Jakarta, sementara suamiku di Jawa Tengah.
Saat terpisah itulah hatiku gelisah. Aku tidak tenang. Dan dalam terawangan itu muncullah dua insan berlainan jenis yang sedang berhubungan intim. Satu orang kukenal dengan baik, karena dia adalah suamiku. Sementara wanita yang bersamanya, sama sekali belum kukenal.
Awalnya, aku tidak percaya. Paling syetan lagi, syetan lagi, pikirku. Tapi ketika terawangan yang sama berulang beberapa kali, aku mulai gelisah. Aku berada dalam kebimbangan antara percaya dan tidak.
Untuk menghilangkan keraguan itu, kuputuskan untuk menemui suami di Jawa Tengah dengan membawa anakku yang baru berumur satu tahun. Firasatku mengatakan, aku harus menjemput suami di tempat kerjanya. Lalu mengajaknya makan di restaurant.
Firasat itu kuikuti. Kujemput suamiku di tempat kerjanya. Lalu mengajaknya makan malam di restaurant. Saat itu kami mengendarai sepeda motor. Di tengah perjalanan pulang dari restaurant, ada seorang pengendara motor yang berusaha membuntuti kami. Ia terus menguntit kami sambil marah-marah. Ia menyuruh suamiku meminggirkan sepeda motornya.
Karena takut terjatuh, padahal aku sedang menggendong anakku, kusuruh suamiku berhenti sebentar. Pengendara sepeda motor tersebut kemudian menyerahkan selembar amplop berisi foto kepadaku dengan marah. Amplop itu pun langsung dirampas suamiku sebelum sempat kubuka.
Sesampainya di rumah, aku meminta amplop itu dengan baik-baik. Tapi suamiku enggan memberikannya. Berulang-ulang aku memintanya sampai dengan nada yang agak meninggi, ia baru memberikannya.
Amplop itu berisi foto suamiku yang berduaan dengan seorang wanita. Posisi mereka dekat sekali. Seperti amplop dengan perangkonya. Melihat foto itu kemarahanku tidak tertahankan. Dengan reflek kutendang uluhatinya. Suamiku terkapar. Ia nyaris pingsan.
Melihat suamiku yang sudah tak berdaya, kucoba mengontrol diri. Kutanyakan siapa wanita itu, tapi ia tetap tidak mau mengaku. Sampai aku mengancamnya. "Kalau suatu saat aku tahu kamu melakukan apa yang sudah kulihat dalam terawanganku, kamu ingat baik-baik, sepuluh kali lipat aku akan melakukan itu. Aku akan melakukannya di depan matamu."
Ancamanku berhasil. Aku melihat raut mukanya berubah. Satu hal yang menunjukkan bahwa ia telah selingkuh. Beberapa hari kemudian, ia mengakui kesalahannya. Ia menangis sampai bersimpuh di depanku meminta maaf. Dia mengatakan bahwa aku boleh melakukan seperti yang dilakukannya.
Tapi aku tidak bodoh. Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Aku tidak mau berbuat dosa yang menjijikkan itu. Ancamanku itu hanyalah bagian dari penyelidikanku atas kebenaran terawanganku.
"Kok kamu tidak takut, waktu kamu melakukan itu. Kamu kan tahu siapa aku," kataku dengan nada bergetar menahan marah.
"Justru itu, pertama kali aku melakukan hubungan badan itu aku menangis. Karena aku yakin kamu pasti tahu," katanya dengan suara sesenggukan.
"Tapi kenapa ada dua, tiga dan empat?" kataku tegas. "Kalau sekali, kumaafkan kamu. Kamu khilaf. Tapi kalau lebih dari dua kali itu kamu bukan khilaf." Saat itu aku langsung minta cerai, tapi dia tidak mau. Akhirnya aku menempuh langkah pisah ranjang. Hingga kini sudah hampir setahun aku tidak lagi serumah dengan suamiku. Meski kami belum resmi cerai.
Hatiku benar-benar terluka mendengar pengakuannya. Aku dapat melihat dari awal sampai akhir kisah perselingkuhan mereka. Satu kenyataan yang tidak bisa dilakukan wanita kebanyakan yang suaminya berselingkuh.
