Tuesday, November 21, 2017

Inilah Bahasa Do'a Terbaik

Marilah Berdo’a dengan Bahasa Terbaik
Ust. Hasan Bishri, Lc. (Konsultan Ruqyah Syar’iyah Indonesia 0815 816 7874)

Muqoddimah
Bismillah wal Hamdulillah. Suatu saat penulis mendengar dari seseorang ungkapan berikut: “Heran dan teramat mengherankan, mengapa doa itu disampaikan dengan bahasa Arab? Allah itu Maha Pandai, Maha Memahami, Maha Mendengar, Maha Mengetahui, dan Maha Berkemampuan Memahami maksud hamba-Nya. Artinya, Allah mampu memahami maksud hamba-Nya meskipun dengan bahasa selain Bahasa Arab.
Maka, alangkah baiknya jika
doa itu disampaikan dengan bahasa lokal dan atau bahasa nasional. Pendengar perlu memahami isi doa agar pendengar dapat menjiwai permohonan yang disampaikan kepada Allah SWT. Dengan memahami isinya, suasana pun akan berjalan khusu’ dan hikmat dalam keheningan menikmati permintaan kepada Allah. Hendaknya doa tidak disampaikan dengan bahasa asing yang sulit dipahami pendengar. Jika pendengar tidak mengetahui maksud atau isi doa, biasanya mereka justru akan membuat ulah atau gaduh.”
Mungkin ungkapan di atas juga pernah Anda dengar, atau itu merupakan prinsip berdo’a yang ada di pikiran Anda. Memang, Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui dengan bahasa apapun kita berdo’a dan memohon kepada-Nya, jangankan dengan ungkapan kata-kata, do’a dalam hati-pun Allah Maha Mengetahui dan Maha Mendengarnya.
Kalau setiap orang diberi kebebasan untuk mengekspresikan diri dalam beribadah kepada Allah, niscaya agama ini akan carut-marut dan syari’at akan kacau. Tidak ada aturan yang baku dan pakem yang jelas dalam beragama. Padahal fungsi agama adalah untuk membimbing kita dengan ajaran-ajarannya agar bisa beribadah kepada Allah dengan benar, agar tercapai kebahagiaan yang kita cari, yaitu dunia dan akhirat. Tidak hanya itu, Allah juga mengutus seorang Rasul untuk memberikan contoh nyata (teladan konkrit) guna menerjemahkan ajaran secara aplikatif dalam kehidupan sehari-hari.

Kenapa Harus Bahasa Arab
Dari sekian banyak bahasa di dunia ini, Allah telah memilih bahasa Arab sebagai bahasa wahyu dan bahasa syari’at untuk Nabi dan Rasul terbaik-Nya, Muhammad shollallohu ‘alaihi wa sallam. Itu bukan kebetulan karena Rasulullah orang Arab dan juga tidak ada hikmah khusus atau keistimewaan tersendiri. Ketentuan Allah pasti sarat hikmah dan sangat istimewa, meskipun terkadang kita tidak tau keistimewaannya karena keterbatasan ilmu kita.
Simaklah firman Allah ta’ala berikut, “Sesungguhnya Kami menurunkan al-Qur'an dengan berbahasa arab, agar kamu memahaminya.” (QS. Yusuf: 2). Memahami bahasa Arab itu perintah Allah, agar kita bisa memahami al-Qur’an. Kalau kita mengaku cinta pada al-Qur'an, maka kita akan berusaha keras untuk bisa memahami apa maunya al-Qur'an. Dan tidak ada cara yang tepat untuk mewujudkan hal itu, kecuali dengan mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa al-Qur'an. Kalaupun kita tidak bisa memahami bahasa Arab secara keseluruhan, kita harus memahami ungkapan berbahasa Arab yang berkaitan dengan ibadah kita sehari-hari, termasuk makna dari rangkaian do’a-do’a yang kita baca.
Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, "Al-Qur'an diturunkan dengan bahasa Arab, karena bahasa Arab adalah bahasa yang paling fashih, paling jelas, paling luas, paling lengkap untuk menjangkau setiap ungkapan yang dibutuhkan jiwa manusia. Maka dari itu kitab yang paling mulia (al-Qur'an) diturunkan dengan bahasa yang paling mulia, diberikan kepada Rasul yang paling mulia (Muhammad), dengan perantara malikat yang paling mulia (Jibril), di tempat yang paling mulia (Makkah dan Madinah), proses penurunannya dimulai pada bulan yang paling mulia (Ramadhan). Sehingga al-Qur'an menjadi sempurna jika ditinjau dari berbagi sisi." (Lihat Kitab Tafsir Ibnu Katsir: 2/ 565).

