Alfin, 28 tahun, karyawan swasta
Buang jauh was-was dari dalam hati. Karena hanya menyesakkan dada. Tepis dan dan hentikan sebelum was-was meracuni kehidupan Anda. Seperti kisah yang dituturkan Alfin. Empat tahun, ia menderita lantaran was-was.
Saya kerja sebagai room boydi sebuah hotel, di daerah Senen. Pas ketika tugas malam, jam dua, saya dibangunkan seorang preman. Namanya Anto. Dia mabuk. Ngomongnyangelantur tidak karuan, kata-katanya jorok. Bahasa binatang juga keluar semua.
Waktu itu suasananya rada sepi. Seorang lelaki paruh baya yang mojok bersama seorang wanita muda, terkejut mendengar bentakan-bentakan Anto. Saya tidak mengerti mengapa Anto marah. Padahal saya tidak punya urusan dengan Anto.
Mulanya, kubiarkan saja, agar tidak semakin ramai. Tapi Anto tetap ngoceh, akhirnya kubentak dia. Nyaris kami baku hantam di halaman hotel, kalau tidak dilerai teman-teman. Anto kemudian diamankan satpam hotel.
Pernah juga ada tamu yang marah. Ia mengancam, "Hati-hati kamu. Nyawa itu bisa dibayar," katanya dengan mata melotot.
Berbagai peristiwa itu menyadarkanku, betapa keras kehidupan malam di hotel. Dari situ, saya mulai belajar beladiri. Bukannya ingin dibilang jagoan, tapi hanya untuk penjagaan. Kehidupan malam memang keras.
Saya tertarik belajar silat Betawi. Karena pesertanya kebanyakan orang Betawi. Jadi, saya merasakan persatuannya lebih kuat. Ada semangat kesukuan di sana untuk mempertahankan budaya Betawi. Kami latihan seminggu sekali. Nah, malamnya disuruh makan ketan dan kelapa muda. Menu yang satu ini, menjadi rutin setiap malam. Saya tidak tahu kenapa harus makan ketan dan kelapa muda. Pokoknya yang penting bisa, gitu saja.
Setelah tiga bulan, dilanjutkan dengan ritual mandi kembang. Waktunya jam tiga malam. Pesertanya banyak juga yang dipanggil ustadz.
Setahun saya belajar silat Betawi. Kerja di hotel, juga masih lancar-lancar saja. Meski gangguannya tidak berkurang. Mata juga masih suka jelalatan. Nggak bisa 'diam' melihat wanita cantik. Ya, kerja di hotel, banyak wanita cantiknya. Godaannya juga banyak.
Setahun belajar silat, saya tertarik dengan perguruan silat lain. Tempatnya tidak jauh dari rumahku. Yang ngajarjuga masih orang Betawi. Ada alasan tersendiri mengapa saya bergabung. Cara mengusai jurus di perguruan ini lebih mudah. Cukup dengan membaca wiridan dan puasa selama seminggu.
Sesudah puasa seminggu, jam sebelas malam, saya disuruh makan pisang emas dan kelapa muda.
Ketika merapal wiridan, tanganku bergerak sendiri. Saya hanya membaca dua kalimat syahadat dan beberapa do'a lain dengan mata terpejam. Tanganku bergerak dengan sendirinya. Katanya, jurus yang keluar itu adalah jurus bangau.
Di sana, saya hanya belajar seminggu. Setelah itu, saya tidak datang lagi. Bukan karena sudah menguasai jurusnya, tapi saya kurang sreg saja. Kuakui, sesekali saya masih penasaran dengan jurusnya. Kadang, saya masih mempraktikkannya. Lalu kuhentikan lagi ketika tanganku mulai bergerak.
Didera sakit berkepanjangan
Pertengahan 2003, saya keluar dari tempat kerja. Hotelnya bangkrut. Untuk sesaat, saya kembali menganggur setelah bekerja dua tahun setengah. Tiga bulan kemudian, saya sakit. Sakit biasa. Leherku sakit. Mata juga berkunang-kunang. Sehari dua hari, kuanggap penyakit biasa yang segera sembuh setelah minum obat.
Tapi makin lama makin parah. Kalau bangun pagi, kemudian mandi rasanya itu dingin. Bila sudah begitu, kepala terasa pusing. Saya tidur lagi. Siangnya, sakit lagi. badan itu rasanya berat saja. Malas untuk melakukan aktifitas.
