Divonis Mati karena Kanker Otak
Jum'at, 12 April 2013 / 1 Jumadil Akhir 1434 H ‘Musibah membawa hidayah’ ungkapan yang tepat untuk menggambarkan perjalanan hidup Zulaihah. Penderita kanker otak yang diperkirakan dokter hanya bertahan empat tahun. Bayang-bayang ketakutan menjemput ajal, menggiringnya menemukan ketenangan batin.
Suatu kenikmatan yang diperoleh setelah melewati jalan berliku. Kini, setelah perkiraan dokter tinggal dalam hitungan hari, Zulaihah sembuh dari derita kanker otak. Setelah mengikuti terapi ruqyah yang Islami. Dengan ditemani Ali, suaminya, ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Berikut petikannya.
Pada mulanya saya beranggapan bahwa sakit kepala yang saya alami sejak tahun, 1998 adalah sakit kepala biasa. Seperti layaknya orang kebanyakan sakit kepala yang bisa disembuhkan dengan mudah setelah minum obat yang banyak dijual di toko. Tapi kenyataannya, sakit kepala saya tidak kunjung sembuh. Meski sudah berbagai obat saya coba.
Awalnya sama sekali saya tidak mengaitkan sakit kepala yang sering terjadi menjelang Maghrib atau Shubuh itu akibat gangguan jin. Semuanya masih saya anggap wajar-wajar saja. Meski, dalam waktu yang sama, saya sering mengalami kesurupan.
Seperti yang terjadi pada suatu pagi ketika saya menemani anak saya, Riyana yang berumur 2 tahun bermain di gang yang tidak jauh dari rumah. Kejadiannya berlangsung cepat. Saya meraung-raung seperti macan. Tangan saya mencakar-cakar, mulut saya pun berbusa. Saya benar-benar mengamuk.
Lima orang laki-laki yang menenangkan saya, saya lemparkan hingga terpental. Saya terus meraung-raung. Satu persatu orang pintar berusaha mengeluarkan iin yang merasuki saya. Tapi semuanya sia-sia. Saya terus meronta-ronta sejak jam tujuh pagi hingga malam hari.
Waktu itu ada orang pintar yang mengatakan bahwa yang bisa menyadarkan saya hanya orang yang menguasai ilmu macan Siliwangi. Mendengar penuturan itu, Mas Ali, suami saya, teringat dengan Rani, seorang wanita yang juga memiliki ilmu macan Siliwangi.
Aneh. Hanya dengan sebutir telur ayam karnpung, Rani bisa menyadarkan saya. Ia melemparkan sebutir telur ayam kampung dan langsung saya telan mentah-mentah. Benar-benar aneh. Saya langsung sadarkan diri begitu menelan telur pemberian Rani.
Setelah peristiwa itu, sakit kepala saya sembuh. Dan saya pun diterima keria di Pabrik. Selang enam bulan bekerja, sakit kepala saya kembali kambuh. Sampai saya pingsan di mana saja. Entah di kamar mandi atau di jalan. Kalau dibilang karena lapar, tidak iuga. Sebelum berangkat kerja saya sudah sarapan. Dokter hanya mengatakan tekanan darah saya rendah.
Tiga bulan setelah sering sakit kepala, saya hamil lagi. Dan pada saat yang sama Mas Ali, bergabung dengan Perguruan beladiri Lentera (nama samaran). la ingin mengalahkan jin yang sesekali merasuk ke dalam diri saya. Tapi lama-kelamaan dia bisa mengobati orang.
Memang, Mas Ali sedikit banyak sudah membantu orang, tapi justru pada kondisi seperti ini, kehidupan rumah tangga kami tetap tidak mengalami banyak perubahan. Percekcokan dan perselisihan masih sering terjadi. Walau hanya karena masalah yang sangat kecil.
Pada tahun 2000, lahirlah anak saya yang kedua. Seorang bayi laki-laki mungil yang saya beri nama Sulaiman. Kelahiran anak yang kedua disambut dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi. Sakit kepala belum reda, bila tidak memarahi suami.
