Monday, July 10, 2017

Tauhid yang diajarkan Al-Qur’an ( RUQYAH DAN BEKAM) Tauhid yang diajarkan Al-Qur’an Ust. Hasbi Isnan, Lc. Muqoddimah Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah adalah penolong bagi orang-orang yang beriman, Allah mengeluarkan mereka dari kegelapan-kegelapan menuju cahaya, adapun orang-orang kafir itu penolong mereka adalah thoghut yang mengeluarkan mereka dari cahaya menuju kegelapan-kegelapan.” (QS. al-Baqarah: 257) Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “…Dan sesungguhnya kedua hal itu -yaitu al-Qur’an dan iman- merupakan sumber segala kebaikan di dunia dan di akherat. Ilmu tentang keduanya adalah ilmu yang paling agung dan paling utama. Bahkan pada hakekatnya tidak ada ilmu yang bermanfaat bagi pemiliknya selain ilmu tentang keduanya.” (Kitab al-’Ilmu, Fadhluhu wa Syarafuhu: 38). Tauhid Intisari Ajaran al-Qur’an Syekh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah berkata, “Secara keseluruhan al-Qur’an mengandung penetapan tauhid dan penolakan atas lawannya. Mayoritas ayat mengandung penetapan dari Allah terhadap tauhid uluhiyah dan keharusan untuk memurnikan ibadah semata-mata untuk Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Di dalamnya juga diberitakan bahwasanya segenap rasul tidaklah diutus melainkan untuk mengajak kaumnya supaya beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Dan bahwasanya tidak ada tujuan Allah dalam menciptakan jin dan manusia selain agar mereka beribadah kepada-Nya. Dikabarkan pula bahwasanya seluruh kitab suci dan para rasul yang diutus bahkan fitrah dan akal sehat manusia; semuanya telah menyepakati pokok ini. Yang hal itu merupakan pokok yang paling mendasar diantara seluruh pokok ajaran agama. Dan barangsiapa yang tidak beragama dengan agama ini -yang pada hakikatnya adalah pemurnian ibadah kepada Allah, hati dan juga amalan, untuk Allah semata- maka seluruh amalnya sia-sia.” (lihat al-Qowa’id al-Hisan li Tafsir al-Qur’an, sebagaimana dalam al-Majmu’ah al-Kamilah [8/23]) Metode al-Qur’an Dalam Menetapkan Tauhid Syaikh Shalih al-Fauzan rahimahullah menjelaskan bahwa ada tiga metode al-Qur’an dalam menetapkan tauhid: Pertama, Suatu perkara yang sudah pasti bahwa setiap hal yang baru ada, maka pasti ada yang menciptakannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Apakah mereka diciptakan tanpa ada sesuatu sebelumnya, ataukah mereka sendiri yang menciptakan?” (QS. ath-Thur: 35). Ayat ini menunjukkan bahwa tidak mungkin makhluk tercipta begitu saja tanpa ada pencipta, atau bahkan dia menciptakan dirinya sendiri, itu lebih tidak mungkin lagi. Maka hanya ada satu kemungkinan bahwa mereka ada karena diciptakan oleh Allah semata. Kedua, Keteraturan alam semesta ini menunjukkan bahwa ia memiliki satu pencipta dan pengatur yang mengatur segala sesuatu yang ada di dalamnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Allah tidaklah mengangkat seorang anak pun dan tidak ada bersama-Nya sesembahan yang lain -yang benar- sebab jika ada niscaya setiap sesembahan itu akan pergi membawa ciptaannya dan sebagiannya tentu akan mengalahkan yang lain.” (QS. al-Mukminun: 91). Ketiga, Kepatuhan segenap makhluk dalam menjalankan tugasnya masing-masing di alam semesta ini. Oleh sebab itu tatkala berdialog dengan Fir’aun Nabi Musa ‘alaihis salam mengungkapkan hal ini kepadanya. Allah ta’ala menceritakan (yang artinya), “Dia (Fir’aun) berkata: “Siapakah Rabb kalian berdua wahai Musa?” Musa pun menjawab: “Rabb kami adalah yang telah memberikan penciptaan kepada seluruh makhluk-Nya dan kemudian menunjuki mereka.” (QS. Thaha: 49-50). Itu semua Allah beberkan di dalam al-Qur’an dalam rangka mewajibkan manusia untuk beribadah kepada Allah semata (bertauhid uluhiyah). Barangsiapa yang tidak melaksanakan tauhid uluhiyah maka dia bukanlah seorang muslim (diringkas dari Kitab at-Tauhid li ash-Shaff al-Awwal al-’Aali: 32-35). Penegasan Imam Ibnu Katsir Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia ajaran al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in’. Bagian yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an.” (Kitab Tafsir al-Qur’an al-’Azhim: 1/ 34).

0 comments:

Post a Comment