Sunday, October 5, 2014

MENGHUNUS PEDANG PERUQYAH

Hasan Al-Jaizy

Benar sekali bahwa ahli tauhid atau muwahhid atau
seorang muslim yang bertauhid diberi kekuatan untuk
meruqyah. Itu kaedah dasar. Tetapi tidak semua kasus
santet, kesurupan, kejiwaan menyimpang, dan
seterusnya sesingkat fikiran kita dalam mengatasinya.
Tentu saja, sekali lagi, praktisi yang berpengalaman
dan berilmu lebih tahu dibandingkan ahli teori. Dan
tentu saja juga, ahli teori lebih sering mengomentari
dibandingkan praktisi.

Sekali lagi saya ceritakan bahwa di sebuah pesantren
(bukan pesantren saya), ada rahasia umum adanya
kesurupan mengerikan hingga korban tertentu pun
kadang sampai ke derajat gila kumatan. Pesantren
tersebut mengajarkan ajaran yang shahih, bermanhaj
shahih dan shahih shahih shahih. Tetapi ternyata
dalam sekian kasus kesurupan (dan ini bukan kasus
sihir santet), semua ustadz...once again...SEMUA
ustadz tidak bisa melawannya. Apakah sekarang kita
tuduh mereka tidak bertauhid? Semua wirid sudah
mereka hafal. Sudah mereka praktekkan.
Yang pada akhirnya...ujung-ujungnya...mereka semua
menyerah. Lalu memanggil praktisi ruqyah yang
memiliki metode-metode ruqyah tidak sederhana.

Maksud saya: tidak sekadar baca di telinga dan teriak
ukhruj ukhruj. Menggunakan ketegasan di depan setan,
perlawanan kuat, alat-alat tertentu yang bisa
membantu dan tentu saja tawakkal kepada Allah
Ta'ala. Ternyata -alhamdulillah- berhasil. Nah, terus,
kok para ustadz yang tiap hari mengajarkan ilmu
syariah ke para peserta didik tidak berhasil?
Dan tentunya, para ustadz tidak protes 'kenapa antum
melakukan ini dan itu?' atau 'kenapa tidak seperti
kami?' kepada sang praktisi ruqyah syar'i. Wong
sudah syukur masalah besar semacam ini diselesaikan
dengan izin Allah.

Mereka yang sekadar berteori dan protes sana-sini,
bisa dipastikan justru bukan praktisi, dan tidak
bermain di lapangan. Bahkan ada yang kemudian
menuding para praktisi ruqyah syar'i menjadikannya
sebagai bisnis dan job. Well, kalau disebut job,
sebenarnya tidak masalah karena darurat dan hajat
umat. Tetapi jika disebut 'bisnis', kita harus merinci
kalam di sini. Kadang peruqyah diberi sangon besar
sekali oleh keluarga korban sebagai rasa terima kasih.
Kadang sangonnya kecil dan mereka terima.

Peruqyah yang diberi sangon besar juga dimaklumi;
karena kadang saking besarnya rasa syukur dan
terima kasih mereka terhadapnya. Kalau mau menoleh
di lapangan, cermati bahwa ada di antara kasus santet
menjalar berbulan hingga bertahun sampai pihak
keluarga tertekan secara psikologi, sosial dan
finansial. Namun, dengan izin Allah, melalui peruqyah
ini, masalah dibereskan. Tudingan bahwa peruqyah
syar'i berbisnis (dengan lirik negatif) adalah
kezaliman. Mereka punya resiko meruqyah. Mereka
juga perlu ongkos pulang pergi, yang terkadang pihak
pemanggil ada di luar pulau bahkan. Mereka juga perlu
modal untuk aksesoris ruqyah, semisal bahan-bahan
dan zat tertentu, dan seterusnya.

Posisi penulis, bukanlah peruqyah (dari segi pekerjaan
utama), melainkan sekadar pengajar dan pelajar.
Tetapi, menimbang kisah-kisah nyata para peruqyah,
berkomunikasi dengan mereka, dan bahkan juga
pengalaman melakukannya, kemudian dibandingkan
dengan kenyataan ahli teori, bisa saya katakan bahwa
eksistensi peruqyah (yakni: spesialis di bidang ruqyah)
sangat dibutuhkan di Indonesia. Sihir, santet,
pesugihan dan semacamnya di zaman ini jangan kita
kira meredup. Justru SEMAKIN BANYAK, termasuk
menjalar ke orang-orang kota bahkan. 

Dan para peruqyah syar'i, jangan kita kira mereka sekadar
komat-kamit, beritual ini itu, lalu selesai dan dibayar
begitu saja. Mereka berdakwah di sana. Bukan saja
keluarga korban yang didakwahi, melainkan setan itu
sendiri. Sebagian setan dari kalangan jin bahkan Allah
Ta'ala beri hidayah melalui mereka. Namun sebagian
besar tetap kufur.

Juga jangan dikira mendakwahi keluarga yang terkena
santet seorang anggotanya, atau sejak lama memakai
atau menyimpan jimat, atau sejenisnya, gampang.
Gampang kalau kita bicara di sini. Tapi kalau kita
yang menghadapi, bisa jadi kita cuma bisa diam.

Setelah kalimat-kalimat di atas, kita pun perlu juga
mengingatkan rekan-rekan yang konsentrasi di bidang
ruqyah, bahwa mereka tetap harus giat mencari ilmu
syariah, selain yang berkaitan dengan ruqyah. Jika
mereka tidak mampu berbahasa Arab, mereka perlu
belajar bahasa Arab juga. Jika ada di antara mereka
buruk bacaan al-Qur'an-nya (dari sisi tajwid, bukan
nada), maka WAJIB...sekali lagi WAJIB bagi mereka
belajar memperbaiki bacaan tersebut. Karena para
peruqyah adalah public figure, dan bahkan
diperustadzkan seringkali. Maka janganlah terperdaya
dengan sudah dipanggil sebagai ustadz namun
ternyata masih punya kekurangan yang fatal. Urusan
berjasa untuk umat adalah benar mereka punyai,
namun tetap urusan ilmu: kewajiban atas setiap
muslim.

Kemudian, ada pula kenyataan yang patut diketahui,
bahwa kerap peruqyah itu lebih repot dibanding
pengajar (ustadz). Kita sebagai penonton dan
penikmat cerita happy ending, akan mengira bahwa
setelah meruqyah, tidak ada apa-apa pastinya. Belum
tentu. Setan adalah tukang balas dendam. Terkadang
setelah pasukan setan jera menggangu korban, mereka
justru menyerang peruqyah itu sendiri, atau bahkan
anggota keluarganya. Ini bukanlah cerita rekaan,
melainkan wajarnya kejadian.

Kalau boleh tanya:
"Jika semua ustadz bertauhid bisa mengatasi semua
masalah ruqyah sesuai dengan tuntunan terbaik, maka
mengapa para asatidzah di pesantren ahli tauhid
tersebut menyerah dan menyerahkan perkara pada
peruqyah berpengalaman? Apakah mereka minim
tauhidnya?"

Atau lagi-lagi ini masalah ahli teori semata bertengkar
dengan ahli teori sekaligus praktisi?

0 comments:

Post a Comment