Anak Saya Korban Was-was Syetan
Kamis, 28 Maret 2013 / 16 Jumadil Awwal 1434 HAnak melawan orangtua? Nampaknya sulit dipercaya. Tapi demikianlah kenyataannya. Berbagai media memberitakan kekerasan yang dilakukan seorang anak kepada orangtuanya. Bahkan ada yang tega membunuh orang yang telah melahirkan dan membesarkannya.
Naudzubillah. Namun sayang, tidak banyak orang yang mengaitkan kenakalan anak itu dengan jin. Hingga penyelesaiannya pun berlarut-larut. Padahal, sangat dimungkinkan kenakalan anak itu akibat gangguan jin dalam dirinya. Meski dengan alas an yang berbeda-beda.
Seperti kisah Ibu Han. Bertahun-tahun ia harus mengepel, mencuci, atau mengelap buku anaknya tanpa alasan yang jelas. Ibu Han menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di rumahnya.
Di pinggiran Jakarta Selatan, saya memilih sebuah komplek perumahan sebagai tempat melabuhkan harapan. Disebuah rumah yang sederhana tipe 50. Halamannya rindang. Ditumbuhi bunga dan pohon mangga. Efektif untuk menahan sinar matahari menembus rumahku.
Komplek perumahan ini berada di lingkungan yang asri, jauh dari polusi ibukota yang kian menyesakkan dada. Dari sini saya ingin membangun surga bersama Mas Riko, pemuda pilihanku. Kami ingin mewujudkan impian setiap insan yang telah menyempurnakan separuh agamanya.
Waktu terus merambat. Jalinan kasih kami melahirkan dua anak lelaki. Rian dan Dino. Anak-anak yang manis dan lucu. Rian bermata bulat. Sedang Dino berkulit kuning. Badannya lebih atletis dari kakaknya.
Hari demi hari kureguk kebersamaan dengan orang-orang yang kucintai. Kehadiran anak-anak dalam dunia kami menambah kebahagiaan ini. Dunia terasa lengkap oleh celoteh dan keluguan mereka.
Waktu terus merangkak tanpa bisa dihentikan. Anak pertama saya telah duduk di bangku SMA. la memilih tinggal bersama neneknya yang tidak perlu naik mobil untuk sampai ke sekolah. Saya bersyukur, Rian diterima di SMA unggulan di Jakarta. Tinggallah Dino yang mengisi keseharianku.
Suatu siang di tahun I998, ada sedikit kelucuan di tengah rumah tangga saya. Dino yang menginjak usia sembilan tahun mengingatkanku pada kenangan masa kecilnya. Saat ia merajuk atau merengek lantaran berebut mainan dengan kakaknya.
Siang itu, bukan mainan yang ia perebutkan. la melarang bapaknya duduk di kursi yang bersandar di sudut ruang tamu. Tidak ada yang istimewa di kursi itu. Itu hanya kursi biasa. Terbuat dari kayu jati. Tidak berbeda dengan kursi-kursi lainnya.
“Bapak jangan duduk di situ. Itu kursinya Dino,” selanya kepada Mas Riko. Mas Riko mengalah demi memuaskan anaknya. la beralih ke kursi di sebelahku. Memang, selama ini tidak ada larangan bagi siapapun untuk duduk di sana. Tapi bagi Dino, hari itu adalah awal dari perbedaan. Kursi di pojok ruang tamu itu hanya dia yang boleh menempatinya.
Awalnya, Saya dan Mas Riko menganggap itu sebuah lelucon. Tapi kian hari, benda yang tidak boleh disentuh orang lain bertambah. Bantal, tempat tidur, atau benda-benda lainnya. Naluri kewanitaanku berbicara.
Ada sesuatu yang terjadi pada anak bungsuku. Apakah itu? Mas Riko menggeleng saat kutanya. la belum menemukan jawabannya. Kecemasan tergambar jelas di wajahnya yang lelah seharian bekerja. Saya terdiam. Sampai detik itu, hanya kehampaan yang kutemukan. Tidak ada jawaban yang pasti untuk masalah ini.