Pertemuan dengan Majalah Ghoib.
Pertemuanku dengan tim Ghoib Ruqyah Syar'iyyah (GRS) cabang Bekasi bermula ketika aku sakit kepala yang luar biasa. Selain itu perasaanku sering tidak enak. Tidak ada masalah apa-apa tiba-tiba aku menangis. Lain waktu aku marah tanpa sebab. Kadang-kadang penglihatan dan pendengaranku menjadi kabur.
Ada yang mengatakan bahwa aku terkena pelet yang sudah menahun. Bila tidak diobati, katanya, dikhawatirkan aku bisa gila. Akhirnya aku disarankan mengikuti terapi ruqyah di GRS cabang Bekasi.
Setelah diruqyah Ustadz Ahmad dan Ustadz … kondisiki makin membaik. Sakit kepala bisa dikatakan sudah sembuh 80 %. Yang lebih penting dari itu, aku tidak lagi menerapkan ilmu terawangan yang hadir dengan sendirinya. Hatiku sudah mantap untuk melepaskan kemampuan yang hanya merugikan diri dan keluargaku. Aku tidak ingin menjadi intip neraka lantaran bekerja sama dengan syetan.
http://terapi-ruqyah.blogspot.com/
Aku Menerawang Perselingkuhan Suamiku
Senjata makan tuan. Itulah pepatah yang menggambarkan kehidupan Monika. Sebagai seorang ahli terawangan, ia biasa menerawang masa depan atau apa yang sedang terjadi di tempat lain. Juga dengan ilmu terawangan, jin yang dikirim untuk menjaga suaminya, menggambarkan dengan jelas, bagaimana perslingkuhan suaminya terjadi. Dari detik ke detik. Sebuah pemandangan yang sangat menyakitkan. Monika menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Bekasi. Berikut kisahnya.
Menurut cerita yang kudengar dari orangtuaku, kakek dari pihak ibu tergolong orang sakti. Ia memiliki kemampuan linuwih untuk membuat aneka keris yang 'sakti'. Proses pembuatannya pun tidak sembarangan. Diperlukan tirakatan dan lelakon tertentu. Seandainya kakek hidup pada zaman kerajaan tempo dulu seperti Majapahit atau Singosari, tentu ia berhak mendapat sebutan sebagai seorang Empu. Seperti halnya kisah Empu Gandring yang sangat populer di kalangan ahli sejarah.
Beberapa keris dan benda-benda pusaka lainnya ada yang masih tersimpan di rumah nenek. Sepuluh tahun yang lalu, ketika aku menginap di rumah nenek di Cilacap, Jawa Tengah aku mengalami kejadian aneh. Secara naluriah aku merasakan ada keanehan di salah satu sudut ruangan. Aku merasa ada makhluk aneh berdiam di bawah lantai. Dengan reflek kuperintahkan makhluk itu keluar.
"Eh, kamu yang di sana, keluar!" teriakku sambil menunjuk ke bawah keramik.
Dari bawah keramik di kamar 3 x 4 itu keluarlah sosok hologram setinggi tiga meter. Aku teringat dengan film Aladin. Sosok jin bertubuh tinggi besar keluar dari guci kuno.
Sosok hologram itu pun duduk bersila di lantai. Laksana seorang pengawal yang bersimpuh di hadapan rajanya.
"Ada apa kamu mengusirku? Aku sudah lama tinggal di rumah ini," kata jin tersebut. Aku terkesima. Sama sekali tidak kuduga bila ada yang menyambut seruanku. Aku hanya mengikuti kata hati yang merasakan adanya keanehan di rumah nenek. Orang Jawa bilang rumah nenek itu singup. Hawanya kurang bersahabat.
Mungkin karena usia muda, dengan entheng kuperintahkan jin itu keluar. "Ya sudah, kamu keluar dari rumah nenek," kataku.
"Tidak bisa. Aku sudah lama tinggal di rumah ini," kata jin tersebut yang enggan meninggalkan rumahnya. Aku pun terus berdialog. Dengan tetap pada satu keyakinan bahwa jin tersebut harus keluar dari rumah nenek.
