Tuesday, July 16, 2013

Saya Ketempelan ‘Jin Cathy’ dari Jerman

Saya Ketempelan ‘Jin Cathy’ dari Jerman
Selasa 16 Juli 2013 / 8 Ramadhan 1434 H


  Jin bisa dilihat dan dipegang layaknya manusia ketika mereka keluar dari hakekat penciptaanya, lalu menyerupai sosok manusia. Bisa diajak bicara, disuruh memijat atau dibonceng kemana saja. Seperti pengalaman Sri Handayani, seorang mahasiswi perguruan tinggi swasta di Jakarta. Ia menuturkan kisah pergaulannya dengan ‘Jin Cathy’ kepada Majalah Ghoib. Berikut petikannya.

  “Brak…” dua sepeda motor beradu. Menimbulkan suara keras yang memecah keheningan di pagi buta. Seorang lelaki dengan sepeda motornya terpelanting. Nasi bungkus yang memenuhi jok motornya berceceran dan tak bisa diselamatkan.

   Pada sudut lain, Lek Triono yang membonceng saya juga terjerambab. Motornya terseret sepuluh meter dari tempat kejadian. Meninggalkan saya yang terduduk di atas aspal, persis di tempat kejadian. Aneh, saya tak mengalami luka, hanya sobekan kecil di celana. Itupun tidak sepadan dengan kerasnya tabrakan tadi.

  Heran, saya benar-benar heran atas apa yang terjadi. Tabrakan keras itu tidak menimbulkan luka apa-apa. Hanya, kekuatan aneh yang mengangkat badan saya bersamaan dengan detik-detik tabrakan itu yang saya rasakan. Lalu meletakkan badan saya kembali dia atas aspal. Sementara Lek Triono yang membonceng saya pingsan seketika. Tangannya lunglai dengan darah mengalir dari wajahnya.

   Saya cepat mengambil keputusan. Memanggul Lek Triono dan menuntun sepeda motor ke sekolah tempat saya belajar. Saya tidak berpikir membawanya ke rumah sakit karena yang terlintas dalam benak saya adalah takut mendapat hukuman bila terlambat datang.

   Maklum waktu itu adalah minggu-minggu awal mengikuti kegiatan wajib penerimaan siswa baru. Lagian, sekolah itu hanya berjarak beberapa ratus meter dari tempat kejadian.

   Saya terlambat setengah jam dan nyaris dihukum merayap di jalan sepanjang enam meter. Akhirnya saya katakan, “Saya tabrakan. Sekarang Lek saya tidak sadarkan diri di depan.” Sanggahan ini membuat mereka terpana. Tabrakan keras yang terjadi tidak menimbulkan luka pada diri saya, sementara motor laki-laki saya patah rangka, tangki bensin juga goyang, meski tidak bocor.

   Setelah tabrakan di pagi buta itu, saya sering sakit kepala tiba-tiba. Hanya karena keinginan saya tidak dikabulkan orangtua misalnya, kepala saya langsung berdenyut. Saya tidak bisa mendengar kata-kata jangan. Karena kata itu mengundang reaksi di kepala saya.

   Selain itu, saya sering pingsan di sekolah hanya karena mendengar nama saya di panggil di pengeras suara. Panggilan yang biasanya diikuti dengan membuat nyali menciut, saya merasa tidak bersalah, namun mengapa harus menerima hukuman, bukankah itu kesalahan orang lain?

   Memang siswa yang bersalah masih satu kelas dengan saya, tapi tidak seharusnya bilang hukumannya harus diterima siswa yang tidak bersalah. Kekecewaan dan ketakutan itu membuat saya tidak sadarkan diri. Kejadian seperti ini sering kali berulang, hingga akhirnya para guru memahami dan tidak menghukum saya atas kesalahan orang lain.

   Boleh dibilang kejiwaan saya memang labil dan sering tidak sadarkan diri. Seperti yang terjadi pada pertengahan tahun 2001. Saya tidak sadarkan diri selama 12 hari. Saya dibawa ke rumah sakit. Katanya, badan saya sudah dingin sampai leher, tinggal kepala yang masih hangat.