Memang kalau Mas Ali sudah melewati pintu, saya marah-marah, tanpa sebab. Muncul perasaan ingin melemparnya dengan apa saja. Padahal kalau, Mas Ali tidak di rumah, ada perasaan kangen menunggu kepulangannya.
Vonis Dokter yang Menggelisahkan
Bulan Desember 2000, saya berobat ke rumah sakit Koja. Saya berobat jalan sampai tiga kali, tapi tetap tidak ada perubahan. Bahkan sakit di kepala makin menggila, hingga saya pingsan. Akhirnya saya periksa darah dan dirontgen. Dari hasil check up itulah dokter mengatakan bahwa suami saya harus datang ke rumah sakit.
Hati saya berdebar, jantung saya terpacu lebih kencang. Ada apa sebenarnya dengan hasil check up, sehingga harus memanggil suami. Padahal kedatangan saya ke rumah sakit ini pun tanpa sepengetahuannya. Akhirnya saya mengaku terus terang kepada dokter bahwa saya tidak ingin Mas Ali mengetahui penyakit saya. Seberat apapun itu.
“Apakah ibu kuat menerima kenyataannya?” tanya dokter. “Ya sepahit apa pun. Sedari kecil, saya sudah siap menderita,” jawab saya menghilangkan keraguan dokter. “lbu mengidap kanker otak,” jawab dokter setelah terdiam agak lama. Lalu ia menyodorkan hasil foto rontgennya.
Saya berusaha bersikap tenang di hadapan dokter. “Kalau penyakit begini diobatinya bagaimana dok?” Tanya saya ingin tahu lebih banyak tentang kanker otak. “Kalau kankernya belum menyebar, bisa dioperasi Bu.
Tapi penyakit kanker akan berkembang biak. Dalam jangka empat tahun itu mungkin akan lebih parah. Menggerogoti otak bagian belakang sampai bagian atas. Kalau sesudah empat tahun itu jarang yang kuat,” kata dokter panjang lebar.
“Jadi dokter memvonis usia saya tinggal empat tahun lagi?” tanya saya, “Ya kurang lebih seperti itu. Tapi saya tidak mastikan lho Bu. Lebih baik ibu mengikuti terapi. Selain itu ibu harus berobat rutin.” Saya cemas. Sepulang dari rumah sakit, saya menangis seharian.
Mas Ali yang keheranan melihat saya menangis terus bertanya, “Kenapa sih? Ada apa? Ribut sama siapa?” ia mencecar saya dengan pertanyaan.
“Nggak ada apa-apa,” jawab saya. Saya masih tidak ingin membuka rahasia ini. Saya terombang-ambing dalam kebimbangan. Apakah harus berterus terang atau tidak. Semalam suntuk saya berfikir. Sampai akhirnya malam itu saya shalat.
Saya memohon keputusan yang terbaik kepada Allah. “Beban Mas Ali sudah berat. Dengan gaji tujuh ribu rupiah sehari, jelas bukan hal yang ringan untuk pendengarkan penyakit saya. Saya takut, semakin membebani pikirannya.
Bila ia kuat, mungkin tidak masalah. Tapi bila tidak kuat, maka keadaannya akan semakin gawat. Dia harus mencari uang. Anak saya butuh makan. Nanti kalau sampai dia sakit bagaimana?”
Pikiran-pikiran semacam itu terus berkecamuk dalam benak saya. akhirnya saya sampai pada keputusan untuk merahasiakannya. Yang bisa saya lakukan hanyalah menyisihkan beberapa lembar uang ribuan untuk membeli obat. Terus terang uang belanja 30 - 40 ribu seminggu untuk empat orang, itu tidak terlalu banyak.
Dalam seminggu saya hanya mampu membeli dua tablet seharga 4.500 per butir. Rahasia penyakit ini masih terjaga. Saya hanya mengatakan sakit kepala biasa, meski rasa pening dan panas di kepala memaksa saya bergulingan di tanah, karena saking sakitnya.
Tahun 2002, saya pindah kontrakan ke tempat yang agak jauh dari orangtua. Dari sini mulai muncul perubahan dalam diri saya. Ada semangat baru dalam menghadapi kehidupan ini. Saya mulai berpikir bagaimana caranya bisa membantu suami.