Entah mengapa, jin itu kemudian menyerah dengan memberikan persyaratan. "Aku mau keluar dari rumah ini, tapi aku mau ikut kamu saja," katanya. Aku tidak tahu bagaimana memberikan jawaban atas permintaannya. Tiba-tiba sosok hologram itu telah menghilang dari hadapanku. Ia melayang menembus dinding dan lenyap dari pandanganku.
Aku pun hanya terdiam. Sebuah peristiwa aneh yang belum pernah kualami. Aku masih tidak percaya. Keesokan harinya, ketika diadakan persekutuan kecil (ritual keagamaan Kristen) di rumah nenek, pendeta berkata kepadaku.
"Mbak Monika, kamu bisa merasakan apa yang ada di sekeliling kita ini?" katanya lirih.
Aku mengerti maksud pembicaraan pendeta. Aku pun berkonsentrasi sejenak. Kucoba merasakan keanehan yang ada di sekelilingku. Perlahan kusisir dengan mata batinku. Satu persatu kusisihkan segala hal yang tidak ada hubungannya dengan permintaan pendeta.
"Ada burung di bawah lantai. Warnanya hitam," kataku pelan.
"Ya, itu burung gagak," seru pendeta. "Terus kamu teliti lagi di dalam sini ada apa saja," katanya sejurus kemudian.
Aku kembali berkonsentrasi. "Aku melihat Peti kecil berbendera. Peti itu sepertinya ditanam," kataku tak lama kemudian.
Pendeta itu menyadari bahwa kelak kehidupanku akan banyak bersentuhan dengan dunia ghaib. Aku akan banyak berhubungan dengan dunia jin seperti dirinya. Karena aku bisa melihat burung gagak beserta peti dan benderanya. Sebuah pemandangan yang tidak bisa dilihat oleh kebanyakan orang. Ia mengatakan bahwa kemampuan yang kumiliki ini tergolong satu dari tujuh mukjizat. Mukjizat lainnya adalah bisa mendengar suara nyanyian dari surga, bisa ceramah, bisa melihat makhluk dan berkomunikasi dengannya.
Setelah pendeta pulang, tinggallah aku, adikku dan seorang temanku, Dira, yang berdiam di rumah nenek. Jiwa usilku kembali muncul. Kuperintahkan burung gagak tersebut untuk keluar dari bawah keramik. Dalam pandangan mataku, burung itu benar-benar keluar dari bawah keramik. Hanya saja, burung itu tidak bisa dilihat oleh adikku dan Dira.
Kuperintahkan dia meninggalkan rumah nenek, tapi tidak mau. Burung itu terbang ke pojok ruangan. Aku mengejarnya. Kami terus bertarung. Satu dua pukulanku telah menerpa badannya. Burung gagak itu sempat terdesak. Ia terbang keluar rumah. Dari ujung gang burung gagak itu melempariku dengan bola-bola api. Aku menjerit kesakitan. Bola-bola itu terus menghantam diriku.
Adik dan Dira terperangah. Mereka hanya melihat gerakan badanku yang kesakitan tanpa bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya pasrah melihatku seperti orang kesakitan.
Kukatakan kepada adik dan Dira apa yang baru saja kualami. Keduanya percaya dengan apa yang kukatakan, meski mereka tidak melihatnya. Bertiga, kami kembali melakukan persekutuan kecil. Kami meminta perlindungan kepada Tuhan dari keburukan makhluk ciptaan-Nya.
Ketika kami sedang dalam kondisi berdoa, yang datang makin aneh-aneh. Ada yang berbentuk pocong. Ia menghampiriku sambil menyeringai. Aku menjerit ketakutan. Sementara adik dan Dira hanya bisa melihat reaksiku. Mereka tidak melihat apa yang kulihat. Bergantian makhluk-makhluk aneh terus menggangguku. Ada raksasa. Ada ular dan macan.
Adik dan Dira berusaha melindungiku dari terkaman macan dan gigitan ular. Sambil menangis dan berdoa. Tak terasa, pertarungan itu berlangsung hingga jam setengah sepuluh malam. Pertarungan itu terhenti dengan sendirinya, setelah badanku kelelahan. Dan aku pun tertidur.
Menjadi incaran jin di kos-kosan.