    Infus sudah tidak berfungsi, tidak ada cairan yang menetes dan masuk ke dalam urat nadi. Grafik jantung di layar monitor juga tidak bergerak. Akhirnya pihak rumah sakit menyerah dan saya menjalani perawatan di rumah. Dalam perkiraan mereka, tidak berapa lama lagi saya sudah meninggal.

   Di rumah, kondisi saya tidak mengalami banyak kemajuan. Hari demi hari berlalu dalam keadaan yang sama. Badan saya tergolek lemah di atas pembaringan. Pihak keluarga juga sudah pasrah, menerima kemungkinan buruk yang akan terjadi. Mbah yang tinggal di Yogya dan Medan juga sudah datang. Mereka menunggui saya dengan harap-harap cemas.

   Dalam keadaan yang kritis itu, saya merasa didatangi seorang kakek yang mengaku sebagai Mbah saya yang sudah almarhum, “Kowe iku putuku. Ojo loro-loro. (Kamu itu cucu saya. Jangan sakit-sakitan terus). Pokoknya ntar kalau sakit mamanya sedih, bangun ayo bangun!” ujar kakek itu sambil mengusap dahi saya.

   Mata saya terbuka. Dan saya melihat Mbah dan keluarga lainnya sudah berkumpul. Mereka menangis bahagia melihat keadaan saya yang membaik setelah tidak sadarkan diri dua belas hari. Ini bukan waktu yang pendek. Di bawah tempat tidur saya sudah bau kapur barus. Karena saya divonis dokter telah meninggal, tapi bapak masih belum yakin. Ia bersikukuh bahwa saya masih belum meninggal.

   Sebenarnya, ketika tidak sadarkan diri itu saya dapat melihat apa yang dilakukan orang-orang yang menjenguk saya. Apapun yang mereka katakan, saya dengar. Hanya saya tidak bisa berbuat apa-apa.

   Saat tidak sadarkan diri, saya seakan bermain-main di ruangan yang serba ungu. Akhirnya setelah saya sehat, saya mengecat kamar dengan warna ungu. Saya masih ingin mengenang saat-saat tidak sadarkan diri. Saat ketika keluarga membaca surat Yasin, atau detik-detik ketika mereka menangis dan meratapi nasib saya yang tergolek antara hidup dan mati.

   Ketika tersadar dari pingsan itu saya menemukan sebuah batu kecil persegi enam yang tranparan di bawah bantal. Tidak ada yang tahu darimana asal-usul batu itu. Batu itu saya jadikan cincin karena ketika disimpan di dompet terkadang hilang dan lain kesempatan datang lagi. Pendek kata batu itu selalu hadir ketika saya sedang gundah gulana, marah, sedih maupun kecewa.

  Entah kenapa setelah memakai cincin, saya ingin jajan terus. Meski saya baru membeli bakso misalnya, dan tak lama kemudian ada penjual lain yang lewat di depan rumah, saya langsung ingin membelinya. Keinginan ini tidak bisa dicegah, karena bila dilarang akibatnya bisa fatal. Sesak nafas dan saat-saat berikutnya saya pingsan. Tabungan yang diberikan orang tua senilai enam juta habis dalam waktu tiga bulan.

Berteman dengan ‘Jin Cathy’ dari Jerman

   Tahun 2002, saya mengikuti Praktek Kerja Lapangan di kapal pemerintah yang berlayar ke laut China Selatan dengan nomor lambung 543. Pelayaran yang sangat berkesan bagi saya, karena ketinggian ombak laut China Selatan bisa dipastikan di atas dua puluh meter. Ini adalah kesempatan yang langka dan tidak sembarang orang bisa bergabung dengan kapal ini.

   Ombak yang menggulung menjadi pemandangan harian, sesekali diselingi angin-angin kencang yang menderu-deru. Pagi itu, saya berdiri di dek lambung kiri, memperhatikan permukaan laut yang bergerak-gerak tanpa henti. Ombak itu saling berkejaran sebelum akhirnya buyar memercikkan biuh membentur lambung kapal.