Saya mencoba berjualan nasi uduk tiap pagi dan sore. Meski tidak ada yang membantu. Semuanya saya kerjakan sendiri, di tengah kerepotan mengasuh dua anak yangmasih kecil-kecil. Sampai tetangga keheranan, “Kok bisa bu. Jualan begini tiap hari.” Berat memang, tapi saya tidak boleh mengeluh.
Saya menemukan kebahagiaan baru. Ketentraman jiwa karena dapat membantu suami dan membeli obat setiap hari. Bila dulu, saya hanya minum obat seminggu dua kali, kini saya bisa mengkonsumsinya tiap hari.
Hingga pada suatu hari, ketika Mas Ali sedang menemani saya berjualan, ia bertemu dengan teman lamanya. Dari obrolan singkat itu akhinya Mas Ali tertarik untuk belajar di perguruan Sanggar Bestari (nama samaran). Hampir setiap hari Minggu saya dan anak-anak diajak Mas Ali melihatnya berlatih di pantai Jakarta Utara Mereka berendam di air laut untuk menarik tenaga inti air.
Setelah sekian lama melihat latihan mereka, saya tertarik untuk menjadi anggota apalagi persyaratannya tidak berat. Beragama lslam, percaya kepada Allah dan Rasul-Nya serta harus mendapat izin dari suami. Setahun lamanya saya bergabung.
Semenjak itu, bila mendengar suara kendang ditabuh, maka tanpa sadar badan saya bergoyang-goyang saya berjoged dan lama-lama mengamuk. Katanya saya sempat menirukan gerakan-gerakan macan. Dan hanya berhenti bila saya sudah minum telur ayam kampung.
Dari penjelasan ketua perguruan Sanggar Bestari, saya baru tahu bahwa selama ini ada ilmu macan Siliwangi yang merasuk ke dalam diri saya. Itu adalah ilmu warisan dari kakek. Sakit kepala saya juga masih sering kambuh. Akhirnya saya sampaikan keluhan itu kepada salah seorang guru. “Kenapa kamu tidak memanfaatkan tenaga dalam yang kamu punya?” jawabnya.
Waktu itu, saya masih merahasiakan penyakit saya dari Mas Ali. Baru pada awal tahun 2003, saya tidak bisa menutupinya lagi. Ketika kami harus pindah kontrakan lagi. Semua barang harus dirapikan dan dibawa ke tempat baru. Resep yang saya sembunyikan di amplop hijau, hilang. Saya takut bila resep itu telah dibuang.
Salah saya memang, mengapa dari dulu saya tidak menghafal nama obat sakit kepala itu sehingga tidak kalang kabut bila kehilangan resepnya. Siang itu, saya hanya bisa menangis. Memegangi kepala yang kian sakit.
Waktu saya menangis seperti itu, Mas Ali pulang dari kerja, “Ada apa?” “Lihat amplop coklat nggak?” Saya balik bertanya. “Kan, sudah diacak-acak tikus sama kecoak. Saya buang ke tong sampah,” jawabnya.
Waktu itu saya mengontrak di lantai dua. Saya turun. Saya aduk-aduk tong sampah tapi resep itu tidak ketemu. Saya khawatir bila sewaktu-waktu sakit kepala saya kambuh. Di mana obat simpanan saya sudah habis. Sengaja resep itu saya sembunyikan. Agar tidak ketahuan.
Benar. Malam harinya saya kambuh. Semalam suntuk sakitnya tidak kunjung henti. saya menangis. Dan bergulingan di tanah. Dalam keadaan demikian, Mas Ali ndedes (mencecar), “Kamu punya sakit apa sih. Kok sepertinya sudah parah.”
Biasanya kalau sudah sakit seperti itu, sedikit membaik bila diminumkan obat. Tapi sekarang, obatnya sudah habis. Mau beli, tidak tahu, karena resepnya sudah hilang. Akhirnya saya berterus terang bahwa saya mengidap kanker otak sejak tahun 2000. Saya divonis dokter hanya bisa bertahan empat tahun.