Selang tiga bulan dari kepulanganku dari tanah suci bersama Mas Riko, Dino minta dikhitan. “Ma, Dino mau dikhitan dong! Teman-teman juga pada khitan,” katanya sambil menggelendot manja di pundakku. Hatiku bergetar. Kegembiraan menyelimuti relung hatiku. Laksana disiram air yang sejuk. “Boleh, Dino maunya kapan?” tanyaku balik. “Nanti, pas liburan sekolah saja ma,” jawabnya enteng.
Sehari sebelum acara khitanan, saya mengundang tetangga dalam acara tasyakuran. Meski penghuni komplek berasal dari berbagai daerah, namun hubungan kekeluargaan di antara kami cukup kuat. lbu-ibu sampai meluber ke halaman depan. Kala undangan berpamitan, kupanggil Dino untuk menyalami mereka.
Dino tidak mau. la memilih ngumpet di kamar. Kubujuk Dino agar mau menemui ibu-ibu, tapi ia bergeming. La malah lari ke kamar mandi dan mengunci diri. Cukup lama Dino di sana. Saya dan Mas Riko bergantian membujuknya. Tapi sia-sia belaka.
Dino tidak mau keluar. Saya pun meminta maaf pada tetangga bahwa Dino sedang di kamar mandi. Terus terang, saya merasa tidak enak kepada mereka, tapi apa mau dikata. Dino masih anak-anak.
Keesokan harinya, Dino kembali berulah. Ia yang semula minta dikhitan, kini enggan dibawa ke dokter. “Nggak mau. Nggak mau. Saya nggak mau khitan,” katanya dengan nada keras dan mata memerah.
Kami heran, apa sebenar terjadi nyadengan anak bungsuku? Saya paham sifat Dino. Namun kejadian beberapa hari itu membuatku bertanya-tanya. Adakah yang salah dalam diriku? Mengapa anak bungsuku bisa berubah?
Untunglah Dino masih mendengarkan rayuan kakeknya, hingga acara khitanan tetap dilangsungkan.Kami sekeluarga merasaa malu bila batalkan.Karena undangan sudah tersebar kemana-mana.
Anakku Memintaku Melakukan Hal-hal yang Tidak Masuk Akal
Niat mulia untuk membangun rumah menjadi surga tak semudah yang kubayangkan. Saya memang bukan tukang sulap. Bukan pula tukang sihir. Dengan ‘bim salabim’ lalu tercapailah keinginanku. Ujian demi ujian harus kulalui. Apakah Saya memang layak menggapainya atau harus gugur di tengah jalan. Ujian terberat justru datang dari darah dagingku sendiri.
Kian hari, sifat Dino makin berubah. Rasa hormat dan kepatuhannya kepada orangtua yang selama ini kubanggakan perlahan berganti dengan caci maki. Tidak boleh ada kesalahan kecil atau ditentang kata-katanya. Perubahan Dino semakin mengkhawatirkan.
la mulai senang berlama-lama di kamar mandi. Awalnya cuma setengah jam, lalu satu jam lama-lama bisa sampai tiga iam. Bukan karena berendam di bak mandi, Dino membutuhkan waktu berjam-jam. la takut pada sesuatu yang tidak jelas. la merasa semua benda yang ada di kamar mandi itu kotor, hingga tidak boleh ada yang tersentuh kulitnya. Entahlah apa yang mempengaruhi pikirannya. Saya belum tahu.
la tidak mau menyentuh kran air, karena menganggap kran itu kotor. Sayalah yang harus mendampinginya. Mengalirkan dan mematikan kran itu. Sebagai seorang ibu, Saya tidak kuasa melawan kemauan anakku. la masih kecil dan belum mengerti. Meski ucapannya harus dipatuhi dan perintahnya harus dilaksanakan, sampai detik itu saya masih sabar. Saya masih menuruti keinginannya.