   Saya menengok ke kiri, mata saya tertumpu pada sosok wanita yang berdiri di geladak kapal. “Ohh, cantik sekali,” gumam saya lirih. Rambutnya memakai korses dengan hiasan bunga yang indah. Serasi dengan kulitnya yang kuning dan blues panjang berwarna merah. Ia cantik sekali. Paras wajahnya menandakan bahwa dia tidak berasal dari Indonesia.

    Semakin saya perhatikan, saya semakin heran. Wanita itu tidak tersentuh air. Pecahan ombak yang muntah ke geladak kapal tidak membuatnya basah. Padahal anak buah kapal yang sat itu berada di geladak kapal yang sama berlarian tidak ada yang menghiraukannya. Seakan mereka memang tidak melihat wanita cantik itu.

   Wanita itu memperhatikan saya yang berdiri mematung. Perlahan, ia melangkah dengan anggun. Gaunnya berkibar di terpa angin kencang. Ia melangkah tepat mengarah ke tempat saya berdiri. Jantung saya berdegup semakin kencang. Wanita itu terus mendekat dan … … saya sudah berada di ruang perawatan begitu mata saya terbuka.

   Kata perawat, saya ditemukan di geladak kapal dalam keadaan pingsan. Selama di ruang kesehatan wanita cantik yang misterius itu juga berada di dalam. Dia duduk di ranjang sebelah, tetap dengan balutan blues panjang warna merah.

   Ia duduk saja dan tidak mengusik perawat yang sesekali ke dalam ruangan. Nampaknya mereka tidak ada yang melihat wanita bule ini. Mereka hanya berbicara dengan saya dan tidak melihat atau ngobrol dengan wanita bule itu.

   Selang beberapa lama kemudian, wanita cantik itu memecah kebuntuan. Ia memperkenalkan diri dalam bahasa Inggris. “My name is Cathy. I am Germany (nama saya Cathy. Saya berasal dari Jerman),” tuturnya lembut sambil melangkah ke ranjang saya.

   Wanita yang memperkenalkan diri dari Jerman itu pun duduk di samping saya. Dan tanpa diminta, ia segera memijat badan saya. Saya diam saja, menerima pijatannya, hingga kemudian saya menjawab perkenalannya juga dengan bahasa Inggris yang entah bagaimana tiba-tiba saja saya lancar berbahasa Inggris.

   Singkat cerita jin Cathy ikut saya. Dia masuk ke tubuh saya. Dia menempel di punggung, katanya. Memang, saya merasa ada sesuatu yang berbeda ketika jin Cathy berada di tubuh saya. Rasanya badan saya lebih ringan, begitu juga ketika dia keluar. Saya mengetahuinya dengan perubahan gerak saya yang sedikit melambat. Kedua telapak tangan dan kaki saya menjadi basah. Bila saya juntaikan telapak tangan saya, lama kelamaan jatuh tetesan air dari telapak tangan.

   Selepas PKL, jin Cathy tetap menemani saya dan tinggal di kamar saya. Ia tidur di ranjang atas, bekas tumpukan kardus. Sementara saya tidur di bagian bawah. Kardus-kardusnya saya singkirkan semua. Sehingga tempatnya menjadi lega. Memang saya sadar sejak awal, bahwa Cathy bukanlah manusia.

   Ia adalah jin tapi dalam benak saya saat itu Cathy merupakan jin yang baik. Ketika dipijat Cathy, saya merasakan tangannya seperti ketika saya dipijit orang lain. Tidak banyak perbedaan yang saya temukan. Kecuali, ia tidak bisa dilihat orang lain.

   Padahal sekian bulan saya menghabiskan waktu bersama Cathy. Dia selalu ikut kemana saya pergi. Ketika saya naik motor, maka Cathy membonceng di belakang, lain waktu ia mengiringi saya berjalan kaki. Ia menjadi teman layaknya manusia biasa. Bisa diajak bercanda atau bicara serius.

