Menjadi Homo Karena Jin Waria
Sodomi adalah kejahatan yang sangat kejam dipandang dari sudut apapun. Terlebih bila yang menjadi korban adalah anak-anak. Kemungkinan mengalami penyimpangan seksual di kemudian hari sangatlah besar. Seperti yang dialami Nanang (Nama Samaran), lelaki yang baru melangsungkan pernikahan 6 bulan yang lalu menceritakan kisah Ahad kelabu kepada Majalah Ghoib. Berikut petikan kisahnya.
Nanang, begitulah biasanya saya dipanggil. Saya lahir di Rembang, Jawa Tengah 28 tahun yang lalu dari keluarga tentara. Seperti karakter orang Jawa kebanyakan, bapak itu orangnya pendiam, wataknya lembut. Sangat bertolak belakang dengan anggapan sebagian orang bahwa tentara itu keras. Saya sendiri sebagai anak tentara tidak bisa menyalahkan bayangan mereka yang demikian. Sedangkan ibu adalah tipe orang yang suka mengalah tidak ingin membuat keributan dengan orang lain.
Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, watak saya sangat jauh berbeda dengan kedua kakak saya. Kebetulan kakak yang pertama adalah seorang perempuan yang tomboy. Mungkin ia terbawa dengan keseharian kami yang tidak terlepas dari dunia ketentaraan. Sedangkan kakak yang kedua, sama seperti saya, laki-laki. Bedanya kakak laki-laki saya orangnya itu tidak sabaran kurang telaten. Diantara kedua orang tua, saya lebih dekat kepada ibu. Mengapa demikian saya tidak tahu.
Mungkin karena sedari kecil, Ibu mendidik saya menguasai pekerjaan wanita. Saya sudah terbiasa memasak atau belanja keperluan dapur ke pasar. Ibu memang lebih senang menyuruh saya daripada kedua kakak yang lebih suka dengan dunia mereka, dunia anak-anak.
Saya tidak tahu apakah kebiasaan melakukan pekerjaan wanita pada akhirnya akan mempengaruhi kejiwaan saya. Yang jelas, saya pernah menladi korban kebrutalan seks seorang laki-laki yang masih satu asrama dengan saya. Peristiwa kelabu yang sangat membekas dalam jiwa saya hingga sekarang. Kejadiannya terjadi belasan tahun yang lalu, tepatnya saat saya masih kelas 5 SD.
Suatu siang pada hari Ahad, saya bermain ke rumah Narto yang hanya berselang dua rumah dari tempat saya. Waktu itu di rumah Narto, yang masih kelas 3 SMA, sudah banyak teman-teman saya yang datang. Memang, orangtua Narto itu baik sehingga mereka disenangi anak-anak. Mereka pun tidak marah bila teman-temannya Narto datang rame-rame. Setelah dari pagi bermain akhirnya teman-teman ketiduran di ruang tamu.
"Sini, tidur di samping saya," ajak Narto ketika melihat saya datang. Waktu itu saya nurut saja ketika dibujuk tiduran di tempat gelap yang agak menjorok ke dalam. Sebenarnya di ruang tamu itu ada beberapa orang yang tidur berpencar. Hanya saja Narto mengajak saya mencari sudut yang gelap. Saya tidak punya pikiran macam-macam. Namanya juga anak-anak. Apalagi saya sudah kenal dekat dengannya dan teman-teman lain juga pada tidur di lantai.
Saya biarkan saja ketika Narto mulai meraba-raba tubuh saya. Saya hanya diam dan tidak melawan. Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi sehingga saya diam saja. Saya benar-benar telah disodomi, Dia benar-benar tidak mempedulikan kejiwaan saya yang masih kanak-kanak.
Adegan seronok itu baru terhenti saat pintu berderit. Dan satu dua langkah kaki terdengar semakin dekat. "Hei, lagi ngapain itu," suara ibu Narto mengejutkan saya. Saya panik dan tidak bisa menyernbunyikan perasaan takut bercampur malu. Jiwa polos saya tidak bisa berbohong.
Terus terang, saya sendiri tidak berani cerita kepada orangtua. Peristiwa kelabu di Ahad siang itu hanya saya rekam dan simpan dalam memori hingga kini. Tapi entahlah darimana awalnya, sehingga ada beberapa tetangga yang pada akhirnya meledek saya. "Eh, katanya kamu ditidurin Narto."
Saya diam saja dan tidak banyak berkomentar. Akhirnya desas-desus itu hilang begitu saja dan tidak sampai terdengar orangtua saya. Seandainya bapak mendengar peristiwa itu, entahlah apa yang terladi. Saya sendiri tidak berani membayangkannya.
Saya Tidak Tertarik Lawan Jenis
Dari sini kegalauan jiwa saya muncul. Ketertarikan kepada lawan jenis tidak tumbuh beriringan dengan pertambahan usia saya yang telah masuk SMP. Tiga tahun di SMP saya tidak tertarik kepada lawan jenis. Hal ini masih terus berlanjut hingga SMA. Anak-anak seusia SMA yang mulai mendekati lawan jenis pun tidak saya alami.
Yang terjadi justru kebalikannya. Saya lebih tertarik dengan laki-laki yang tampan dan berkulit bersih. Tidak jarang laki-laki yang saya sukai itu hadir dalam mimpi saya. la hadir bukan sebagai teman main biasa. Tapi kali ini ia menjadi pemuas nafsu. la memeluk saya layaknya suami istri yang sedang bercumbu. Dan ketika terbangun tidak jarang saya menjumpai celana saya telah basah.