Kira-kira sakit sudah dua bulan, di bulan Desember, bertepatan dengan bulan Ramadhan, sepupuku meninggal. Saya ikut memasukkan jasadnya ke liang kubur. Setelah sepupu meninggal itu badanku lemas sekali. Seperti tidak ada tulangnya. Orang-orang bilang, saya kesambet(kesawanan). Saya berobat ke dokter. Memang badan agak mendingan.
Tapi sehari sepulang dari berobat, ketika sedang shalat tarawih, kepalaku pusing. Rasanya seperti digoyang-goyang. Jadinya, shalat juga tidak khusyu'.
Dalam hati, saya berpikir, ada apa nih. Wah saya mau mati nih. Mau mati nih. Saya ketakutan luar biasa. Muncul was-was itu awalnya di situ. Saya takut mati. Saya takut menyusul sepupu yang jasadnya baru dimakamkan kemarin.
Saya pulang dari masjid dengan gontai. Tidak punya semangat. Orang tua yang melihat gaya berjalanku yang tidak biasanya, menegur. "Kenapa Fin?" tanya ibu. "Nggak apa-apa ma," kataku. Saya katakan, tidak apa-apa, tapi kondisiku kian kritis. Nafasku tersengal-sengal seperti habis sprint.
Malam itu, saya berobat ke dokter. Kata dokter, ini karena pikiran saja. Dokter menyarankanku untuk melupakan masa lalu. Hotel yang bangkrut, pengangguran atau sepupu yang telah meninggal.
Saran dokter kuturuti. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Malamnya saya mimpi menyeramkan. Sepupuku yang sudah meninggal datang. Ia memanggil-manggil namaku. Saya merinding. Saya berlari dan terus berlari, sebelum akhirnya terbangun dengan nafas tersengal-sengal.
Esok malamnya, seorang wanita cantik datang menghampiri. Pakaiannya tipis menantang. Wanita muda itu mengajakku bermain cinta. Entah mengapa, saya terbawa suasana. Hingga akhirnya saya bangun dengan celana yang sudah basah. Ya, malam itu saya mimpi berhubungan intim dengan seorang wanita yang tidak kukenal. Saya istighfarberulang-ulang.
Mimpi demi mimpi selalu menghampiri tidur malamku. Membuat jiwaku semakin tidak tenang. Meski itu adalah malam-malam terakhir di Bulan Ramadhan, tapi mimpi menyeramkan tak pernah henti mentertawakanku. Alhasil, malam-malam itu kulalui dengan ketakutan. Saya sering tidak bisa tidur hingga menjelang Shubuh.
Siangnya, badan terasa lemas, tidak bertenaga. Mengangkat kepala saja rasanya berat. Hidup seperti sudah tidak lagi bergairah. Orang tua tahu, kalau saya sakit. Tapi saya tidak menonjolkan was-was karena takut mati. Saya bersyukur, diberi ketenangan. Tidak gedebak-gedebuk. Karena selalu saya bawa ngaji habis Maghrib.
Sehabis lebaran, leher tidak lagi terasa sakit. Tapi gantian, dada sebelah kananku yang sakitnya bukan main. Sampai meringis saya menahannya. Di bulan Januari, saya berobat lagi ke dokter. Sebelumnya, dilakukan pemeriksaan paru-paru. Kata dokter, paru-paruku bagus. Kondisi jantung juga bagus. Hanya saja, detak jantungku ada masalah, kata dokter. Saya sendiri merasakan detak jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya. Itu pun dengan suara keras yang terdengar telinga.
Sakitnya lebih parah dari yang di leher. Hampir tiap hari, saya harus memegang dada dengan tangan kanan untuk menahan rasa sakitnya. Dalam kondisi yang demikian itu, saya berpikir, usiaku tinggal sedikit.
Ya Allah, usia saya tinggal sedikit lagi nih. Lintasan-lintasan seperti ini selalu berkelebat di benakku. Saya periksa ke dokter umum, difonis TBC. Saya makin takut. Was-was lagi. Sama dokter, saya disuruh minum obat selama tiga bulan non-stop. Katanya, tidak boleh putus minum pilnya.
Ketika sudah berobat dua bulan, dokternya pergi ke luar negeri. Saya bingung. Wah, nggak nyampai nih (sudah hampir meninggal). Itu belum ada perubahan, masih seperti dua bulan sebelumnya.
Akhirnya saya dibawa berobat ke rumah sakit. Kebetulan lagi ada program pengobatan TBC gratis. Alhamdulillah, tidak bayar. Periksa macam-macam. “Siapa yang ngasih kamu obat TBC?” tanya seorang dokter. “Dokter,” kataku.