   Memang, sesekali kehadiran Cathy menarik perhatian orangtua. Karena mereka merasakan kehadiran orang lain di rumah ini. Hingga ibu pun menegur, “Suka ada yang masuk ke kamarmu. Siapa dia?” Tanya ibu suatu siang. “Nggak apa-apa. Dia teman saya kok. Sekarang sudah pulang,” jawab saya dengan santai.

   Saat bergaul dengan Cathy sakit kepala masih belum sembuh, meski saya sudah berobat secara medis. Akhirnya saya menerima tawaran Pak Rodi, orang pintar, yang katanya bisa mengobati. “Mau sembuh nggak?” Tanya Pak Rodi. Ia kemudian shalat dua rakaat yang katanya bagian dari proses pengobatan. Lalu memberi sebungkus garam. “Garam ini harus dijilat sebelum keluar dari pintu kamar,” tuturnya meyakinkan.

   Obat yang terkesan mudah itu pun saya terapkan. Garam yang asin itu menjadi pemanis bibir saya. Bayangkan, dalam sehari berapa puluh kali saya harus menjilat lidah, lidah saya akhirnya meradang. Bukan kesembuhan yang saya dapat, tapi justru tambahan penyakit baru.

   Akhirnya ritual menjilat lidah saya hentikan. Sebagai gantinya, saya diminta untuk membeli empat butir telur ayam Cemani seharga 240.000 rupiah dan harus ditanam di rumah.

   Uang sejumlah itu tidaklah sedikit, sementara saya sendiri belum bekerja. Konsekuensinya saya harus berbohong kepada orangtua dan meminta tambahan uang. “Untuk beli pulsa,” jawab saya, ketika ditanya ibu.

   Meski telur ayam Cemani sudah saya tanam di rumah tanpa sepengetahuan orangtua, tapi hasilnya masih tidak kelihatan. Lama kelamaan, permintaan Pak Rodi makin meningkat. Kini ia menyuruh saya mandi dengan minyak wangi yang harus dibeli dari pak Rodi sendiri senilai 600.000 rupiah.

   Saran yang terkesan aneh itu saya turuti. Karena saya sudah tidak tahan lagi dengan sakit kepala dan sesak nafas yang selama ini mendera.

   Lepas dari Pak Rodi, saya kembali terjerat kepada ulah orang-orang yang hanya mau untung sendiri. Ibu Diah yang mengaku mengetahui hal-hal ghaib menerawang saya. “Mbak Sri memiliki tanda yang merugikan. Tanda itu harus dibuang melalui jengger ayam yang berbentuk kecil,” ujar Ibu Diah.

   Keesokan harinya, saya membeli ayam jago yang berjengger kecil. Ayam itu kemudian dipotong dan saya disuruh menghabiskannya. Memang selama saya rajin bermain ke rumah Ibu Diah, sakit kepala saya cenderung berkurang. Tapi lama kelamaan saya dimanfaatkan Ibu Diah, saya diminta untuk membayar beberapa barang yang dia beli. Ia sama saja dengan Pak Rodi yang hanya memanfaatkan sakit saya.

Jin Chaty Menjauh dari Stand Majalah Ghoib

   Atas saran kakak, saya konsultasi ke perwakilan Majalah Ghoib yang saat itu mengikuti pameran di Islamic Book Fair dengan ditemani Mbak Tias, teman dekat saya dan tentu saja jin Cathy yang masih terus mengikuti saya.

   Sebenarnya jin Cathy mencoba menghalangi saya konsultasi di stand Majalah Ghoib. Ia menarik-narik rambut saya. Tapi saya bersikukuh untuk konsultasi. Akhirnya jin Cathy menunggu saya dan Mbak Tias di perempatan yang berjarak dua puluhan meter dari stand Majalah Ghoib. Jin Cathy tidak berani masuk bersama saya.