Sejak pertemuan dengan jin di rumah nenek itu, persinggunganku dengan dunia jin terus berlanjut. Aku bisa melihat penampakan bangsa jin, meski orang lain tidak ada yang melihatnya. Kebetulan, sewaktu kuliah aku tinggal di kos-kosan. Di samping lebih dekat dengan kampus juga hemat biaya.
Di tempat kos itulah jin laki-laki, katanya, banyak yang suka kepadaku. Hal ini kuketahui dari jin yang merasuk ke dalam tubuhku. Suatu ketika, aku hendak mandi. Ternyata di dalam kamar mandi sudah ada jinnya. Kuperintahkan dia keluar. Jin itu pun menurut. Namun, beberapa menit berselang, ketukan pintu bertubi-tubi menggangguku. Pikirku dia adalah jin yang barusan keluar. Ternyata benar. Jin itu enggan tinggal di kamarku. Ia lebih memilih tinggal di kamar mandi.
Penampakan jin di kamar mandi itu hanyalah satu dari sekian penampakan jin yang kulihat di tempat kos yang kebetulan banyak kamar kosongnya. Entah mengapa, banyak mahasiswi yang enggan kos di sana. Apakah mereka sering mendapat gangguan dari jin? Aku tidak tahu.
Setelah peristiwa demi peristiwa yang kualami, bisa jadi apa yang menimpaku juga menimpa mereka. Bedanya, mereka tidak bisa berdialog dengan jin seperti diriku.
Suatu ketika, aku menderita demam di tempat kos. Sudah berhari-hari suhu panas badanku tidak kunjung turun. Teman-teman yang mulai mengkhawatirkan kondisiku berinisiatif untuk menghubungi orangtuaku.
Ketika mama menjengukku di tempat kos, tiba-tiba suaraku berubah. Kata mama, aku kerasukan jin yang mengaku bernama Magdalena.
Katanya, ia merasuk ke dalam diriku, karena ingin melindungiku dari gangguan jin laki-laki yang suka iseng. Ia pun menyarankan agar aku segera dibawa ke rumah sakit. "Tante-tante, anaknya sudah harus dibawa ke rumah sakit nih. Ini sudah parah." Saat jin Magdalena berkata begitu, aku sudah tidak sadarkan diri.
Akhirnya mama membawaku ke rumah sakit. Selama dalam perjalanan ke rumah sakit itu, katanya, jin Magdalena terus berkomentar macam-macam. Ia mengatakan ini dan itu. Sesampai di depan rumah sakit, mama jengkel karena jin Magdalena ngoceh terus. "Kalau kamu mau menolong Monika, kamu harus keluar," kata mama.
"Ya sudah, aku mau keluar. Tapi syaratnya nanti kuburanku di Petamburan, Jakarta Barat harus ditengok," pinta jin Magdalena.
Mama menyetujui permintaan jin Magdalena. Begitu menginjak pintu rumah sakit, aku sadarkan diri. Tapi binatang kus-kus peliharaanku langsung mati. Aku tidak tahu apa hubungannya dengan kepergian Magdalena dan kematian kus-kus. Tapi yang jelas, karena ketidakmengertian, akhirnya tiga hari berselang dari kesembuhanku, dengan diantar mama aku mendatangi kuburan yang ditunjukkan jin Magdalena. Masalahnya, nama Magdalena begitu banyak tertera di atas batu nisan hingga kami kebingungan. Kami pun meninggalkan kuburan tanpa tahu di mana makam jin Magdalena.
Menjadi Peramal di Kampus.
Perlahan namun pasti, aku mulai memiliki kemampuan menerawang. Aku tidak tahu bagaimana keahlian itu mengalir dalam diriku. Tiba-tiba saja aku iseng ketika ada teman kos yang memajang foto pacarnya di dinding.
"Tak lama lagi kamu akan pisah dengan dia," kataku acuh tak acuh. Rupanya, temanku itu tidak terima. Ia marah dan langsung memukulku. Aku dianggap telah berdoa yang tidak baik. Karena itu, aku diam saja diperlakukan begitu. Karena aku tahu bila dia mencintai pacarnya. Masalahnya, dalam terawanganku, aku mendapat isyarat bahwa hubungan mereka hanya tinggal hitungan hari.
