Tuesday, January 12, 2016

Aku Melawan Teluh Atasan [1]

Aku Melawan Teluh Atasan [1]
Rabu, 03 Rabiul Akhir 1437 H - 13 Januari 2015
 
   Agus, demikian orang selalu memanggil namaku. Sebagaimana kebanyakan pemuda tahuan 80an saat itu, aku juga mempunyai keinginan memiliki ilmu kanuragan yang bisa diandalkan untuk membela diri.
 
  Mungkin gejala ini akibat maraknya komik dan film-film silat di tanah air. Pengembaraanku mencari padepokan bela diri akhirnya tertuju pada sebuah perguruan pencak silat At Taqwa.

  Mendengar namanya saja, untuk orang awam sepertiku tentu berpikiran inilah perguruan yang Islami. Dalam prakteknya, ternyata aku tidak bisa mengikuti petunjuk dan ajaran yang disampaikan oleh sang guru. Tidak seperti kebanyakan teman seperguruanku yang dengan sangat mudah menerima.

   Dimulai dengan berwudhu  dan dilanjutkan dengan dzikir-dzikir tertentu, maka tubuh mereka dapat melakukan gerakan seperti yang diinginkan. Ada yang bergerak seperti ular, macan maupun kera. Bahkan gerakan lincahnya Bruce Lee juga dapat mereka praktekkan.

   "Mungkin kamu kurang konsentrasi dan kurang yakin," kata  guru menegurku.

    Terus terang, masih terselip keraguan atas apa yang kujalani selama ini, apakah tidak bertentangan apa yang diajarkan agama. Aktifitasku sebagai pengurus Remaja Masjid yang memudahkanku untuk menjalin hubungan dengan tokoh agama lah yang memunculkan keraguan itu.

    Tidak mengherankan bila dalam latihan-latihan berikutnya, tetap saja aku tidak bisa menguasai apa yang diajarkan Rifa'i, guru silat yang masih muda itu. Umurnya baru tiga puluhan tahun. Dia lulusan dari salah satu pondok pesantren di Banten, Jawa Barat.

   Apa yang diyakini sebagai 'roh' macan, 'roh' kera, apalagi 'roh'nya Bruce Lee yang kerap merasuk ke dalam raga teman-temanku tetap tidak bisa memasuki ragaku. Ah...barangkali memang belum jodoh, demikian aku menghibur diri.

   Hingga akhirnya kutinggalkan padepokan bela diri itu dengan hasil sia-sia.

   Gagal menimba ilmu silat secara langsung, tidak membuatku patah semangat untuk mencari ilmu pembenteng diri. Kali ini, aku beralih kepada wahana yang lain. Kebetulan ada salah seorang temanku yang lulusan Pesantren di Jawa Timur.

Ia memberiku sebutir gotri dan sabuk dari kulit rusa.

   Sebenarnya, aku disuruh menelan gotri itu, tapi aku tidak mau. Meski kuterima pemberiannya, tapi gotri itu kemudian kubuang begitu saja. Akal sehatku tetap mengkhawatirkan bila gotri itu akan menimbulkan penyakit bila kutelan.

   Tapi lain halnya dengan sabuk kulit rusa, yang katanya, dapat membentengi diri  dari santet dan tahan bacokan senjata tajam. Karena lingkungan tugasku dimana aku akan ditempatkan memungkinkan terjadinya konflik dengan orang lain, maka sabuk kulit rusa itu pun kukenakan.

   Saat itu, aku merasa membutuhkannya. Alasannya masih sama mengapa aku masuk perguruan beladiri  At Takwa. Bersambung
   

0 comments:

Post a Comment