Saat SMA saya lebih akrab dengan seorang teman laki-laki yang masih satu kelas. Heru namanya. Kulitnya putih bersih dengan bentuk tubuh yang atletis. la memang layak mendapat simpati dari wanita. Apalagi didukung dengan pembawaannya yang kalem dan nampak dewasa. Tapi entah kenapa, saat itu saya tidak melihatnya menjalin cinta dengan seorang wanita. Padahal dengan modal ketampanan yang dimilikinya, banyak wanita yang mau menjadi pacarnya.
Sebagian besar waktunya sering dihabiskan dengan saya. Saat libur sekolah misalnya. Saya dan Heru sering pergi berdua. Demikian juga bila ada tugas kelompok maka kita sering kali mengerjakannya berdua. Bila duduk berduaan dengan Heru dada saya berdegup kencang. Terlebih bila tanpa sengaja saya bersentuhan kulit dengan Heru. Pikiran saya mulai galau. Dan kembali bayangan Ahad kelabu hadir. lngin rasanya saya tidur bersamanya. Seperti yang dilakukan Narto dahulu.
Pikiran kotor itu segera saya tepis. Keringat dingin segera mengalir perlahan membasahi kulit. “Jangan. Jangan teruskan pikiran kotor itu,” saya berusaha menenangkan diri agar tidak terjerumus semakin jauh. Memang selama sekolah SMA, Heru adalah satu-satunya teman laki-laki yang sempat mampir di dalam hati saya.
Namun, bukan berarti saya tidak tertarik kepada wanita cantik. Hanya saja hasrat kelaki-lakian saya cenderung hilang. Belum terbetik keinginan untuk menikahi seorang wanita, secantik apapun ia.
Terlebih selepas SMA tahun 1997, ibu saya menderita sakit yang cukup parah. Beliau sudah tidak bisa jalan. Otomatis tidak bisa melakukan tugas sebagai seorang wanita. Memang, kakak pertama saya adalah wanita. Tapi saat ibu menderita sakit, kakak sudah menikah dan menetap di kota Semarang.
Sementara kakak kedua saya temperamennya tinggi, la suka marah-marah dan tidak telaten merawat orangtua. Bila ibu tidak mau makan, omelan kakak dan suara keras langsung menggema. lbu sampai menangis dibuatnya. lbu menangis bukan karena kelaparan, tapi lebih disebabkan tingkah laku kakak yang tidak berbakti kepada orangtua.
Di sinilah saya tidak punya pilihan lain. Saya harus berdiam diri di rumah dan mengurus semua urusan rumah tangga. Mulai dari urusan masak-memasak sampai mencuci pakaian. Pendek kata, saya layaknya seorang wanita saja di rumah. Untuk menghilangkan kejenuhan sesekali saya bermain ke Semarang menemui kakak perempuan saya. Saya bermaksud mencari kerja. Namun tidak berapa lama kemudian ibu memanggil saya pulang.
Ketika ibu sudah baikan saya balik lagi ke Semarang. Waktu pamit kepada ibu, saya lihat matanya memerah dan berkaca-kaca. Bola mata itu semakin sayu. lbu tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya. Hingga airmatanya mengalir. Sepertinya ibu tidak rela saya pergi.
Selang beberapa minggu kemudian ibu sakit lagi dan saya disuruh pulang. Saya bingung menentukan pilihan antara pulang dan tidak. Pulang berarti harus menebalkan telinga dari cibiraan tetangga, "Masak, anak laki-laki kerjanya hanya di rumah” cibiran semacam ini sering saya dengar dari tetangga.
Di Semarang ini saya masih beruntung, karena ada orang yang mau mendengarkan keluhan saya. "Kalau berbakti sama orangtua, Allah akan meridhai segala langkah kita. Sementara kalau kerjaan bisa dicari lagi. Kalau ibu tidak ada dan adik belum berbakti terus bagaimana," ujar seorang ustadz masehati saya. Akhirnya saya pulang dan dua bulan kemudian Ibu meninggal.
Saya bisa mendampingi Ibu pada detik-detik terakhir kehidupannya. Saya bersyukur karena apa yang saya lakukan selama ini lelas tidak akan bisa membalas jasanya. Tapi setidaknya saya sudah menunjukkan diri sebagai anak yang berbakti kepada orangtua. Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Semarang. Numpang kembali di rumah kakak sambil mencari kerja.
Sulit Melupakan Peristiwa Ahad Kelabu
Setahun lamanya saya hidup dalam pengangguran. Walau sebenarnya saya tidak menganggur total. Saya harus tahu diri bahwa saya ikut orang lain. Maka mau tidak mau saya harus membantu kakak. Walau untuk itu saya mengerjakan pekerjaan wanita. Sama seperti di rumah, di Semarang ini saya kembali memasak, mencuci atau menyapu. Kebetulan anak-anaknya yang perempuan juga pemalas.
Jujur, sebagai seorang laki-laki saya merasa tidak enak hanya sekedar di rumah. Maka saya mengirimkan lamaran ke berbagai tempat. Alhamdulillah akhirnya saya diterima keria di sebuah restoran. Di sinilah saya menemukan hikmah bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Kebetulan restoran tersebut merniliki cabang di Bali, Yogya, Malang, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Dari sini saya punya kesempatan menimba pengalaman.