Kasih Sayang dibalik Bencana
Plong. Rasa sesak di dada sedikit berkurang setelah bercerita apa adanya. Mas Ali hanya bisa terdiam terpaku. Dia tidak sadar bahwa selama ini saya sedang berjuang melawan penyakit yang ganas. Sejak itu saya merasakan kasih sayang Mas Ali kepada saya mulai tumbuh.
Meski, tidak bisa saya pungkiri bahwa semenjak tidak lagi mengkonsumsi obat mulai muncul bayang-bayang kematian. Kalau saya meninggal siapa nanti yang merawat anak. anak saya yang masih kecil-kecil?
Saya bersyukur, tingkah laku Mas Ali sedikit demi sedikit berubah. ia mulai memperhatikan saya dan anak-anak. Secercah harapan kebahagian telah menanti di pelupuk mata. “Ya Allah, kalau memang saya harus mendapatkan perhatian suami dengan penyakit seperti ini, mungkin ini adalah jalan yang terbaik dari-Mu untuk menutup umur saya.”
Kebetulan pada pertengahan tahun 2003, kakak saya yang bernama Habibi, main ke rumah. la memberi masukan tentang aqidah. la juga memberi saya Majalah Ghoib yang mengungkap kisah seorang ibu yang disantet dengan menggunakan ulat bulu.
Hati saya terenyuh. Ternyata al-Ma'tsurat banyak manfaatnya. Saya terketuk Kenapa saya tidak mendekatkan diri kepada Allah di usia saya yang hampir berakhir? Usia saya tinggal sebentar.
Saya sering menangis bila teringat anak-anak. Tiba-tiba saat sedang menangis di suatu malam, saya mendengar bisikan, “Kenapa kamu menangis tidak mengaduh sama yang punya? Diri kamu itu siapa yang menciptakan?” Bisikan itu mengejutkan saya.
Saya kembali menangis, “Kalau saya meninggal dengan cara seperti ini, saya ingin dikenang anak-anak. Bahwa ibunya tidak jelek. Ibunya pantas untuk dijadikan panutan,” itulah yang sering saya lantunkan setiap malam.
Seminggu kemudian Kak Habibi datang lagi sambil membawa Majalah Ghoib dan al-Ma’tsurat. Kembali saya tersentuh dengan kisah seorang ibu yang meninggal karena tabrakan. Saya menangis. Kenapa saya tidak bisa menjadi perempuan seperti itu?
Saya merasa jauh berbeda dengan wanita itu. Saya banyak berdosa kepada suami dan anak-anak. Saya kurang mengurus mereka. Semenjak itu, timbul semangat dalam diri saya. Jangan sampai sisa umur yang tinggal setahun ini harus berakhir dengan sia-sia. Saya harus mengabdi kepada suami dan anak-anak, selain pengabdian kepada Allah.
Alhamdulillah, sejak itu saya tidak pernah meninggalkan shalat. Saya pikir, kalau memang saya harus tutup umur, semoga saya bisa menebus dosa-dosa yang lalu. Saya biasakan membaca al-Ma’tsurat setiap ada waktu luang. Kalau Mas Ali sudah berangkat kerja, anak-anak selesai sarapan dan berangkat ke sekolah, saya tidak berani keluar rumah. Saya shalat Dhuha dan membaca al-Ma’tsurat.
Saya mengurung diri di kamar. Saya pikir, saya sudah mendekati kematian. Yang ada dalam diri saya jangan sampai saya mati dengan sia-sia. Saya belum paham yang macam-macam. Sampai kak Habibi memberi saya Majalah Ghoib tentang orang yang mengendarai mobil dengan mata tertutup.
Ternyata itu adalah atas bantuan jin. Dari sini, saya mulai curiga bahwa saya juga seperti mereka. Untuk itu saya ingin ikut terapi ruqyah. Karena saya takut telah melakukan syirik atas apa yangterjadi pada masa lalu. Saya ingin benar-benar bersih di akhir hidup saya.
Pada bulan Mei 2004, saat usia kehamilan saya berjalan enam bulan saya mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Waktu diterapi, kepala saya sakitnya bukan main. Saya sampai tidak tahu banyak apa yang terjadi.