Saya tidak tahu, darimana Dino mendapatkan ilmu yang menyesatkan ini. Hingga ia merasa badannya najis. Kalau bukan karena anggapan seperti itu, niscaya sabun mandi itu tidak harus dicuci dan dicuci sebelum dipakai membersihkan anggota tubuh lainnya. la juga tidak perlu mandi kembali hanya karena kesenggol bak atau pintu kamar mandi. Tapi itulah yang terjadi. Semuanya tidak bisa dicerna dengan logika.
Bila telah selesai mandi, lalu badannya tersentuh bak mandi, pintu atau benda lainnya, maka Dino akan mengulang dari awal. Tidak cukup hanya dengan mencuci kulit yang tersentuh, tapi harus keramas lagi, pakai sabun lagi.
Begitu seterusnya, hingga sekali mandi, ia terkadang harus mengulanginya tiga sampai empat kali. Keluar dari kamar mandi, ia seperti anak yang ketakutan. Tangannya dilipat di dada. Badannya menggigil. Dino keluar dengan sangat hati-hati. Kalau ia merasa tersentuh oleh pintu atau dinding, tak ayal dia akan masuk lalu mandi kembali.
Sudah kucoba menjelaskan bahwa ia tidak usah berbuat begitu, tapi sia-sia belaka. Teriakan dan makian yang menyesakkan dada menjadi jawaban atas kesabaranku. Pipiku pun basah oleh lelehan air mata. Saya berusaha tegar di depan anakku; namun kelopak mata ini tidak bisa menyembunyikan kepedihan hati.
Mandi berjam-jam itu berakibat fatal. la mulai ngompol lagi. Bila sekadar ngompol mungkin tidak terlalu masalah, tapi Dino menyuruhku melakukan perbuatan yang tidak masuk akal. Lantai, tempat tidur, meja atau lemari yang dilewatinya harus dipel. Bahkan pakaian bersih yang tersimpan rapi di dalam lemari tidak luput dari intaiannya. Semua pakaian itu harus dikeluarkan dan dicuci kembali.
Padahal lemari, meja atau pakaian itu sama sekali tidak terkena najis. Jaraknya dari tempat tidur pun jauh. Tapi bagi Dino itu bukan alasan. Yang ada dalam benaknya hanya satu, bahwa saya harus membersihkannya. Bertahun-tahun lamanya saya melakukan tugas ini setiap hari.
Bukan hanya lantai, meja atau benda-benda lainnya yang harus dibersihkan. Siapapun orangnya yang melintas di ruangan yang baru dilewatinya harus mandi keramas. Mas Riko dan pembantu hanya bisa menuruti permintaan Dino, bila tidak ingin membuatnya semakin kalap. Dino akan berteriak dan memaki dengan bahasa yang menyakitkan.
Kuperhatikan, Dino mudah marah dan ladi penakut bila cuaca berawan. Entah apa hubungan antara mendung itu dengan kejiwaannya. Yang jelas tidurnya susah. Sebentar sebentar cuci tangan. Ia nampak gelisah. Kudekati dan kudekap dia, tapi tidak banyak berarti.
Sebentar-sebentar ia minta diantar ke kamar mandi. Jam satu, dua atau tiga malam, ia selalu membangunkanku. Saya lelah fisik dan pikiran setelah seharian harus menuruti kemauannya mencuci dan mengepel lantai. Malam pun tidak bisa tidur nyenyak.
Dino tidak tidur-tidur. Perasaannya selalu gelisah. Ada cecak merayap di tembok saja, ia ketakutan luar biasa. Ia merasa kotoran cecak itu mengenai badannya. Dan harus segera dibersihkan dengan mandi keramas.