“Kamu sudah diperiksa darah belum?” selidiknya. “Sudah periksa riak?”. Saya diberondong dengan banyak pertanyaan. Semuanya saya jawab belum. Karena kenyataannya begitu. Akhirnya dokter melarang saya melanjutkan minum obat TBC.
Saya makin bingung. Kata dokter umum, saya sakit TBC. Tapi hasil pemeriksaan dokter di rumah sakit, saya dinyatakan terbebas dari TBC. Padahal, saya masih merasakan sakit yang sama. Kalau sudah parah, mata saya gelap. Saya tidak kuat berdiri lama-lama.
Beralih ke pengobatan alternatif.
Sepulang dari rumah sakit, saya mulai beralih ke pengobatan alternatif. Saya diantar sepupu saya ke Bogor. Sampai di sana, ustadznya sedang keluar. Saya kemudian diterapi oleh istrinya. Pertama, punggung saya ditepuk-tepuk dengan daun sirih. “Ini cuma stress doang nih,” katanya.
Kondisi fisik saya yang lemah itu, katanya hanya karena stress. Padahal nafas saya pendek. Kalau bicara juga tersengal-sengal. “Nanti tiga hari lagi datang ke mari. Nih, saya kasih daun sirih. Bacakan istighfar, minta kesembuhan kepada Allah, lalu lempar ke atas genting,” katanya sambil menyodorkan daun sirih.
Tiga hari kemudian, mau balik ke Bogor, nafasku tersengal-sengal. Sepert orang habis sprint seratus meter saja. Pergelangan tangan saya lemas. Dalam hati, ya Allah saya mati nih. Saya mati nih. Saya ingat itu malam jum'at. Habis baca yasin.
Jam setengah sembilan. Langsung dibawa ke rumah sakit. Langsung periksa jantung. ‘”Oh, anak ibu ada kelainan jantung. Dirawat saja,” kata dokter yang memeriksa saya.
Hari pertama, leher saya diperiksa, katanya bagus. Hari kedua, gantian lever yang diperiksa. Katanya, juga bagus. Jantung juga diperiksa, tapi lambung tidak. Karena saya tidak merasakan keluhan di lambung. Lima hari di rumah sakit, saya selalu dikasih obat penghilang nyeri. Sakitnya itu minta ampun.
Kalau sudah mau adzan Ashar, badan tidak enak. Maghribnya sesak nafas. Sesudah begitu saya selalu was-was. Saya gelisah. Setelah lima hari di rumah sakti, dokter mengizinkan pulang, karena secara medis, saya dinyatakan tidak mengidap penyakit apa-apa. Dokter hanya menyarankan saya dibawa berobat ke alternatif. “Coba ke alternatif,” kata seorang dokter kepada ibu.
Sepulang dari rumah sakit, saya tidak berani masuk rumah. Saya nggak tahu, kenapa. Nafasku kembali sesak. “Pokoknya saya minta berobat,” kataku kepada sepupu. Kebetulan ada teman yang menganjurkan berobat ke Cibinong, Bogor.
Dari rumah sakit, saya hanya ganti baju, langsung berangkat ke Cibinong. Ketika datang, saya dilihatin saja. “Sakit apa ente?” tanya ustadz. Kebetulan ia Betawi juga. “Nggak tahu ustadz, sudah setahun sakit kepala. Badan berat rasanya. Nafas juga sering tersengal-sengal,” kataku.
“Ente, pernah mandi apa nih?” tanyanya. Saya ceritakan ritual mandi ketika belajar silat dulu. “Nah, itu tuh. Sebabnya dari situ,” katanya. “Ada nggak lagi sebabnya?” tanyanya. “Ada ustadz, saya juga ngamalin ini dan itu, biar menguasai jurus silat,” kataku.
“Itu dia. dari situ juga. Ente lepas deh,” “Sudah ustadz, sudah lama kutinggalkan. Sudah dua tahunan,”kataku panjang lebar.
“Itu (jin) walau sepuluh tahun dua puluh tahun, masih tetap ngikut kalau tidak dibuang,” katanya. diajak ngobrol begitu, tahu-tahu badan saya rasanya enak. Plong. Sakit terasa hilang. Was-was hilang. Tubut terasa enteng.
“Ente sekarang, sudah menikah apa belum?” tanyanya lagi. Ustadz menyuruh saya menikah. Orang tua saya bingung, masih sakit-sakitan, gimana mau nikah. Kerja saja belum, pikirnya.