Pada tahun 2001 saya dipindah tugaskan ke Bali dan ditempatkan sebagai juru masak. Kebetulan saat bekerja di Bali, saya berteman dengan seorang wanita cantik, namanya Leni. la seorang gadis yang sangat simpatik. Kebetulan Leni juga kebagian tugas sebagai juru masak.
Waktu itu saya masih termasuk orang baru. Jadi perasaan malu masih sangat besar. Apalagi mengingat Leni adalah primadona di restoran. Dengan kulltnya yang putih bersih setinggi 160 cm. la menjadi daya tarik tersendiri. Ditunjang dengan pembawaannya yang sangat simpatik.
Biasanya saya dan Leni sering mojok di sudut dapur, tempat pemotongan kangkung dan menanak nasi. Di sinilah Leni sering curhat kepada saya. Ia dengan terus terang menceritakan segala masalah yang dihadapinya. Bahkan percekcokan dengan pacarnya iuga tidak lepas dari ceritanya. Memang pacarnya Leni berbadan tegap, kulitnya bersih dan berhidung mancung. la tipe pria macho. Hanya saja ia orangnya mau menang sendiri dan terkesan kurang dewasa.
Hampir setiap mengalami salah paham dengan pacarnya, Leni selalu cerita kepada saya. Bila sudah demikian ia mulai membicarakan kriteria laki-laki pujaannya yang mengarah kepada saya. lbarat tanaman yang selalu disiram rutin, maka akar-akar yang mati akan tumbuh lagi. Perasaan cinta di hati saya pun tumbuh seiring dengan semakin seringnya saling berbagi cerita.
Demikian pula halnya dengan Leni, hatinya mulai berpaling kepada saya. la pernah mengirim kartu valentine dengan embel-embel di bawahnya, "Tolong jangan ada yang tahu. jadi ini hanya rahasia kita berdua.” Tak lain karena kisah cinta dengan pacarnya masih belum putus. lstilahnya ia mengambil langkah back street dengan saya. Ini adalah kisah cinta yang pertama dalam hidup saya.
Pada saat yang bersamaan dengan tumbuhnya rasa cinta kepada wanita, perasaan suka pada laki-laki tetap tidak hilang. Kebetulan saya tinggal di mess dengan kasur tunggal. Pada waktu saya tidur sendirian selaiu ada seseorang yang masuk kamar tanpa saya ketahui.
Tiba-tiba saja ia sudah tidur di samping saya dan dengan seenaknya saja kakinya jelalatan. la menggesek-gesekkan kakinya ke alat kelamin saya. Diperlakukan seperti itu akhirnya saya terangsang. Dan tanpa dapat saya cegah saya pun memberikan respon.
Saya mengikuti keinginannya walau itu terkadang melewati batas. Entahlah, mengapa waktu itu saya sama sekali tidak menolak atau merasa jijik. Yang jelas bayangan Ahad kelabu belasan tahun yang lalu kembali hadir. Terbetik kembali keinginan untuk mengulang sensasi yang telah lama berlalu.
Saya heran terhadap diri sendiri. Mengapa perasaan cinta pada Leni tidak menghilangkan sensasi Ahad kelabu. Sensasi itu selalu membayangi kemana pun saya pergi. Untungnya, kedekatan dengan Leni, mulai mencairkan hati. Saya lebih focus untuk menjalin kasih dengannya.
Walau akhirnya cinta pertama ini juga berakhir dengan tragis. Kenangan manis itu kandas setelah saya pindah tugas ke Surabaya. Disini, saya tidak bertahan lama. Sekitar tiga bulan sebelum akhirnya saya pindah ke Yogya. Karena tidak betah dengan gaya teman-teman yang terkesan berangasan dan nada bicaranya kasar-kasar.
Di Yogya saya hanya sempat kerja selama tiga bulan sebelum akhirnya di PHK karena menentang keputusan manajemen yang mengurangi gaji karyawan hingga empat puluh persen. Akhirnya saya merantau ke Jakarta mengikuti seorang teman lama yang menawari kerja.
Jakarta dengan segala keramaiannya membawa perubahan dramatis dalam kehidupan saya. Di sinilah saya begabung dengan aktifis remaja masjid. Walaupun pada awalnya sempat tertarik dengan seorang aktifis remaja masjid. Rasanya ingin selalu mendekati dan menyentuh kulitnya. Keinginan itu sebisa mungkin saya tahan. Saya berusaha untuk menjauhinya sehingga perasaan aneh itu sedikit demi sedikit luntur.
Selain itu, jiwa kelelakian saya secara berangsur-angsur mulai normal. Mulai ada desiran aneh saat melihat wanita berjilbab, walau hanya selintas. Hati saya tergerak untuk memperhatikannya. "Ya Allah, cantik amat," gumam saya dalam hati. "Coba kalau dia jadi istri saya. Mau nggak ya?" Tanya saya dalam hati. Sebaliknya saya mulai antipati terhadap wanita yang tidak berjilbab walaupun secantik Madonna. “Ah bodoh amat," pikir saya.
Bak gayung bersambut, keinganan untuk menikah itu akhirnya terkabul. Teman-teman saya yang memberikan motivasi agar saya cepat mengakhiri masa penantian yang melelahkan ini, membantu saya menemukan wanita idaman.