Jam berapapun, dalam kondisi hujan sekalipun. Untuk urusan seperti ini, saya tidak banyak melibatkan Mas Riko, karena ia nampak lelah sepulang dari kantor. Seharian ia harus berkutat dengan pekerjaannya. Biarlah, ia beristirahat dengan tenang agar esok bisa bekerja kembali.
Saya sempat berdialog dengan guru agama Dino di sekolah. la biasa dipanggil Pak Abdul Jalil. Saya ceritakan semuanya. Saya sampaikan kebingungan dan kegalauanku. Kulihat dari sorotan matanya, guru agama itu heran.
la sama sekali tidak menduga bila Dino berperilaku yang aneh di rumah. Karena selama di sekolah, tidak nampak keganjilan dalam dirinya. la tetap ceria seperti teman-temannya. Bahkan ia tidak pernah terlempar dari sepuluh besar siswa terbaik di sekolahnya.
Pak Abdul Jalil bertanya adakah buku-buku tertentu di rumah yang mempengaruhi pemikiran Dino. Kukatakan, di rumah memang ada buku-buku agama tapi tidak ada yang bermasalah. Hanya buku-buku yang ringan. Tidak ada yang nyeleneh. Dino juga tidak ikut membaca. Waktu itu ia biasa membaca komik Conan, yang berprofesi sebagai detektif cilik.
la juga bertanya, apakah ada guru ngaji yang mempengaruhi Dino. Kurasa tidak ada. Memang saya pernah memanggil guru privat ngaji ke rumah, tapi itu pun tidak berlangsung lama, karena Dino sulit dibangunkan dari tidur siangnya.
Pernah suatu siang, sepulang sekolah Dino mengambil sebilah pisau dan membawanya ke kamar. Saya khawatir bila terjadi sesuatu, setengah berlari saya menyusulnya ke kamar. Di atas kasur, Dino menggesek-gesekkan pisau itu ke tangannya. Gerakannya seperti sedang mengasah.
Saya berusaha membujuk agar dia mau memberikannya kepadaku. Tapi justru tanganku yang dipegangnya. Darahku bergejolak. Saya takut bila ia menusukkan pisau itu. Kubujuk agar Dino mau menyerahkan pisaunya “Mama mau pinjam pisau dong,” pintaku dengan lembut.
Saya bersyukur, anakku kemudian menyerahkan pisau yang dipegangnya, meski dengan tatapan mata kosong la memang pernah mengatakan bahwa hidupnya tidak bahagia. Dadaku berdesir mendengarnya. Nyeri, pedih terasa menyesakkan dada, mengapa anak bungsuku berpandangan seperti itu.
Padahal semua keinginannya selalu kami usahakan sebisa mungkin. Apapun urusannya, saya dan Mas Riko selalu mendahulukan anak. Kami pilihkan sekolah yang terbaik. Kami belikan makanan atau baju yang terbaik, tapi mengapa ia merasa bahwa hidupnya tidak bahagia.
Mengapa ia selalu mengatakan bahwa semua karena saya. “lni semua karena mama. Ini semua karena mama.” Saya tidak tahu kesalahan apa yang kulakukan.
Selain disuruh mencuci semua baju-bajunya, pulang sekolah saya disuruh mengelap semua bukunya. Lembar perlembar. Padahal bukunya sangat banyak. Memang Dino sekolah di tempat yang bagus dan ia juga suka belaiar.
Tidak hanya buku yang dari sekolahan, tapi juga buku-buku yang lain. Semuanya disuruh ngelap. Sampai pulpennya itu tutupnya dibuka, dalamnya disuruh ngelap. Setiap hari seperi itu. (Ibu Han menangis sesunggukan, red).
Suatu saat saya pernah tidak membukakan pintu ketika Dino pulang. Waktu itu sudah tidak ada pembantu dan saya tidak mau ngambil pembantu lagi. Saya tidak mau orang lain terbebani. Pulang dari sekolah ia tidak kubukakan pintu. Karena setiap kali pulang sekolah siksaan selalu datang. Saya selalu disuruh mengepel lantai yang dia lewati. Kemudian membersihkan bukunya.