Saya dikasih air putih yang telah dibacakan doa. Doanya dari al-Qur'an dan hadits. Kepala saya diurut, sesudah itu disuruh pulang. selama dalam perjalanan, saya merasakan sehat. Tapi sampai di rumah, pusing lagi. Saya takut lagi. Kata Ustadz di Cibinong, saya sakit was-was. Sakit perasaan. “Ente hilangi itu. enta lawan. Ente nggak sakit” saya berusaha menerapkan wejangannya, tapi begitu sampai di rumah, pandangan mata saya langsung kabur.
Awalnya, saya pikir, karena rumah saya ada penunggunya. Tapi ketika menginap di rumah saudara juga begitu. Tidak ada bedanya. Kalau sedang berjalan, perasaan saya benda-benda di sekitar saya itu berjalan semua. Karena saking pusingnya. Tiap hari saya rasakan itu dan sudah bertahun-tahun.
Lawan dan lawan
Dulu, saya sempat takut kerja. Karena takut terjatuh ketika kerja. Tapi saya ingat dengan pesat ustadz di Cibinong, bahwa perasaan itu harus dilawan. Alhamdulillah, perasaan itu sedikit demi sedikit hilang.
Saya melamar kerja di rekanan PLN. Waktu tes itu, kepala saya pusing sekali. Cuma saya mau berubah. Saya mau sembuh. Maka sakit kepala itu kulawan terus. Badan saya sampai basah keringat. Alhamdulillah, saya diterima.
Dalam hati ada keraguan, apa saya mampu bekerja. Karena saya kebagian tugas lapangan sebagai pencatat meteran listrik. Benar, badan saya memang tidak enak. Kepala sakit. Lemas, tapi saya paksa kerja. Prinsip saya, kalau tidak benar-benar mau jatuh, saya akan tetap kerja.
Atasan tidak tahu, kalau saya sakit. Teman-teman juga tidak tahu, kalau saya tidak cerita. Alhamdulillah, saya dikasih kekuatan. Kalau saya turutin lemahnya badan dan tiduran saja, was-was itu akan muncul lagi. Macam-macam ketakutan yang timbul. Sakit jantung lah, tumor lah. Atau penyakit dalam lainnya. Ujung-ujungnya hanya melemahkan mental.
Suatu hari, saya tertarik dengan judul sebuah majalah. “Beda sakit medis dan gangguan jin”. Majalah apaan itu. saya tertarik. Lalu saya baca. Rupanya itu adalah edisi ke enam dari Majalah Ghoib. Kubaca lembar demi lembar. Akhirnya saya tertarik untuk mengikuti terapi ruqyah.
Waktu itu ruqyahnya masih di Kebon Manggis, Jakarta Timur. Saya datang ke sana. Saya takut. Kok, pada teriak-teriak, pikirku. Ketika saya diruqyah, saya muntah. Setelah mengikuti terapi ruqyah, saya sadar bila dalam diriku ada gangguan jin. Saya merunut kembali ke belakang. Saya teringat dengan ucapan Ustadz di Cibinong. Bahwa jin itu bermula dari ilmu silat yang kupelajari.
Setelah diruqyah, saya datang ke guru silat dulu. Keduanya kudatangi. Kata guru yang mengajarkan jurus-jurus melalui latihan fisik, dia tidak menggunakan jin. Tapi guru yang mengajarkan wiridan mengatakan, “Iya, memang dulu Alfin pas belajar itu tidak ada kontak lagi dengan saja. Mungkin nih, si ghoib (jin), bingung mau kemana. Mau ke Alfin, atau mau ke saya. mungkin larinya jin itu ke Alfin.”
“Belajar begini, tergantung keyakinan. Tidak bisa setengah-tengah begitu,” katanya. Wah, kalau tahu dari dulu, saya tidak mau belajar, kata saya. saya belajar kan buat jagain badan. Takut ada apa-apa di hotel.
“Dulu, kamu suka ngintip sih,” katanya. Saya dibilang begitu. “Belajar ginian harus dibawa yang benar,” Katanya membela diri.
Memang kuakui, saya dulu suka mengadu ayam, suka maksiat segala macam. Pengaruh kerja di hotel itu memang tidak bagus buat diriku. Mungkin itu juga yang membuat sakit saya berlarut-larut.
Tapi semuanya sudah terjadi. Tidak mungkin ditarik lagi. Yang bisa dilakukan hanyalah mencari solusi terbaik atas masalah ini. Guru berjanji membantu saya semampunya. “Sabar deh Fin, saya juga manusia biasa. Ibaratnya kalau mau sembuh itu lakukan sama-sama. Alfin berdoa, saya juga berdoa,” katanya.