Akhirnya saya bulatkan tekad. “Ya Allah kalau memang jodoh saya, mudahkan urusannya. Semoga dengan pernikahan ini saya sembuh dari penyakit saya.” Kadang saya berdoa sambil menangis, “Ya Allah, saya ingin berumah tangga. Saya ingin membahagiakan istri. Saya ingin punya anak.” Tapi kadang saya protes, "Ya Allah, mengapa saya diberikan begini.”
Jin-jin Homo Diusir dari Tubuh Saya
Masa-masa menanti tibanya hari pernikahan secara tak sengaja saya membaca Majalah Ghoib yang menulis kesaksian seorang wanita yang kerasukan jin hingga membuatnya menjadi lesbi. Dari sini saya mulai mempernpertanyakan jangan-jangan saya juga kena gangguan jin. Mengapa sejak peristiwa Ahad kelabu itu saya selalu dihantui bayangan laki-laki. Bayangan yang belum hilang sampai sekarang.
Berbekal keyakinan tersebut saya mengikuti ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Jin yang pertama keluar bukan jin yang membuat saya homo. Tapi yang lainnya. Ada jin kakek-kakek, yang mengaku berada di mata. Sementara empat jin lainnya katanya tinggal di perut dan dada.
Barulah kemudian suara saya berubah menjadi seperti suara waria, "Eh, siapa sih ini. Ngganggu-ngganggu saja. Sebel deh," suara saya berubah seperti wanita. Saya kaget. Karena waktu diruqyah itu saya sadar tapi saya tidak bisa menguasai diri. Saya masih bisa mengingat dialog yang terjadi. “Keluar nggak. Jangan mengganggu," bentak ustadz. “ya. Saya keluar,” ujar jin waria itu sebelum akhirnya keluar. Badan saya langsung lemas tak bertenaga.
Setelah ruqyah yang pertama, mulai ada perubahan. Saya yang biasanya malas membaca al-Qur'an sekarang saya malah ketagihan. Saya juga ingin shalat berlama-lama. Rasanya nikmat sekali. Ya Allah saya ingin begini setiap hari.
Seminggu kemudian saya ruqyah yang kedua kalinya. Jin waria kembali bereaksi setelah kaki saya dipijat.
“Eh, siapa sih ini. Nganggu-nganggu saya lagi.”
"Kamu namanya siapa?"
“Susi"
"Kamu di sini sama siapa?"
"Sama teman-teman. ada Yuni ada Sara .... ,” jin Susi menyebut beberapa nama perempuan.
"Mengapa kamu di sini. lni kan bukan tempatmu"
"Habis saya suka sama masnya sih. Masnya cakep sih," suara saya seperti suara bencong.
“Lho kamu jin waria ya?"
"Iya."
“Kamu keluar nggak?"
"lya, iya. Saya kasian sama masnya. Habis saya sering lihat kalau dia berdoa nangis. lya, iya saya mau keluar."
Jin susi keluar ketakutan sambil mengajak teman-temannya.
Terus saya dipijat lagi, saya sampai muntah. Ketika dada saya ditekan, masih ada jinnya, “Eh kamu masih di sini.” “lya." Kali ini suara saya menyerupai suara laki-laki. "Kenapa kamu suka sama masnya ini"
"Saya suka sama dia. Habis orangnya cakep."
"Tapi itu bukan alam kamu. Ayo keluar bila tidak ingin terbakar." Setelah itu saya muntah lagi. Memang proses
pengeluaran jin itu cukup lama. Leher saya sarnpai terasa dijerat. Dada, punggung dan perut kesakitan. Saya sampai kelojoton dan menangis.
Ruqyah yang kedua hanya ber selang satu minggu dari hari pernikahan. Dan Alhamdulillah sejak saat itu pikiran saya tidak aneh-aneh. Tidak ada lagi keinginan untuk masturbasi. Sekarang berganti dengan gejolak syahwat pada wanita. Semakin malam gejolak syahwat itu semakin kuat. "YaAllah. Kok tiba-tiba begini ya. Apa ini
karena jawaban dari-Mu? Kau sembuhkan sakit saya."
Dengan perasaan yang baru saya benar-benar merasa siap menyambut akad nikah. Saya akui, waktu sebelum akad memang dag dig dug dalam hati tidak dapat saya tahan. Dan resepsi pun berjalan dengan lancar. Ya, Januari adalah bulan bersejarah dalam hidup. Tantangan hidup yang tidak hanya saya jalani sendirian. Kini ada orang lain yang berada di samping saya. Membantu menapaki hidup ini dengan lebih semangat. Dan melupakan masa lalu yang kelabu.
Malam pertama pun berlalu dengan sukses. Bisa dikata tidak ada hambatan yang berarti. Dua insan yang terikat dalam jalinan cinta yang kuat bersatu menjadi satu. Menghilangkan perbedaan yang ada sebisa mungkin. Alhamdulillah, saya benar-benar menjadi laki-laki normal. Ketika berduaan di kamar pun apa yang saya takutkan dulu tidak terjadi. Tugas sebagai suami dalam satu sisi terlaksana dengan baik.
"Ya Allah. lnilah jawaban dari-Mu, atas doa saya selama ini." Penyakit yang katanya tidak mungkin disembuhkan, ternyata sembuh. Dari sini saya merasakan bahwa doa adalah kunci utama. Doa pengubah takdir. Kita tidak boleh putus asa.
lni adalah sepenggal kisah kelabu masa lalu saya. Semoga kisah ini menjadi jalan keluar bagi teman-teman yang masih bergelut dengan dunia homo. Yakinlah selama ada usaha pasti ada jalan. Yakinlah dengan kekuatan doa dan tak lupa bakti kepada orangtua.