   Setelah konsultasi bebarapa saat Ustadz Ilham yang saat itu bertugas di stand Majalah Ghoib memijat jari saya. Pijatan yang membuat saya menangis sebelum pingsan. Heboh, kata Mbak Tias, saya menjadi tontonan orang-orang yang saat itu berada tidak jauh dari stand Majalah Ghoib. Saya menjadi contoh langsung bagaimana sebenarnya terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib.

   Senin berikutnya, saat hendak berangkat untuk terapi di kantor Majalah Ghoib, saya mengantuk luar biasa. Akhirnya mama menarik selimut dan guling saya. Tanpa ampun saya terbangun. Dalam keadaan setengah mengantuk, Cathy kembali mempengaruhi saya, “Tidur saja, masih capek kan? Kemarin baru dari pameran, masak sekarang pergi lagi,” bujuk Cathy. Saya bersyukur bila bujukan yang menghanyutkan itu tidak saya turuti. Karena dari sinilah berawal kesembuhan saya secara bertahap.

   Saat terapi yang pertama, tidak terjadi dialog. Saya hanya merasa sakit ketika ustadz memijat jari kaki saya. Saya meronta-ronta ingin melepaskan diri. Sepulang dari terapi ruqyah pertama, saya mulai tidak bisa melihat Cathy, sehingga ketika dia berbicara saya hanya mendegar suaranya. “Cathy, lu ada dimana?” Tanya saya. “Saya ada disamping lu.” “Tapi saya tidak bisa lihat. Yang terlihat bantal dan guling saja,” kata saya.

   “Kok nggak kelihatan? Tuh matanya kealingan. Kemarin matanya ditutup yah?” ujar Cathy sambil mengusapkan tangan ke mata saya. Tak lama kemudian, saya kembali bisa melihat Cathy.

    Ketika saya merintih kesakitan karena pijatan ustadz yang masih terasa, jin Cathy langsung meledek, “Tuh, pada sakit kan?” “Emang begini yang namanya diurut, lu ikut biar tahu,” jawab saya balik.

    Jin Cathy memang tidak mau ikut terapi ruqyah, dia memilih untuk tinggal di rumah. Waktu itu, saya masih belum tahu bahwa sesungguhnya jin kafir takut mendengar lantunan al-Qur’an.

   Sebelum berangkat terapi yang kedua seminggu kemudian, jin Cathy kembali menghalangi saya. “Udah, jangan berangkat. Sekarang ada film bagus. Mendingan di rumah saja,” bujuk Cathy. Bujukan Cathy itu hampir saja meluluhkan niat saya untuk ruqyah, tapi berkat dorongan Mbak Tias akhirnya saya bisa mengalahkan rayuan Cathy.

   Saat terapi kedua, seperti biasa saya meronta layaknya orang yang kepanasan. Beberapa saat kemudian, terjadi dialog, “Siapa kamu?” Tanya ustadz. “Saya bukan orang sini. Saya dari Jerman,” aku jin melalui mulut saya. Tidak seperti biasanya. Kali ini dari mulut saya terdengar jawaban.

   Setiba dirumah, saya tidak lagi bisa melihat Cathy, saya mencoba mencarinya , namun hanya suaranya yang terdengar. Cathy mencoba mengusap mata saya kembali, tapi semuanya gagal. “Ya sudah kalau lu tidak percaya sama gue, gue mau pergi,” ancam Cathy kemudian. “Ya udah, pergi saja! Sudah ada Mbak Tias yang nganterin saya.” Akhirnya suara Cathy hanya sesekali terdengar.

    Suara Chaty benar-benar hilang setelah mengikuti terapi ruqyah yang ketiga. Masih menyisakan sakit kepala yang sudah tidak lagi separah dulu. Saya tidak lagi mudah pingsan ketika menghadapi masalah baru. Bagi saya ini ada perubahan yang sangat bagus.

Dikutip ulang dari Website: Ghoib Ruqyah Syar’iyyah  artikel Saya ketempelan "Jin Cathy"



0 comments:

Post a Comment