Penegasan Para Ulama’
Dalam Kitab Tafsirnya, Imam al-Qurthubi rahimahulloh berkata, “Seyogyanya seseorang menggunakan do’a-do’a yang tercantum dalam al-Qur’an dan berbagai hadits yang shahih (valid), serta meninggalkan berbagai do’a yang tidak bersumber dari keduanya. Janganlah ia mengatakan, “Saya telah memilih do’a sendiri (untuk diriku)”, karena Allah ta’ala telah memilihkan dan mengajarkan berbagai do’a kepada nabi dan para rasul-Nya (dalam al-Qur’an dan sunnah nabi-Nya)”. (Kitab al-Jami’ Li Ahkamil Qur’an: 4/ 226).
Imam al-Qadhi ‘Iyadh rahimahulloh berkata, “Allah menyuruh kita untuk memohon (berdo’a) kepada-Nya, dan Dia telah memberitahukan (berbagai macam) do’a di dalam kitab-Nya kepada makhluk-Nya. Begitu pula dengan nabi, beliau telah mengajar umatnya berbagai bentuk do’a. Do’a-do’a tersebut mengandung tiga hal, yaitu ilmu tauhid, ilmubahasa, dan nasihat kepada umat ini. Oleh karena itu, seseorang tidak boleh berpaling dari do’a yang diajarkan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
(Sangat disayangkan saat ini), syetan telah memperdaya manusia dari kedudukan yang agung ini, dia mendatangkan orang-orang jahat yang merekayasa berbagai do’a buatan untuk mereka, sehingga mereka sibuk melafazhkan dan melantunkan do’a tersebut dan tidak mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Kitab al-Futuhatur Rabbaniyah:1/ 17).