Nanang, begitulah biasanya saya dipanggil. Saya lahir di Rembang, Jawa Tengah 28 tahun yang lalu dari keluarga tentara. Seperti karakter orang Jawa kebanyakan, bapak itu orangnya pendiam, wataknya lembut. Sangat bertolak belakang dengan anggapan sebagian orang bahwa tentara itu keras. Saya sendiri sebagai anak tentara tidak bisa menyalahkan bayangan mereka yang demikian. Sedangkan ibu adalah tipe orang yang suka mengalah tidak ingin membuat keributan dengan orang lain.
Sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, watak saya sangat jauh berbeda dengan kedua kakak saya. Kebetulan kakak yang pertama adalah seorang perempuan yang tomboy. Mungkin ia terbawa dengan keseharian kami yang tidak terlepas dari dunia ketentaraan. Sedangkan kakak yang kedua, sama seperti saya, laki-laki. Bedanya kakak laki-laki saya orangnya itu tidak sabaran kurang telaten. Diantara kedua orang tua, saya lebih dekat kepada ibu. Mengapa demikian saya tidak tahu.
Mungkin karena sedari kecil, Ibu mendidik saya menguasai pekerjaan wanita. Saya sudah terbiasa memasak atau belanja keperluan dapur ke pasar. Ibu memang lebih senang menyuruh saya daripada kedua kakak yang lebih suka dengan dunia mereka, dunia anak-anak.
Saya tidak tahu apakah kebiasaan melakukan pekerjaan wanita pada akhirnya akan mempengaruhi kejiwaan saya. Yang jelas, saya pernah menladi korban kebrutalan seks seorang laki-laki yang masih satu asrama dengan saya. Peristiwa kelabu yang sangat membekas dalam jiwa saya hingga sekarang. Kejadiannya terjadi belasan tahun yang lalu, tepatnya saat saya masih kelas 5 SD.
Suatu siang pada hari Ahad, saya bermain ke rumah Narto yang hanya berselang dua rumah dari tempat saya. Waktu itu di rumah Narto, yang masih kelas 3 SMA, sudah banyak teman-teman saya yang datang. Memang, orangtua Narto itu baik sehingga mereka disenangi anak-anak. Mereka pun tidak marah bila teman-temannya Narto datang rame-rame. Setelah dari pagi bermain akhirnya teman-teman ketiduran di ruang tamu.
"Sini, tidur di samping saya," ajak Narto ketika melihat saya datang. Waktu itu saya nurut saja ketika dibujuk tiduran di tempat gelap yang agak menjorok ke dalam. Sebenarnya di ruang tamu itu ada beberapa orang yang tidur berpencar. Hanya saja Narto mengajak saya mencari sudut yang gelap. Saya tidak punya pikiran macam-macam. Namanya juga anak-anak. Apalagi saya sudah kenal dekat dengannya dan teman-teman lain juga pada tidur di lantai.
Saya biarkan saja ketika Narto mulai meraba-raba tubuh saya. Saya hanya diam dan tidak melawan. Entahlah, apa yang sebenarnya terjadi sehingga saya diam saja. Saya benar-benar telah disodomi, Dia benar-benar tidak mempedulikan kejiwaan saya yang masih kanak-kanak.
Adegan seronok itu baru terhenti saat pintu berderit. Dan satu dua langkah kaki terdengar semakin dekat. "Hei, lagi ngapain itu," suara ibu Narto mengejutkan saya. Saya panik dan tidak bisa menyernbunyikan perasaan takut bercampur malu. Jiwa polos saya tidak bisa berbohong.
Terus terang, saya sendiri tidak berani cerita kepada orangtua. Peristiwa kelabu di Ahad siang itu hanya saya rekam dan simpan dalam memori hingga kini. Tapi entahlah darimana awalnya, sehingga ada beberapa tetangga yang pada akhirnya meledek saya. "Eh, katanya kamu ditidurin Narto."
Saya diam saja dan tidak banyak berkomentar. Akhirnya desas-desus itu hilang begitu saja dan tidak sampai terdengar orangtua saya. Seandainya bapak mendengar peristiwa itu, entahlah apa yang terladi. Saya sendiri tidak berani membayangkannya.
Saya Tidak Tertarik Lawan Jenis
Dari sini kegalauan jiwa saya muncul. Ketertarikan kepada lawan jenis tidak tumbuh beriringan dengan pertambahan usia saya yang telah masuk SMP. Tiga tahun di SMP saya tidak tertarik kepada lawan jenis. Hal ini masih terus berlanjut hingga SMA. Anak-anak seusia SMA yang mulai mendekati lawan jenis pun tidak saya alami.
Yang terjadi justru kebalikannya. Saya lebih tertarik dengan laki-laki yang tampan dan berkulit bersih. Tidak jarang laki-laki yang saya sukai itu hadir dalam mimpi saya. la hadir bukan sebagai teman main biasa. Tapi kali ini ia menjadi pemuas nafsu. la memeluk saya layaknya suami istri yang sedang bercumbu. Dan ketika terbangun tidak jarang saya menjumpai celana saya telah basah.
Saat SMA saya lebih akrab dengan seorang teman laki-laki yang masih satu kelas. Heru namanya. Kulitnya putih bersih dengan bentuk tubuh yang atletis. la memang layak mendapat simpati dari wanita. Apalagi didukung dengan pembawaannya yang kalem dan nampak dewasa. Tapi entah kenapa, saat itu saya tidak melihatnya menjalin cinta dengan seorang wanita. Padahal dengan modal ketampanan yang dimilikinya, banyak wanita yang mau menjadi pacarnya.