Apa yang kukatakan itu benar adanya. Hubungan mereka putus. Seperti bunga yang layu sebelum berkembang. Dari sini, kemampuan terawanganku menyebar dari mulut ke mulut. Sampai ada yang khusus datang ke kamarku hanya minta diterawang masa depannya. Ia datang menghadapku dengan begitu hormatnya seperti sedang berhadapan dengan seorang dukun. Dia mengatakan bila hubungannya dengan pacar ditentang oleh orangtua pacarnya.
Melihat tingkahnya aku sampai menahan geli. Tapi apa mau dikata. Kucoba konsentrasi sejenak. Gambaran wajah pacarnya pun hadir dalam benakku. "Pacarmu, rambutnya pendek, kulitnya putih, cakep, …" tanyaku setelah selesai menerawang.
"Benar," katanya dengan mata berbinar.
"Di antara ruang tamu dan ruang tengah rumahmu ada sekat seperti lemari. Di sebelah kiri ada kamarnya," kataku lagi. Ia membenarkan ucapanku lalu bertanya. "Gimana, lebih baik dilanjutkan atau tidak?"
Waktu itu aku tidak punya tendensi apa-apa. Kukatakan saja bila pacarnya itu terlalu didominasi oleh ibunya. Dan tak lama lagi, hubunganmu akan putus. Wanita muda itu mendengarkan ucapanku dengan antusias. Meski aku tahu, dalam hatinya ia sulit menerima apa yang kukatakan dengan tenang. Ia sudah sekian tahun berpacaran, lalu mengapa harus berpisah?
Beberapa hari kemudian, jawaban dari terawanganku menemukan hasil. Wanita itu, katanya, sudah diputus sama pacarnya. Sang pacar lebih memilih menuruti orangtuanya daripada pilihannya sendiri.
Selain terawangan dengan hasil yang akurat, aku juga pernah dibohongi jin yang memberikan terawangan yang salah. Kisahnya bermula ketika bapakku kehilangan uang dua juta lima ratus ribu rupiah. Sebuah nilai yang tidak sedikit. Akhirnya bapak mengumpulkan dua puluhan orang yang dimungkinkan mengambil uang tersebut. Bapak kemudian memintaku menerawang. Siapa di antara mereka yang mengambil uangnya.
Kucoba konsentrasi. Petunjuknya mengarah kepada satu orang yang masih teman bapak sendiri. Bapak kemudian menanyai orang tersebut, tapi dia tidak mengaku. Waktu itu aku sangat yakin dengan terawanganku, maka kukatakan pada bapak. "Cari saja di mobilnya. Mungkin diumpetin di jok mobil," kataku.
Beberapa orang kemudian menggeledah mobilnya, tapi tetap tidak menemukan hasilnya. Dalam keadaan mata terpejam, jin yang merasuk ke dalam diriku sempat berkata melalui diriku. "Kamu harus jujur. Jangan suka mencuri." Aku malu bila mengingat kejadian itu. Sku telah mempermalukan orang di muka umum.
Melihat terawanganku tidak berhasil, akhirnya bapak memanggil orang pintar yang kebetulan tinggal tidak jauh dari rumahku. Hasil terawangannya sama dengan terawanganku. Masalahnya, orang yang tertuduh tetap tidak mengakui bahwa dia yang mencurinya.
Dua hari kemudian, kepastian uang itu didapat. Ternyata uang dua juta setengah yang diributkan itu masih tersimpan dalam rekening tabungan bapak. Selama ini uang tersebut belum sempat diambilnya.
Menerawang Perselingkuhan Suami
Kebiasaan untuk menerawang masih berlanjut meski aku telah memeluk agama Islam dan menikah. Bedanya, bila dulu terawangan itu kumanfaatkan untuk meneropong orang lain, setelah menikah terawangan itu kupergunakan untuk memonitor suamiku.
Sebagai seorang penyanyi, aku menikah dengan seorang artis. Sebut saja namanya Leo. Sebagai seorang istri seorang artis aku sadar memang tidak mudah. Ada banyak godaan yang menerpa suami. Baik godaan dari sesama artis maupun penggemarnya.