Walaupun saya bisa mengakali walaupun bagaimana caranya, agar dia yakin bahwa saya telah melakukannya. Tapi hal terberat yang kurasakan adalah ketika berbohong. Padahal harta yang paling kusayang adalah kejujuran. Saya tersiksa. Tapi kalau saya melakukan, apakah itu bukan perbuatan gila. Mengelap dan mengepel karena alasan yang tak jelas.
“Mama mau membukakan pintu, asal tidak disuruh membersihkan buku. Tidak disuruh ngepel,” kataku dari ruang tamu dengan suara bergetar. Saya berdiri mematung menunggu apa yang terjadi. Jantungku berdegup keras. Sebenarnya, Saya tidak tega melakukannya.
Tapi saya berharap cara ini bisa menghentikannya. Selang beberapa detik kemudian, terdengar suara benda tumpul menghantam kaca jendela. Rupanya Dino marah. Ia memukul kaca pintu dengan kayu hingga berantakan. Akhirnya saya kembali mengalah. Kubukakan pintu dan kupel lantai yang dilaluinya. Saya lap bukunya. Lembar perlembar. Kulakukan itu seraya menahan kepedihan dalam hati.
Suatu saat, saya bermain sandiwara. Saya pura-pura sakit. Di dekat tempat tidur kutaruh meja. Ada minuman, ada obat. Saya terbaring di tempat tidur, dengan mata sembab karena air mata.
Mulanya, ia tidak percaya, tapi kuyakinkan bahwa Saya memang sakit. Kali ini Saya tidak bisa ngepel. “Untuk berjalan saja sakit, bagaimana bisa ngepel?” kataku sambil memegang pinggang pura-pura meringis. Saya berharap dengan sandiwawa ini tidak ada lagi pekerjaan ngepel.
Tapi perkiraanku salah. Dino ngepel sendiri sambil marah-marah. Gelas di meja pun menjadi sasarannya. Pecahannya berhamburan kemana-mana. Saya tidak tega melihatnya ngepel. Karena seharusnya itu memang tidak perlu.
Tanam Kepala Kambing Di Ruang Tamu
Sebenarnya sudah berkali-kali kami membawa Dino berobat ke dokter dan psikiater terkenal. Tapi hingga detik itu belum nampak hasilnya. Akhirnya kuturuti saran keluarga untuk membawanya berobat ke dukun. Sudah lama mereka menyarankan untuk mencari pengobatan alternatif, tapi saya selalu menolak.
Setelah setahun lebih perkembangan Dino justru makin mengkhawatirkan, akhirnya saya iyakan saja ketika Juwita yang masih keponakanku mengajak berobat ke orang pintar.
Berempat berangkat ke Bekasi. Saya, Juwita, Dino dan Mas Riko yang menyetir mobil. Rumah Ki Srono yang menjadi tujuan kami. Menurut Ki Srono saraf bagian kepala belakang Dino terganggu. Ia melakukan ritual pengobatan.
Sepulang dari rumah Bekasi, Dino justru makin parah. Kakaknya, Rian yang kebetulan berada di rumah menjadi sasaran kemarahannya. Rian yang tidak terbiasa dengan ulah adiknya mengalah. la balik ke rumah neneknya.
Saya telpon Ki Srono. Katanya, anakku diganggu seseorang yang sudah dekat dengan Dino. Untuk menyembuhkannya saya disuruh membeli minyak seharga satu juta dua ratus ribu rupiah. Bukan jumlah sedikit memang.
Tapi mengingat keadaan Dino yang makin tidak terkendali, minyak itu kami beli juga. Saat mengambil minyak itu, saya disuruh membawa sebutir kelapa hijau yang dipetik langsung dari pohon dan tidak boleh menyentuh tanah. Kelapa itu harus dibungkus kain putih dan kemenyan.