Sewaktu dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kak Habibi bertanya, “Kamu mengidap kanker otak sudah berapa tahun? Cuma tadi menurut pengakuan Ustadz Sadzali sakit di kepala insya Allah bisa sembuh. Karena sakit itu akibat perbuatan jin.”
Sepulang dari Majalah Ghoib, saya tumpahkan segala perasaan. Saya mengadu kepada Allah. “Kalau bisa disembuhkan dengan cara ini, ya Allah ini adalah hidayah dari-Mu. Saya akan terus meningkatkan ibadah kepada-Mu dan berbakti kepada suami serta mengurus anak-anak dengan baik”
Saya masih bisa panjang umur. Saya masih bisa lebih lama lagi mengurus anak-anak. Apalagi saya dalam keadaan hamil, yang sebelumnya disarankan dokter untuk digugurkan. Karena sakit kepala saya yang sering kambuh.
Sebulan kemudian, saya ruqyah lagi dengan ditemani ibu dan Mas Ali. Tapi ruqyah kali ini berbeda dengan yang lalu. Perasaan saya tidak tenang dan ingin kabur. “Mendingan kabur saja, daripada nanti kamu dipermalukan disini. Ntar, saya dipermalukan di sini. Dipegang orang kayak begitu.”
Terus lihat lagi yang dipukul. “Ntar kamu dipukuli kayak begitu, emang tidak sakit. Emang tidak malu. Mendingan pulang.”
Saya langsung lari keluar. “Pulang saja, bu”. Saya bilang begitu sama ibu sambil menangis. Tapi karena kekuatan seorang ibu. Saya dituntun lagi ke dalam. Dipegangi biar tidak bangun. Di dalam saya tidak bisa tenang.
Saya menangis saja, karena ingin pulang. Akhirnya saya disemprot pakai air bidara. Saya mengamuk. Tapi saya masih setengah sadar Kata Mas Ali, sewaktu diruqyah saya sempat meludahi ustadz yang menterapi.
Saya sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi. Saya merasa malu setelah mendengar cerita dari Mas Ali. Memang, seminggu menjelang ruqyah, saya selalu diganggu bisikan dalam pikiran saya, “Nggak usah ruqyah”.
Seakan-akan ada pertentangan dalam diri saya. Saya ingin sembuh tapi pada saat lain, ada bisikan yang melarang. Bahkan mengancam, “Kalau sampai ruqyah, saya ludahi itu ustadznya.” Setiap malam saya tidak bisa tidur.
Karena bisikan-bisikan itu selalu mengganggu saya. “Lihat saja, saya bikin malu kamu di sana. Ntar yang ada sama kamu akan dimalu-maluin.” Terus timbul lagi dalam diri saya, “Ah siapa sih yang bisa mengalahkan kekuasaan Allah?” pertentangan yang ada semakin membuat hati saya tergoncang. Saya menangis. Kemudian saya kembali shalat malam lagi. Itu yang selalu saya alami selama seminggu.
Saya menangis bukan karena takut mati, tapi saya tidak mau dikalahkan syetan. “lni syetan nih.” Saya kembali menangis. Takut. Sampai waktu diruqyah memang betul terjadi. Sebelum pulang, Ustadz Syadzali (Team VVIP Ruqyah) berpesan agar saya datang lagi sebelum tiba waktu melahirkan. Karena jin yang berada di kepala mengaku masih mengancam. Jin itu ingin membawa janin saya pergi.
Saya dikasih daun bidara, dipakai untuk mandi dan minum. Waktu shalat Dhuhur, sehabis wudhu, badan menggigil. Dalam keadaan shalat tiba-tiba saya menangis. Waktu shalat Ashar terulang lagi. Saya menangis. Mungkin karena saya wudhu dengan air daun bidara. Disamping saya selalu membaca al-Ma’tsurat. Akhirnya saya diruqyah Kak Habibi.
Selang beberapa hari saya diruqyah kembali. Jin yang merasuk ke dalam diri saya, sudah kepayahan. Karena saya selalu membaca al-Ma’tsurat, dzikir dan shalat. Selain, itu saya tidak melupakan tugas sebagai seorang istri dan ibu.