Kritik dan Nasihat Untuk Kita
Apa yang disampaikan oleh kedua ulama’ di atas merupakan nasihat dan kritik pedas bagi kita semua yang selama ini tidak begitu perhatian dengan bahasa wahyu, bahasa Arab. Sehingga kita lebih suka memakai bahasa lain dalam berdo’a daripada bahasa yang Allah pilihkan, karena kita tidak paham bahasa Arab. Akhirnya kita tinggalkan do’a dari al-Qur’an dan dari Hadits Rasulullah, lalu kita beralih ke do’a rangkaian sendiri. Kita lupakan rangkaian do’a yang Allah ajarkan dan yang Rasulullah contohkan.
Kedua ulama’ tersebut menasihati kita sebagai kaum muslimin untuk menggunakan berbagai do’a yang bertebaran di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, karena berbagai do’a yang tercantum di dalam dua sumber tersebut merupakan wahyu yang nihil dari kesalahan, dan rangkaian kalimat yang telah Allah pilih sebagai bahasa kita untuk berkomunikasi dan bermunajat kepada-Nya.
Perkataan kedua ulama’ tersebut juga merupakan kritik pedas bagi kita yang terkadang lebih mengedepankan do’a-do’a buatan yang tidak bersumber dari wahyu (al-Qur’an dan Hadits). Dalam meminta kebaikan kepada-Nya, atau memohon agar dihindarkan dari keburukan, kita lebih memprioritaskan penggunaan rangkaian do’a yang diperoleh dari guru-guru spiritual, lalu mengesampingkan do’a-do’a yang besumber dari al-Qur’an dan hadits nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Saran Ibnu Taimiyah rahimahullah
Dalam sebuah kitab, Imam Ibnu Taimiyah rahimahulloh juga menegaskan, “Manusia seharusnya berdo’a dengan do’a-do’a yang diajarkan Syari’at, yang terdapat dalam al-Qur’an dan Hadits Rasul, karena tidak disangsikan lagi akan keutamaan dan kebaikannya. Sungguh itulah jalan yang lurus, jalan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para nabi, shiddiiqiin, syuhada, dan shalihin, dan mereka itulah sebaik-baik teman.” (Kitab al-Futuhatur Robbaniyah: 1/ 17).
Di Kitab yang lain, dia menambahkan,Tidak diragukan lagi bahwa dzikir dan do’a termasuk ibadah yang utama, dan ibadah terbangun di atas pondasi Tauqif (yang telah dibakukan syari’at) dan Ittiba’ (mengikuti ketentuan syari’at), bukan mengikuti keinginan pribadi dan Ibtida’ (berinovasi).
Dengan demikian berbagai do’a dan dzikir yang dituntunkan oleh Nabi merupakan kalimat yang terbaik. Orang yang mengikuti tuntunan Nabi dalam berdo’a dan berdzikir berada di atas jalan keamanan dan keselamatan. Berbagai faedah yang terkandung di dalamnya tidak dapat diungkapkan oleh lisan dan tidak dapat diketahui oleh manusia. Adapun berbagai dzikir selain yang dituntunkan Nabi terkadang berstatus haram, makruh atau bahkan berstatus syirik. Naifnya lagi, betapa banyak orang yang tidak memperoleh petunjuk (tidak sadar) dalam hal ini.” (Kitab Majmu’atul Fatawa: 1/ 346).
Bagaimana mungkin seorang muslim meninggalkan berbagai keutamaan dan kebaikan yang telah nyata terdapat dalam do’a-do’a yang tercantum dalam al-Qur’an, lalu ia lebih mengutamakan untuk berdo’a kepada Dzat yang mengajarkan do’a-do’a tersebut dengan rangkaian do’a buatan sendiri, atau yang dibuat-buat oleh guru spititualnya, kyai, ustadz, dan makhluk-makhluk lainnya? Padahal rangkaian do’a tersebut belum tentu disukai Allah, dan belum jelas keutamaan dan khasiat yang terkandung di dalamnya.