Kuturuti semua permintaan Ki Srono. Waktu itu kami belum tahu kalau tergolong syirik. Selama ini ustadzah yang ngajar ngaji hanya menjelaskan bahwa yang termasuk syirik itu adalah menyembah patung. Sementara yang kulakukan ini, dalam benakku tidak termasuk penyembahan kepada patung.
Terapi kedua yang menelan biaya jutaan rupiah itu juga tidak membawa hasil. Sepulang dari bekasi, saya kembali menjalani rutinitas harian. Mengepel lantai dari pagar sampai ke dalam rumah. Dino, sama sekali tidak berubah. Justru setiap pulang dari bepergian, tugasku semakin banyak. Mobilnya juga harus dicuci.
Untuk terapi ketiga, Ki Srono mengatakan ia harus datang ke rumah. Katanya, ia ingin membersihkan rumah. Sayapun mempersilahkannya, meski dibutuhkan sedikit trik agar Dino tidak tersinggung dengan kehadiran orang lain di rumah. Tapi hasilnya tetap sama.
Dino sama sekali tidak berubah. Langkah terakhir, Ki Srono menyarankan kami agar mengganti nama Dino. Saya pun mengiyakannya, meski untuk itu dibutuhkan persyaratan yang tidak ringan. Saya harus menyediakan kambing kendit. Seekor kambing berbulu putih dengan bulu hitam di bagian perutnya. Tidak mudah memang mendapatkannya. Tapi semua persyaratan itu tetap kami usahakan.
Nama sudah diganti. Kepala kambing sudah ditanam di ruang tamu, tapi hasilnya tetap sama. Akhirnya kami tinggalkan Ki Srono. Saya dan Mas Riko sepakat untuk tidak memanggilnya kembali. Penanaman kepala kambing itu membuat kami mulai meragukan cara pengobatannya.
Tiga tahun berlalu dalam rutinitas yang menyesakkan dada. Satu hal yang membuat kejiwaanku sedikit tergoncang. Saya butuh ketenangan. Menghindar dari rutinitas yang menyesakkan dada. Mengepel, mencuci, mengelap buku, dan menerima teriakan serta umpatan dari anakku sendiri.
Kutinggalkan rumah selama dua hari dengan hanya meninggalkan pesan. Bahwa saya berada di rumah adikku. Saya pesan, Mas Riko tidak perlu menyampaikan kepada Dino di mana saya berada.
Saya mulai berpikir negatif. Apakah anak ini kalau dibiarkan besar akan menyesatkan orangtuanya? Saya ingat kisah Nabi Khidhir. la membunuh seorang anak tak berdosa di hadapan Nabi Musa. Nabi Khidhir mengatakan, bila dibiarkan tumbuh dewasa maka anak itu akan menyesatkan orangtuanya.
Haruskan saya yang sudah membesarkannya dari kecil berakhir di penjara. Tidak keren banget. Tapi bagaimana kalau Dino terus hidup tapi selalu dalam dosa besar? Sementara saya punya andil membuatnya seperti itu.
Walaupun saya tidak tahu andilku di mana. Atau sebaliknya, saya yang mati ditangan anakku sendiri. Karena beberapa kali Dino sudah memegang pisau dengan marah. Beberapa kali ia mencekikku dengan keras.
Saya mengalami pergolakan Batin. Berbagai kejadian mengerikan kembali berkelebatan. Terulang dan seakan Terpampang di layar lebar. Tapi nurani keibuanku tidak dapat berbohong . Bahwa saya harus balik ke rumah. Saya harus pulang. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana kehidupan Dino tanpa kehadiranku.
Siapa yang harus menyiapkan makanan, mencuci atau memandikannya. Pembantu? Sudah tidak ada lagi. Mas Riko? la harus bekerja. Karena dialah tumpuan ekonomi keluarga. Kasihan bila masih harus terbebani dengan keruwetan Dino.