Jin yang ada di kaki, katanya keluar dengan membawa luka terbakar. Sementara jin yang selama ini berada di kepala akhirnya menyerah dan keluar setelah terjadi dialog dan diajari taubat oleh Kak Habibi.
Alhamdulillah setelah jin yang di kepala keluar, kepala saya enteng. Saya tidak lagi merasakan sakit, apalagi sampai pingsan. Penyakit kanker otak yang menakutkan itu pun sembuh tanpa harus dioperasi. Sembuh tanpa menggunakan obat.
Sampai akhirnya saya berpikir, dengan sakit kanker ini bukannya saya mengeluh, tapi malah bersyukur. Justru dari penyakit kanker yang divonis dokter empat tahun, terbit hidayah. Sampai anak saya ketiga yang lahir beberapa hari setelah ruqyah terakhir, saya beri nama Siti Shalihah Nur Hidayah. Dengan nama itu saya berharap dia menjadi anak shalihah yang mendapat hidayah dari. Allah.
Padahal sebelumnya, saya sempat berpikir bahwa usia saya akan berakhir dengan berlalunya tahun 2004. Saya sampai membuat buku harian. Saya ingin membuat hari-hari saya yang terakhir dapat menyenangkan hati suami dan anak-anak.
Saya tidak mau, saya meninggal dalam keadaan sia-sia. Belum bisa menyenangkan suami. Karena selama ini selalu menyusahkan. Sampai saya sering menangis. “Ya Mas, maafkan kesalahan-kesalahan saya. lkhlaskan ya.”
Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi setiap ibu dari anak-anak dan dalam waktu yang sama menjadi istri dari seorang suami. Di balik musibah tersimpan anugerah yang tidak ternilai. Tinggal terserah masing-masing bagaimana menggali dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup.
Majalah Ghoib Edisi 31 Th. 2/29 Dzulqo'dah 1425 H/10 Januari 2005 M, Hal 4 - 9
Suatu kenikmatan yang diperoleh setelah melewati jalan berliku. Kini, setelah perkiraan dokter tinggal dalam hitungan hari, Zulaihah sembuh dari derita kanker otak. Setelah mengikuti terapi ruqyah yang Islami. Dengan ditemani Ali, suaminya, ia menuturkan kisahnya kepada Majalah Ghoib di Tanjung Priuk, Jakarta Utara. Berikut petikannya.
Pada mulanya saya beranggapan bahwa sakit kepala yang saya alami sejak tahun, 1998 adalah sakit kepala biasa. Seperti layaknya orang kebanyakan sakit kepala yang bisa disembuhkan dengan mudah setelah minum obat yang banyak dijual di toko. Tapi kenyataannya, sakit kepala saya tidak kunjung sembuh. Meski sudah berbagai obat saya coba.
Awalnya sama sekali saya tidak mengaitkan sakit kepala yang sering terjadi menjelang Maghrib atau Shubuh itu akibat gangguan jin. Semuanya masih saya anggap wajar-wajar saja. Meski, dalam waktu yang sama, saya sering mengalami kesurupan.
Seperti yang terjadi pada suatu pagi ketika saya menemani anak saya, Riyana yang berumur 2 tahun bermain di gang yang tidak jauh dari rumah. Kejadiannya berlangsung cepat. Saya meraung-raung seperti macan. Tangan saya mencakar-cakar, mulut saya pun berbusa. Saya benar-benar mengamuk.
Lima orang laki-laki yang menenangkan saya, saya lemparkan hingga terpental. Saya terus meraung-raung. Satu persatu orang pintar berusaha mengeluarkan iin yang merasuki saya. Tapi semuanya sia-sia. Saya terus meronta-ronta sejak jam tujuh pagi hingga malam hari.
Waktu itu ada orang pintar yang mengatakan bahwa yang bisa menyadarkan saya hanya orang yang menguasai ilmu macan Siliwangi. Mendengar penuturan itu, Mas Ali, suami saya, teringat dengan Rani, seorang wanita yang juga memiliki ilmu macan Siliwangi.