Saya datang lagi mengikuti terapi ruqyah. Sama Ustadz Junaidi. Pakai kayu, kaki saya dipencet. Sakitnya minta ampun, sampai keluar air mata. Alhamdulillah, malamnya saya merasakan enakan. Saya seperti tidak sakit lagi. Kepala juga enteng.
Eh, beberapa bulan kemudian kambuh lagi. Biasanya didului dengan mimpi yang menyeramkan. Saya mimpi dikejar anjing. Saya naik ke tembok. Anjingnya meloncat-loncat, tapi tidak bisa menjangkau saya.
Sampai Maret 2004, keluhan di dada hilang. Tahu-tahu beralih ke perut. Perut saya kembang. Gejalanya itu tiba-tiba. Datangnya habis Ashar. Sampai saya tidak berani tidur di bawah kipas angin. Takut kena angin duduk.
Sebenarnya sesudah ruqyah itu kesehatanku membaik. Tapi saya masih suka maksiat saja. Masih suka nonton film BF. Kalau sudah maksiat begitu, saya ingat, oh ya badan lagi sakit begini, kok saya nonton beginian. Akhirnya saya balik lagi berdzikir.
Terkadang, saya menghayal yang tidak-tidak. Saya mengingat kembali ketika masih kerja di hotel. Ini juga buat pelajaran bagi siapapun, memang benar kalau maksiat itu ‘makan badan.’
Ntar, penyakitnya datang lagi. Saya gemetaran. Biasanya kalau sudah sakit begitu, saya sering membaca al-Qur'an terus minum air putih. Habis ngaji saya membaca buku ruqyah sampai habis. Alhamdulillahmendingan. Kalau sudah mengaji itu was-wasnya hilang.
Suatu ketika, saya tertarik mengikuti saran teman untuk berobat alternatif ke Pak Hadi di Jakarta Timur. Saya datang bertiga dengan teman. Setelah ngobrol beberapa saat, Pak Hadi menggerakkan tangannya seakan menangkap sesuatu.
”Ente datang tidak bertiga. Ente datang berempat,” katanya. Teman saya bingung. Saya juga bingung. Karena makhluk yang ke empat itu tidak pernah kami lihat selama dalam perjalanan hingga ke rumah Pak Hadi.
Dari situ, saya kurang sreg. Akhirnya saya tidak datang lagi ke sana. Saya beralih ke pengobatan medis. “Sakit apa dok,” tanya saya. “Nggak. Kamu nggak sakit. Cuma saya tidak tahu kamu dulu belajar apa,” jawab dokter.
Saya kaget. “Emangnya kenapa dok?” “Ya, urat syaraf kamu dari belakang sini, sampai sini bengkok-bengkok,” katanya.
Saya langsung teringat tukang urut. Setiap kali memijat saya, dia selalu mengatakan bila urat punggung saya itu mringkel-mringkel. Bengkok-bengkok tidak karuan.
“Sudah kamu tidak usah periksa-periksa lagi. Kamu sehat. Kamu tidak ada penyakit. Nggak ada sakit ginjal, jantung atau paru-paru,” kata dokter. Sejak itu, saya tidak berobat ke dokter-dokter. Ke alternatif juga tidak. Meski tidak bisa dikatakan bahwa saya sudah sembuh. Rasa sakit di dada memang sudah tidak terasa, tapi ia berpindah ke lambung hingga saya sering sendawa.
Biasanya yang kulakukan hanyalah membaca al-Qur'an dan doa-doa ruqyah kemudian meminum air putih. Hanya saja, saya kembali was-was setelah saya kecapekan mendorong motor yang mogok di jalan.
Kuakui kurang lebih tiga bulan sebelumnya, ibadah saya kendor. Jamaah di masjid berkurang, membaca al-Qur'an berkurang, dzikir juga kurang. Malam harinya, ketika bangun, tiba-tiba mata saya gelap. Nafas pendek. Saya tidak kuat jalan. Saya sampai buang-buang air dan muntah.
Saya shalat malam. nah sesudah shalat itu was-wasnya makin menguat. Ya Allah, sakit apaan ini.
Akhirnya saya datang lagi mengikuti terapi ruqyah di Majalah Ghoib. Pas mau ruqyah, saya duduk di teras dekat meja penjualan. Sayup-sayup, saya mendengar ada ustadz yang sedang menterapi pasien. Tiba-tiba, saya ingin muntah. Itu masih di teras. Saya lari ke belakang. Habis muntah-muntah itu badan enakan.
0 comments:
Post a Comment