Setelah dua hari menginap di rumah adik, kuputuskan pulang. Meski untuk itu saya harus cari alasan yang tepat. Agar anakku tidak semakin marah. Agar ia merasa tidak lagi diperhatikan orangtuanya. Saya telpon Dino. Saya berpura-pura tidak terjadi apa-apa. Kepergianku hanyalah untuk mencari obat buat dirinya.
“Maaf ya mama pergi. Soalnya mama cari obat buat dino....” Kataku dari seberang telpon. Saya tidak dapat menahan air mata saat membuka pintu. Semuanya berantakan . Meja makan, Tempat tidur, dapur.
Allah Menyayangi Kami, Mempertemukan Kami Dengan Majalah Ghoib
Setelah lulus SD, kami menyekolahkan Dino ke pesantren di Jawa Tengah. Dari sini, sedikit mulai terjadi perubahan. Pergaulannya yang semakin luas, serta jauh dari orangtua membuatnya harus bersikap mandiri. Sebulan sekali belum tentu pulang.
Meski demikian kebiasaan yang dulu kembali terulang saat Dino kembali ke rumah. Walau tidak lagi separah dulu. Akhirnya ada seorang teman yang menyarankan kami menghubungi seorang ustadz di sebuah kabupaten di Jawa Tengah.
Setelah mengobati Dino, Ustadz tersebut menyarankan agar kami merubah arah rumah. Selain itu, kami juga membawanya berobat ke tukang pijat diJawa Tengah serta berobat ke psikeater. Hingga pada akhirnya, saya melihat acara ‘Sentuhan Qalbu’ di sebuah stasiun TV swasta.
Waktu itu yang menjadi pembicara adalah Ustadz Fadhlan. Saya tertarik dengan terapi pengobatan gangguan jin yang dipraktikkannya. Waktu itu bulan Ramadhan. Kuhubungi stasiun TV itu dan saya disarankan menghubungi Majalah Ghoib.
Dibulan Syawal, Dino diterapi Ustadz Fadhlan. Setelah ruqyah itu perubahannya drastis sekali. Ia tidak lagi menyuruhku untuk membersihkan lantai atau melakukan hal-hal yang tidak perlu. Meski saya akui sesekali amarahnya masih meledak-ledak. Terkadang kursi masih bisa melayang. Saya sadar bahwa syetan telah menguasai pikirannya. Hingga dibutuhkan waktu yang lebih lama dan perjuangan yang lebih gigih.
Setelah ruqyah itu, saya baru tersadar bahwa dulu, saya pernah menantang jin. Waktu itu Juwita cerita bila jin itu ada di mana-mana. Akhirnya dalam perjalanan panjang mencari kesembuhan Dino, saya pernah berbicara sendiri. “Oh, iya barangkali karena saya dulu menantang jin.”
lngatan itu mendorong diriku untuk mengakhiri permusuhan ini. “Sudahlah, hiduplah di dunia kalian. Dan biarkan saya hidup di duniaku. Dan jangan ganggu.” Beberapa kali kalimat ini sempat kuucapkan. Meski saya akui bahwa ucapanku itu dibenarkan. Permusuhan manusia dengan lblis dan bala tentaranya adalah permusuhan yang abadi.
Yang kubutuhkan sekarang adalah mempertebal keimanan hingga berhasil memenangkan pertempuran ini. AlhamduIillah sekarang semuanya sudah berlalu. Mudah-mudahan Allah benar-benar membersihkan semua yang jahat dari keluargaku. Dijauhkan dari rumahku surgaku. Semoga semuanya terlindungi dari bahaya apapun. Yang lebih membahagiakan, kini Dino telah duduk di bangku SMA. la tergolong siswa yang cerdas. Bahkan terpilih sebagai siswa teladan disekolahnya.
Ghoib Ruqyah Syar’iyyah
Sumber : Majalah Ghoib Edisi 66/4
0 comments:
Post a Comment