Aneh. Hanya dengan sebutir telur ayam karnpung, Rani bisa menyadarkan saya. Ia melemparkan sebutir telur ayam kampung dan langsung saya telan mentah-mentah. Benar-benar aneh. Saya langsung sadarkan diri begitu menelan telur pemberian Rani.
Setelah peristiwa itu, sakit kepala saya sembuh. Dan saya pun diterima keria di Pabrik. Selang enam bulan bekerja, sakit kepala saya kembali kambuh. Sampai saya pingsan di mana saja. Entah di kamar mandi atau di jalan. Kalau dibilang karena lapar, tidak iuga. Sebelum berangkat kerja saya sudah sarapan. Dokter hanya mengatakan tekanan darah saya rendah.
Tiga bulan setelah sering sakit kepala, saya hamil lagi. Dan pada saat yang sama Mas Ali, bergabung dengan Perguruan beladiri Lentera (nama samaran). la ingin mengalahkan jin yang sesekali merasuk ke dalam diri saya. Tapi lama-kelamaan dia bisa mengobati orang.
Memang, Mas Ali sedikit banyak sudah membantu orang, tapi justru pada kondisi seperti ini, kehidupan rumah tangga kami tetap tidak mengalami banyak perubahan. Percekcokan dan perselisihan masih sering terjadi. Walau hanya karena masalah yang sangat kecil.
Pada tahun 2000, lahirlah anak saya yang kedua. Seorang bayi laki-laki mungil yang saya beri nama Sulaiman. Kelahiran anak yang kedua disambut dengan sakit kepala yang semakin menjadi-jadi. Sakit kepala belum reda, bila tidak memarahi suami.
Memang kalau Mas Ali sudah melewati pintu, saya marah-marah, tanpa sebab. Muncul perasaan ingin melemparnya dengan apa saja. Padahal kalau, Mas Ali tidak di rumah, ada perasaan kangen menunggu kepulangannya.
Vonis Dokter yang Menggelisahkan
Bulan Desember 2000, saya berobat ke rumah sakit Koja. Saya berobat jalan sampai tiga kali, tapi tetap tidak ada perubahan. Bahkan sakit di kepala makin menggila, hingga saya pingsan. Akhirnya saya periksa darah dan dirontgen. Dari hasil check up itulah dokter mengatakan bahwa suami saya harus datang ke rumah sakit.
Hati saya berdebar, jantung saya terpacu lebih kencang. Ada apa sebenarnya dengan hasil check up, sehingga harus memanggil suami. Padahal kedatangan saya ke rumah sakit ini pun tanpa sepengetahuannya. Akhirnya saya mengaku terus terang kepada dokter bahwa saya tidak ingin Mas Ali mengetahui penyakit saya. Seberat apapun itu.
“Apakah ibu kuat menerima kenyataannya?” tanya dokter. “Ya sepahit apa pun. Sedari kecil, saya sudah siap menderita,” jawab saya menghilangkan keraguan dokter. “lbu mengidap kanker otak,” jawab dokter setelah terdiam agak lama. Lalu ia menyodorkan hasil foto rontgennya.
Saya berusaha bersikap tenang di hadapan dokter. “Kalau penyakit begini diobatinya bagaimana dok?” Tanya saya ingin tahu lebih banyak tentang kanker otak. “Kalau kankernya belum menyebar, bisa dioperasi Bu.
Tapi penyakit kanker akan berkembang biak. Dalam jangka empat tahun itu mungkin akan lebih parah. Menggerogoti otak bagian belakang sampai bagian atas. Kalau sesudah empat tahun itu jarang yang kuat,” kata dokter panjang lebar.
“Jadi dokter memvonis usia saya tinggal empat tahun lagi?” tanya saya, “Ya kurang lebih seperti itu. Tapi saya tidak mastikan lho Bu. Lebih baik ibu mengikuti terapi. Selain itu ibu harus berobat rutin.” Saya cemas. Sepulang dari rumah sakit, saya menangis seharian.
Mas Ali yang keheranan melihat saya menangis terus bertanya, “Kenapa sih? Ada apa? Ribut sama siapa?” ia mencecar saya dengan pertanyaan.