Rasulullah Melakukan Koreksi
Dalam sebuah riwayat yang shahih diceritakan bahwa Rasulullah mengoreksi do’a salah seorang shahabatnya, karena do’a tersebut adalah hasil dari inofasinya dan rangkaian kalimat yang dibuat sendiri. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjenguk seorang yang sakit mendadak sehingga badannya pun melemah. Maka nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bertanya, “Apakah engkau berdo’a atau meminta dengan lafadz do’a tertentu?”
Pria tersebut menjawab, “Benar, saya memanjatkan do’a dengan lafadz berikut: “Wahai Allah, segala adzab yang Engkau sediakan untukku di akhirat, segerakanlah di dunia ini.” Nabi pun berkata, “Subhanallah, engkau tidak akan mampu memikulnya, mengapa engkau tidak mengucapkan, “Wahai Allah berikanlah kami kebaikan di dunia dan di akhirat, serta peliharalah kami dari siksa api neraka.” Anas radhiyallohu’anh berkata, “Pria itu berdo’a dengan do’a tersebut dan Allah pun memberi kesembuhan kepadanya.(HR. Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah mengajarkan seorang shabatnya rangkaian do’a, padahal shahabat tersebut asli orang Arab yang tentunya sangat fashih berbahasa Arab, dan pastinya sangat mahir untuk merangkai kalimat do’a sendiri sesuai dengan seleranya. Shahabat tersebut bernama al-Barro’ bin ‘Azib: “Ya Allah, aku menyerahkan diriku kepada-Mu,menghadapkan wajahku kepada-Mu, menyerahkan semua urusanku kepada-Mu, menyandarkan punggungku kepada-Mu, karena mengharap dan takut kepada-Mu. Tidak ada tempat berlindung dan menyelamatkan diri dari ancaman-Mu kecuali kepada-Mu. Aku beriman kepada kitab yang Engkau turunkan dan kepada nabi yang Engkau utus.” (HR. Muslim, no. 2710).
Yang menarik untuk kita perhatikan adalah sikap Rasulullah. Yaitu saat al-Barro’ berusaha menghafal do’a yang telah diajarkan Rasulullah, ada kekeliruan sedikit. Karena al-Barro’ mengganti kalimat “Nabiyyika” dengan “Rosulika”. Beliau langsung mengoreksinya, dan mengajarkan kalimat yang pas seperti yang telah didektekan.
Sehingga Imam Ibnu Ibnu Hajar al-‘Asqolani rahimahullahtertarik untuk mengulas peristiwa tersebut. Dia berkata, “Hikmah yang paling utama dari tindakan penolakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat yang mengucapkan lafadz “Rosul” sebagai ganti lafadz “Nabi”, karena lafazh-lafazh dzikir adalah Tauqifiyah (dibakukan syari’at), dan lafazh itu memiliki berbagai kekhususan dan rahasia yang tidak bisa diketahui oleh akal, sehingga wajib menggunakan lafadz do’a yang disyari’atkan (terdapat dalam al-Quran dan Sunnah).” (Kitab Fathul Bari: 11/ 112).
Abdullah bin Mughaffal radhiyallohu’anh juga pernah mengoreksi anaknya saat berdo’a seraya menasihatnya,“Wahai anakku, cukuplah engkau meminta surga kepada Allah dan meminta perlindungan kepada-Nya dari api neraka. Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Akan ada sekelompok orang dari umat ini yang melampaui batas dalam bersuci dan berdo’a”.(HR. Abu Daud dan Ibnu Majah).
Perhatikan koreksi Abdullah bin Mughaffal radhiallahu ‘anhu terhadap do’a yang dipanjatkan anaknya, yang merupakan hasil rekayasa sang anak. Hal ini menunjukkan pada kita, do’a yang tidak bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah rentan keliru dan salah.

Khotimah
Akhirnya, mari kita renungkan kritik soisial yang disampaikan oleh seorang ulama’ yang bernama Syekh Abdurrazzaq hafizhahullah: “Siapa yang merenungkan realitas sebagian kaum muslimin saat ini, terlebih mereka yang berafiliasi kepada sebagian Thoriqot Sufi, akan menjumpai bahwa mereka sibuk mengerjakan berbagai macam dzikir dan do’a hasil inovasi manusia, yang diada-adakan (hasil racikan sendiri). Mereka pun membacanya siang dan malam, sepanjang pagi dan petang.
Sehingga mereka meninggalkan (do’a-do’a) yang terdapat dalam al-Qur’an, berpaling dari berbagai do’a yang berasal dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Setiap Thoriqot memiliki wirid-wirid khusus yang dibaca dengan metode tertentu, sehingga setiap thoriqot Sufi memiliki kumpulan wirid dan hizb khusus. Setiap kelompok saling membanggakan wirid dan hizib yang dimiliki dan berkeyakinan bahwa wirid tersebut lebih afdhal daripada wirid yang dimiliki Thoriqot Sufi yang lain.” (Kitab Fiqhul Ad’iyati wal Adzkar: 2/ 54).
 Lalu bagaimana dengan kita, sudahkah kita koreksi rangkaian do’a-do’a yang biasa kita baca sehari-hari? Sudahkah sesuai dengan yang diajarkan Allah dan Rasul-Nya? Atau kita masih lebih suka dengan do’a hasil rangkaian sendiri atau hasil inovasi guru spiritual yang kita kagumi, akhirnya kita mengabaikan ajaran Allah dan Rasul-Nya, dan kita malas menghafal kalimat do’a yang telah diajarkan Allah dan Rasul-Nya? Belum telat rasanya kalau sekarang kita melakukan koreksi. Walllohu a’lam.

0 comments:

Post a Comment