Sebagian besar waktunya sering dihabiskan dengan saya. Saat libur sekolah misalnya. Saya dan Heru sering pergi berdua. Demikian juga bila ada tugas kelompok maka kita sering kali mengerjakannya berdua. Bila duduk berduaan dengan Heru dada saya berdegup kencang. Terlebih bila tanpa sengaja saya bersentuhan kulit dengan Heru. Pikiran saya mulai galau. Dan kembali bayangan Ahad kelabu hadir. lngin rasanya saya tidur bersamanya. Seperti yang dilakukan Narto dahulu.
Pikiran kotor itu segera saya tepis. Keringat dingin segera mengalir perlahan membasahi kulit. “Jangan. Jangan teruskan pikiran kotor itu,” saya berusaha menenangkan diri agar tidak terjerumus semakin jauh. Memang selama sekolah SMA, Heru adalah satu-satunya teman laki-laki yang sempat mampir di dalam hati saya.
Namun, bukan berarti saya tidak tertarik kepada wanita cantik. Hanya saja hasrat kelaki-lakian saya cenderung hilang. Belum terbetik keinginan untuk menikahi seorang wanita, secantik apapun ia.
Terlebih selepas SMA tahun 1997, ibu saya menderita sakit yang cukup parah. Beliau sudah tidak bisa jalan. Otomatis tidak bisa melakukan tugas sebagai seorang wanita. Memang, kakak pertama saya adalah wanita. Tapi saat ibu menderita sakit, kakak sudah menikah dan menetap di kota Semarang.
Sementara kakak kedua saya temperamennya tinggi, la suka marah-marah dan tidak telaten merawat orangtua. Bila ibu tidak mau makan, omelan kakak dan suara keras langsung menggema. lbu sampai menangis dibuatnya. lbu menangis bukan karena kelaparan, tapi lebih disebabkan tingkah laku kakak yang tidak berbakti kepada orangtua.
Di sinilah saya tidak punya pilihan lain. Saya harus berdiam diri di rumah dan mengurus semua urusan rumah tangga. Mulai dari urusan masak-memasak sampai mencuci pakaian. Pendek kata, saya layaknya seorang wanita saja di rumah. Untuk menghilangkan kejenuhan sesekali saya bermain ke Semarang menemui kakak perempuan saya. Saya bermaksud mencari kerja. Namun tidak berapa lama kemudian ibu memanggil saya pulang.
Ketika ibu sudah baikan saya balik lagi ke Semarang. Waktu pamit kepada ibu, saya lihat matanya memerah dan berkaca-kaca. Bola mata itu semakin sayu. lbu tidak tahan lagi menyembunyikan perasaannya. Hingga airmatanya mengalir. Sepertinya ibu tidak rela saya pergi.
Selang beberapa minggu kemudian ibu sakit lagi dan saya disuruh pulang. Saya bingung menentukan pilihan antara pulang dan tidak. Pulang berarti harus menebalkan telinga dari cibiraan tetangga, "Masak, anak laki-laki kerjanya hanya di rumah” cibiran semacam ini sering saya dengar dari tetangga.
Di Semarang ini saya masih beruntung, karena ada orang yang mau mendengarkan keluhan saya. "Kalau berbakti sama orangtua, Allah akan meridhai segala langkah kita. Sementara kalau kerjaan bisa dicari lagi. Kalau ibu tidak ada dan adik belum berbakti terus bagaimana," ujar seorang ustadz masehati saya. Akhirnya saya pulang dan dua bulan kemudian Ibu meninggal.
Saya bisa mendampingi Ibu pada detik-detik terakhir kehidupannya. Saya bersyukur karena apa yang saya lakukan selama ini lelas tidak akan bisa membalas jasanya. Tapi setidaknya saya sudah menunjukkan diri sebagai anak yang berbakti kepada orangtua. Beberapa minggu kemudian saya kembali ke Semarang. Numpang kembali di rumah kakak sambil mencari kerja.
Sulit Melupakan Peristiwa Ahad Kelabu
Setahun lamanya saya hidup dalam pengangguran. Walau sebenarnya saya tidak menganggur total. Saya harus tahu diri bahwa saya ikut orang lain. Maka mau tidak mau saya harus membantu kakak. Walau untuk itu saya mengerjakan pekerjaan wanita. Sama seperti di rumah, di Semarang ini saya kembali memasak, mencuci atau menyapu. Kebetulan anak-anaknya yang perempuan juga pemalas.
Jujur, sebagai seorang laki-laki saya merasa tidak enak hanya sekedar di rumah. Maka saya mengirimkan lamaran ke berbagai tempat. Alhamdulillah akhirnya saya diterima keria di sebuah restoran. Di sinilah saya menemukan hikmah bahwa di balik kesulitan pasti ada kemudahan. Kebetulan restoran tersebut merniliki cabang di Bali, Yogya, Malang, Jakarta dan beberapa kota besar lainnya. Dari sini saya punya kesempatan menimba pengalaman.
Pada tahun 2001 saya dipindah tugaskan ke Bali dan ditempatkan sebagai juru masak. Kebetulan saat bekerja di Bali, saya berteman dengan seorang wanita cantik, namanya Leni. la seorang gadis yang sangat simpatik. Kebetulan Leni juga kebagian tugas sebagai juru masak.