Suatu ketika, suamiku sedang syuting di daerah puncak, Bogor. Hatiku mulai tidak tenang. Terlebih bila suamiku pernah cerita bahwa ada seorang pemain yang suka menggodanya. Kegelisahanku semakin memuncak ketika aku sedang shalat. Entah kenapa tiba-tiba terlintas bayangan suamiku sedang digoda seorang wanita.
Selesai shalat, aku berbicara dengan salah satu jin. "Tolong, jagain dia. Jaga dia dari apapun yang tidak baik," kataku kepada salah satu jin yang selama ini sering dialog denganku.
Selang sehari kemudian, aku mendapat terawangan bahwa suamiku tidur satu pavillyun dengan pemain wanita yang selama ini menggodanya. Dalam terawangan itu tergambar dengan jelas bagaimana pemain wanita yang mengenakan daster tipis berwarna pink mendekati suamiku. Ia mendekat lalu memeluknya.
Seketika aku terkesiap. Dadaku sesak. Aku merasakan ada sesuatu yang tidak beres di sana. Aku langsung menghubungi adik kandungku yang kebetulan juga ikut terlibat di kegiatan syuting itu. Kukatakan terawanganku apa adanya. Adikku membenarkan bila artis wanita tersebut sering mengenakan daster pink. "Ada bordernya," kataku.
"Iya." Dari balik telephone, adikku membenarkan terawanganku. Katanya, suamiku tinggal satu pavillyun dengan wanita yang suka menggodanya. Namun, mereka tidur di kamar yang berbeda. Sementara ruangan tamu dipakai kru-kru syuting lainnya.
Dadaku semakin sesak. Apa yang kukhawatirkan semakin mendekati kenyataan. Akhirnya, masih dengan hati yang panas, kuhubungi suamiku. Ia berusaha menjelaskan kondisi yang sesungguhnya. Bahwa ia tidak mungkin berhubungan dengan wanita lain. Terlebih ruangan tamu disesaki oleh kru syuting.
Untuk sementara hatiku sedikit tenang. Tapi bukan berarti aku sudah terbebas dari perasaan cemburu. Sebagai seorang istri wajar bila aku emosi melihat suami didekati wanita lain. Meski itu hanya ada dalam terawangan. Yang masih menyimpan kemungkinan benar dan salah.
Akibatnya, percekcokan dalam rumah tanggaku tidak lagi terelakkan. pada satu sisi ketika hatiku tidak tenang, maka kugunakan kemampuan terawanganku. Namun, pada sisi lain, apa yang kulihat dalam terawangan itu disangkal suamiku. Ia tidak mengakui bila telah selingkuh.
Hingga suatu ketika, aku harus kembali berpisah dengan suamiku untuk rentang waktu yang cukup lama. Tiga bulan kami terpisah karena jarak. Aku di Jakarta, sementara suamiku di Jawa Tengah.
Saat terpisah itulah hatiku gelisah. Aku tidak tenang. Dan dalam terawangan itu muncullah dua insan berlainan jenis yang sedang berhubungan intim. Satu orang kukenal dengan baik, karena dia adalah suamiku. Sementara wanita yang bersamanya, sama sekali belum kukenal.
Awalnya, aku tidak percaya. Paling syetan lagi, syetan lagi, pikirku. Tapi ketika terawangan yang sama berulang beberapa kali, aku mulai gelisah. Aku berada dalam kebimbangan antara percaya dan tidak.
Untuk menghilangkan keraguan itu, kuputuskan untuk menemui suami di Jawa Tengah dengan membawa anakku yang baru berumur satu tahun. Firasatku mengatakan, aku harus menjemput suami di tempat kerjanya. Lalu mengajaknya makan di restaurant.
Firasat itu kuikuti. Kujemput suamiku di tempat kerjanya. Lalu mengajaknya makan malam di restaurant. Saat itu kami mengendarai sepeda motor. Di tengah perjalanan pulang dari restaurant, ada seorang pengendara motor yang berusaha membuntuti kami. Ia terus menguntit kami sambil marah-marah. Ia menyuruh suamiku meminggirkan sepeda motornya.
