Monday, February 1, 2016

Aku Melawan Teluh Atasanku [3]



Aku Melawan Teluh Atasanku [3]
Selasa, 02 Februari 2016 -  23 Rabiul Akhir 1437 H



  Untuk menemukan jawaban atas pertanyaan itu, aku kembali mencari ‘orang pintar’. Ke merekalah aku berobat. Kepada mereka pula aku mencari jawaban atas teka-teki itu.

  Jawaban mereka tidak jauh dari apa yang kuperkirakan. Ya, katanya atasanku tidak suka dengan selama ini.

  Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan akhirnya ‘orang pintar’ yang biasa dipanggil dengan Mbah Karto itu membuatkan aku jimat pelindung yang harus kukantongi kemana pun aku pergi.

  Bukan ketenangan yang kudapatkan. Tapi jiwa tempramentalku semakin meledak-ledak. Aku bahkan berani melawan seorang petugas kepolisian yang menilang lantaran aku tidak membawa STNK.

  Aku tahu bila salah. Motor sudah kuserahkan. Tapi oknum kepolisian itu meminta uang damai. Sementara di tanganku tidak ada uang sepeserpun. 

  Kukatakan, kalau minta uang nanti sama atasanku saja. Agak lama juga kami bersitegang, sampai akhirnya atasanku datang menyelesaikan urusan kami.

  Jiwa tempramentalku semakin meledak-ledak. Lantaran kesalahan yang kecil, aku sudah marah. Belum lagi ditambah dengan sakit kepala dan sesak napas yang sering muncul mendadak. Semakin menambah deret masalah yang menghampiriku.

  Atas pertimbangan kesehatan yang sering terganggu aku mengajukan diri untuk mutasi pindah ke tempat yang lebih dekat dengan tempat tinggal orangtuaku.

  Aku bersyukur, permohonkanku dikabulkan. Selain lebih dekat dengan orang tua, disana, juga ada pengobatan alternative yang menggunakan media telur.

  Untuk beberapa saat aku menjadi pasien yang datang secara berkala. Setiap kali kesana, ada saja perubahan dari telur yang ditunjukkan. Kadang ada patahan jarum di dalam telur yang dioles-oleskan ke tubuhku.

  Lain kali ada patahan silet. Di lain hari ganti pecahan kaca yang masuk ke dalam telur.

  Sebagai orang awam, kejanggalan-kejanggalan itu tentu menambah keyakinan atas kebenaran informasi yang disampaikan dukun bahwa aku sedang diserang teluh atas guna-guna.

    Tahun 2002 meski kondisi kesehatanku masih belum stabil, aku mewujudkan cita-citaku untuk menikah dengan seorang gadis yang selama ini banyak memberikan dukungan moril.

  Ia begitu tulus, sayang, perhatian dan mengerti betul akan keadaanku. Kuharap dengan pernikahan ini akan kuperoleh ketenangan batin yang dapat membantu proses kesembuhanku.

  Tapi keadaan berkehendak lain, aku tetap menjadi orang yang sering sakit-sakitan dan yang lebih merisaukan hati, aku jadi sering bertengkar dengan istriku sendiri.

  Sering istriku melihat diriku menjadi orang lain. Katanya wajahku menyeramkan. Terlebih bila aku sedang sakit kepala. Wajahku seakan berubah. Itulah mengapa bila aku mengajak istri untuk berhubungan, tidak langsung dituruti.

  Aku harus membujuk untuk meluluhkan hatinya. Bukan karena ia tidak lagi cinta kepadaku. Bukan karena ada lelaki lain dalam hatinya, tapi lebih disebabkan oleh penglihatannya bahwa wajahku berubah menyeramkan.

  Namun, bila sakit kepala itu reda, katanya wajahku kembali seperti semula. Komunikasi pun berjalan lancar kembali. Yang menjadi masalah adalah sakit kepala itu sering datang mendadak, perubahan wajahku pun terjadi secara tiba-tiba. Aku sangat memahami bila istriku bersikap begitu.

  Untuk menyelesaikan masalah demi masalah yang datang silih berganti, teman-teman menyodorkan daftar ‘orang pintar’ yang katanya, layak untuk kudatangi. Menuruti anjuran keluarga dan juga karena kedangkalan pemahamanku tentang Islam.

  Lagi-lagi ‘orang pintar’ menjadi solusi tempatku berkonsultasi. Meski jawaban yang kuterima pun sudah bisa ditebak; “Ada yang tidak suka dan berusaha memisahkan kamu”.

  Sebenarnya aku jenuh dengan jawaban yang selalu hampir sama, tapi aku merasa tidak memiliki cara lain. Orang mengatakan pokoknya harus berusaha, ya itulah yang kulakukan. [Bersambung]

0 comments:

Post a Comment