Waktu itu saya masih termasuk orang baru. Jadi perasaan malu masih sangat besar. Apalagi mengingat Leni adalah primadona di restoran. Dengan kulltnya yang putih bersih setinggi 160 cm. la menjadi daya tarik tersendiri. Ditunjang dengan pembawaannya yang sangat simpatik.
Biasanya saya dan Leni sering mojok di sudut dapur, tempat pemotongan kangkung dan menanak nasi. Di sinilah Leni sering curhat kepada saya. Ia dengan terus terang menceritakan segala masalah yang dihadapinya. Bahkan percekcokan dengan pacarnya iuga tidak lepas dari ceritanya. Memang pacarnya Leni berbadan tegap, kulitnya bersih dan berhidung mancung. la tipe pria macho. Hanya saja ia orangnya mau menang sendiri dan terkesan kurang dewasa.
Hampir setiap mengalami salah paham dengan pacarnya, Leni selalu cerita kepada saya. Bila sudah demikian ia mulai membicarakan kriteria laki-laki pujaannya yang mengarah kepada saya. lbarat tanaman yang selalu disiram rutin, maka akar-akar yang mati akan tumbuh lagi. Perasaan cinta di hati saya pun tumbuh seiring dengan semakin seringnya saling berbagi cerita.
Demikian pula halnya dengan Leni, hatinya mulai berpaling kepada saya. la pernah mengirim kartu valentine dengan embel-embel di bawahnya, "Tolong jangan ada yang tahu. jadi ini hanya rahasia kita berdua.” Tak lain karena kisah cinta dengan pacarnya masih belum putus. lstilahnya ia mengambil langkah back street dengan saya. Ini adalah kisah cinta yang pertama dalam hidup saya.
Pada saat yang bersamaan dengan tumbuhnya rasa cinta kepada wanita, perasaan suka pada laki-laki tetap tidak hilang. Kebetulan saya tinggal di mess dengan kasur tunggal. Pada waktu saya tidur sendirian selaiu ada seseorang yang masuk kamar tanpa saya ketahui.
Tiba-tiba saja ia sudah tidur di samping saya dan dengan seenaknya saja kakinya jelalatan. la menggesek-gesekkan kakinya ke alat kelamin saya. Diperlakukan seperti itu akhirnya saya terangsang. Dan tanpa dapat saya cegah saya pun memberikan respon.
Saya mengikuti keinginannya walau itu terkadang melewati batas. Entahlah, mengapa waktu itu saya sama sekali tidak menolak atau merasa jijik. Yang jelas bayangan Ahad kelabu belasan tahun yang lalu kembali hadir. Terbetik kembali keinginan untuk mengulang sensasi yang telah lama berlalu.
Saya heran terhadap diri sendiri. Mengapa perasaan cinta pada Leni tidak menghilangkan sensasi Ahad kelabu. Sensasi itu selalu membayangi kemana pun saya pergi. Untungnya, kedekatan dengan Leni, mulai mencairkan hati. Saya lebih focus untuk menjalin kasih dengannya.
Walau akhirnya cinta pertama ini juga berakhir dengan tragis. Kenangan manis itu kandas setelah saya pindah tugas ke Surabaya. Disini, saya tidak bertahan lama. Sekitar tiga bulan sebelum akhirnya saya pindah ke Yogya. Karena tidak betah dengan gaya teman-teman yang terkesan berangasan dan nada bicaranya kasar-kasar.
Di Yogya saya hanya sempat kerja selama tiga bulan sebelum akhirnya di PHK karena menentang keputusan manajemen yang mengurangi gaji karyawan hingga empat puluh persen. Akhirnya saya merantau ke Jakarta mengikuti seorang teman lama yang menawari kerja.
Jakarta dengan segala keramaiannya membawa perubahan dramatis dalam kehidupan saya. Di sinilah saya begabung dengan aktifis remaja masjid. Walaupun pada awalnya sempat tertarik dengan seorang aktifis remaja masjid. Rasanya ingin selalu mendekati dan menyentuh kulitnya. Keinginan itu sebisa mungkin saya tahan. Saya berusaha untuk menjauhinya sehingga perasaan aneh itu sedikit demi sedikit luntur.
Selain itu, jiwa kelelakian saya secara berangsur-angsur mulai normal. Mulai ada desiran aneh saat melihat wanita berjilbab, walau hanya selintas. Hati saya tergerak untuk memperhatikannya. "Ya Allah, cantik amat," gumam saya dalam hati. "Coba kalau dia jadi istri saya. Mau nggak ya?" Tanya saya dalam hati. Sebaliknya saya mulai antipati terhadap wanita yang tidak berjilbab walaupun secantik Madonna. “Ah bodoh amat," pikir saya.
Bak gayung bersambut, keinganan untuk menikah itu akhirnya terkabul. Teman-teman saya yang memberikan motivasi agar saya cepat mengakhiri masa penantian yang melelahkan ini, membantu saya menemukan wanita idaman.
Akhirnya saya bulatkan tekad. “Ya Allah kalau memang jodoh saya, mudahkan urusannya. Semoga dengan pernikahan ini saya sembuh dari penyakit saya.” Kadang saya berdoa sambil menangis, “Ya Allah, saya ingin berumah tangga. Saya ingin membahagiakan istri. Saya ingin punya anak.” Tapi kadang saya protes, "Ya Allah, mengapa saya diberikan begini.”