Karena takut terjatuh, padahal aku sedang menggendong anakku, kusuruh suamiku berhenti sebentar. Pengendara sepeda motor tersebut kemudian menyerahkan selembar amplop berisi foto kepadaku dengan marah. Amplop itu pun langsung dirampas suamiku sebelum sempat kubuka.
Sesampainya di rumah, aku meminta amplop itu dengan baik-baik. Tapi suamiku enggan memberikannya. Berulang-ulang aku memintanya sampai dengan nada yang agak meninggi, ia baru memberikannya.
Amplop itu berisi foto suamiku yang berduaan dengan seorang wanita. Posisi mereka dekat sekali. Seperti amplop dengan perangkonya. Melihat foto itu kemarahanku tidak tertahankan. Dengan reflek kutendang uluhatinya. Suamiku terkapar. Ia nyaris pingsan.
Melihat suamiku yang sudah tak berdaya, kucoba mengontrol diri. Kutanyakan siapa wanita itu, tapi ia tetap tidak mau mengaku. Sampai aku mengancamnya. "Kalau suatu saat aku tahu kamu melakukan apa yang sudah kulihat dalam terawanganku, kamu ingat baik-baik, sepuluh kali lipat aku akan melakukan itu. Aku akan melakukannya di depan matamu."
Ancamanku berhasil. Aku melihat raut mukanya berubah. Satu hal yang menunjukkan bahwa ia telah selingkuh. Beberapa hari kemudian, ia mengakui kesalahannya. Ia menangis sampai bersimpuh di depanku meminta maaf. Dia mengatakan bahwa aku boleh melakukan seperti yang dilakukannya.
Tapi aku tidak bodoh. Aku tidak mau melakukan kesalahan yang sama. Aku tidak mau berbuat dosa yang menjijikkan itu. Ancamanku itu hanyalah bagian dari penyelidikanku atas kebenaran terawanganku.
"Kok kamu tidak takut, waktu kamu melakukan itu. Kamu kan tahu siapa aku," kataku dengan nada bergetar menahan marah.
"Justru itu, pertama kali aku melakukan hubungan badan itu aku menangis. Karena aku yakin kamu pasti tahu," katanya dengan suara sesenggukan.
"Tapi kenapa ada dua, tiga dan empat?" kataku tegas. "Kalau sekali, kumaafkan kamu. Kamu khilaf. Tapi kalau lebih dari dua kali itu kamu bukan khilaf." Saat itu aku langsung minta cerai, tapi dia tidak mau. Akhirnya aku menempuh langkah pisah ranjang. Hingga kini sudah hampir setahun aku tidak lagi serumah dengan suamiku. Meski kami belum resmi cerai.
Hatiku benar-benar terluka mendengar pengakuannya. Aku dapat melihat dari awal sampai akhir kisah perselingkuhan mereka. Satu kenyataan yang tidak bisa dilakukan wanita kebanyakan yang suaminya berselingkuh.
Pertemuan dengan Majalah Ghoib.
Pertemuanku dengan tim Ghoib Ruqyah Syar'iyyah (GRS) cabang Bekasi bermula ketika aku sakit kepala yang luar biasa. Selain itu perasaanku sering tidak enak. Tidak ada masalah apa-apa tiba-tiba aku menangis. Lain waktu aku marah tanpa sebab. Kadang-kadang penglihatan dan pendengaranku menjadi kabur.
Ada yang mengatakan bahwa aku terkena pelet yang sudah menahun. Bila tidak diobati, katanya, dikhawatirkan aku bisa gila. Akhirnya aku disarankan mengikuti terapi ruqyah di GRS cabang Bekasi.
Setelah diruqyah Ustadz Ahmad dan Ustadz … kondisiki makin membaik. Sakit kepala bisa dikatakan sudah sembuh 80 %. Yang lebih penting dari itu, aku tidak lagi menerapkan ilmu terawangan yang hadir dengan sendirinya. Hatiku sudah mantap untuk melepaskan kemampuan yang hanya merugikan diri dan keluargaku. Aku tidak ingin menjadi intip neraka lantaran bekerja sama dengan syetan.
http://terapi-ruqyah.blogspot.com/
Categories: KESAKSIAN
0 comments:
Post a Comment