Jin-jin Homo Diusir dari Tubuh Saya
Masa-masa menanti tibanya hari pernikahan secara tak sengaja saya membaca Majalah Ghoib yang menulis kesaksian seorang wanita yang kerasukan jin hingga membuatnya menjadi lesbi. Dari sini saya mulai mempernpertanyakan jangan-jangan saya juga kena gangguan jin. Mengapa sejak peristiwa Ahad kelabu itu saya selalu dihantui bayangan laki-laki. Bayangan yang belum hilang sampai sekarang.
Berbekal keyakinan tersebut saya mengikuti ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Jin yang pertama keluar bukan jin yang membuat saya homo. Tapi yang lainnya. Ada jin kakek-kakek, yang mengaku berada di mata. Sementara empat jin lainnya katanya tinggal di perut dan dada.
Barulah kemudian suara saya berubah menjadi seperti suara waria, "Eh, siapa sih ini. Ngganggu-ngganggu saja. Sebel deh," suara saya berubah seperti wanita. Saya kaget. Karena waktu diruqyah itu saya sadar tapi saya tidak bisa menguasai diri. Saya masih bisa mengingat dialog yang terjadi. “Keluar nggak. Jangan mengganggu," bentak ustadz. “ya. Saya keluar,” ujar jin waria itu sebelum akhirnya keluar. Badan saya langsung lemas tak bertenaga.
Setelah ruqyah yang pertama, mulai ada perubahan. Saya yang biasanya malas membaca al-Qur'an sekarang saya malah ketagihan. Saya juga ingin shalat berlama-lama. Rasanya nikmat sekali. Ya Allah saya ingin begini setiap hari.
Seminggu kemudian saya ruqyah yang kedua kalinya. Jin waria kembali bereaksi setelah kaki saya dipijat.
“Eh, siapa sih ini. Nganggu-nganggu saya lagi.”
"Kamu namanya siapa?"
“Susi"
"Kamu di sini sama siapa?"
"Sama teman-teman. ada Yuni ada Sara .... ,” jin Susi menyebut beberapa nama perempuan.
"Mengapa kamu di sini. lni kan bukan tempatmu"
"Habis saya suka sama masnya sih. Masnya cakep sih," suara saya seperti suara bencong.
“Lho kamu jin waria ya?"
"Iya."
“Kamu keluar nggak?"
"lya, iya. Saya kasian sama masnya. Habis saya sering lihat kalau dia berdoa nangis. lya, iya saya mau keluar."
Jin susi keluar ketakutan sambil mengajak teman-temannya.
Terus saya dipijat lagi, saya sampai muntah. Ketika dada saya ditekan, masih ada jinnya, “Eh kamu masih di sini.” “lya." Kali ini suara saya menyerupai suara laki-laki. "Kenapa kamu suka sama masnya ini"
"Saya suka sama dia. Habis orangnya cakep."
"Tapi itu bukan alam kamu. Ayo keluar bila tidak ingin terbakar." Setelah itu saya muntah lagi. Memang proses
pengeluaran jin itu cukup lama. Leher saya sarnpai terasa dijerat. Dada, punggung dan perut kesakitan. Saya sampai kelojoton dan menangis.
Ruqyah yang kedua hanya ber selang satu minggu dari hari pernikahan. Dan Alhamdulillah sejak saat itu pikiran saya tidak aneh-aneh. Tidak ada lagi keinginan untuk masturbasi. Sekarang berganti dengan gejolak syahwat pada wanita. Semakin malam gejolak syahwat itu semakin kuat. "YaAllah. Kok tiba-tiba begini ya. Apa ini
karena jawaban dari-Mu? Kau sembuhkan sakit saya."
Dengan perasaan yang baru saya benar-benar merasa siap menyambut akad nikah. Saya akui, waktu sebelum akad memang dag dig dug dalam hati tidak dapat saya tahan. Dan resepsi pun berjalan dengan lancar. Ya, Januari adalah bulan bersejarah dalam hidup. Tantangan hidup yang tidak hanya saya jalani sendirian. Kini ada orang lain yang berada di samping saya. Membantu menapaki hidup ini dengan lebih semangat. Dan melupakan masa lalu yang kelabu.
Malam pertama pun berlalu dengan sukses. Bisa dikata tidak ada hambatan yang berarti. Dua insan yang terikat dalam jalinan cinta yang kuat bersatu menjadi satu. Menghilangkan perbedaan yang ada sebisa mungkin. Alhamdulillah, saya benar-benar menjadi laki-laki normal. Ketika berduaan di kamar pun apa yang saya takutkan dulu tidak terjadi. Tugas sebagai suami dalam satu sisi terlaksana dengan baik.
"Ya Allah. lnilah jawaban dari-Mu, atas doa saya selama ini." Penyakit yang katanya tidak mungkin disembuhkan, ternyata sembuh. Dari sini saya merasakan bahwa doa adalah kunci utama. Doa pengubah takdir. Kita tidak boleh putus asa.
lni adalah sepenggal kisah kelabu masa lalu saya. Semoga kisah ini menjadi jalan keluar bagi teman-teman yang masih bergelut dengan dunia homo. Yakinlah selama ada usaha pasti ada jalan. Yakinlah dengan kekuatan doa dan tak lupa bakti kepada orangtua.
ghoib ruqyah syar’iyyah | Menjadi Homo Karena Jin Waria
0 comments:
Post a Comment