“Nggak ada apa-apa,” jawab saya. Saya masih tidak ingin membuka rahasia ini. Saya terombang-ambing dalam kebimbangan. Apakah harus berterus terang atau tidak. Semalam suntuk saya berfikir. Sampai akhirnya malam itu saya shalat.
Saya memohon keputusan yang terbaik kepada Allah. “Beban Mas Ali sudah berat. Dengan gaji tujuh ribu rupiah sehari, jelas bukan hal yang ringan untuk pendengarkan penyakit saya. Saya takut, semakin membebani pikirannya.
Bila ia kuat, mungkin tidak masalah. Tapi bila tidak kuat, maka keadaannya akan semakin gawat. Dia harus mencari uang. Anak saya butuh makan. Nanti kalau sampai dia sakit bagaimana?”
Pikiran-pikiran semacam itu terus berkecamuk dalam benak saya. akhirnya saya sampai pada keputusan untuk merahasiakannya. Yang bisa saya lakukan hanyalah menyisihkan beberapa lembar uang ribuan untuk membeli obat. Terus terang uang belanja 30 - 40 ribu seminggu untuk empat orang, itu tidak terlalu banyak.
Dalam seminggu saya hanya mampu membeli dua tablet seharga 4.500 per butir. Rahasia penyakit ini masih terjaga. Saya hanya mengatakan sakit kepala biasa, meski rasa pening dan panas di kepala memaksa saya bergulingan di tanah, karena saking sakitnya.
Tahun 2002, saya pindah kontrakan ke tempat yang agak jauh dari orangtua. Dari sini mulai muncul perubahan dalam diri saya. Ada semangat baru dalam menghadapi kehidupan ini. Saya mulai berpikir bagaimana caranya bisa membantu suami.
Saya mencoba berjualan nasi uduk tiap pagi dan sore. Meski tidak ada yang membantu. Semuanya saya kerjakan sendiri, di tengah kerepotan mengasuh dua anak yangmasih kecil-kecil. Sampai tetangga keheranan, “Kok bisa bu. Jualan begini tiap hari.” Berat memang, tapi saya tidak boleh mengeluh.
Saya menemukan kebahagiaan baru. Ketentraman jiwa karena dapat membantu suami dan membeli obat setiap hari. Bila dulu, saya hanya minum obat seminggu dua kali, kini saya bisa mengkonsumsinya tiap hari.
Hingga pada suatu hari, ketika Mas Ali sedang menemani saya berjualan, ia bertemu dengan teman lamanya. Dari obrolan singkat itu akhinya Mas Ali tertarik untuk belajar di perguruan Sanggar Bestari (nama samaran). Hampir setiap hari Minggu saya dan anak-anak diajak Mas Ali melihatnya berlatih di pantai Jakarta Utara Mereka berendam di air laut untuk menarik tenaga inti air.
Setelah sekian lama melihat latihan mereka, saya tertarik untuk menjadi anggota apalagi persyaratannya tidak berat. Beragama lslam, percaya kepada Allah dan Rasul-Nya serta harus mendapat izin dari suami. Setahun lamanya saya bergabung.
Semenjak itu, bila mendengar suara kendang ditabuh, maka tanpa sadar badan saya bergoyang-goyang saya berjoged dan lama-lama mengamuk. Katanya saya sempat menirukan gerakan-gerakan macan. Dan hanya berhenti bila saya sudah minum telur ayam kampung.
Dari penjelasan ketua perguruan Sanggar Bestari, saya baru tahu bahwa selama ini ada ilmu macan Siliwangi yang merasuk ke dalam diri saya. Itu adalah ilmu warisan dari kakek. Sakit kepala saya juga masih sering kambuh. Akhirnya saya sampaikan keluhan itu kepada salah seorang guru. “Kenapa kamu tidak memanfaatkan tenaga dalam yang kamu punya?” jawabnya.
Waktu itu, saya masih merahasiakan penyakit saya dari Mas Ali. Baru pada awal tahun 2003, saya tidak bisa menutupinya lagi. Ketika kami harus pindah kontrakan lagi. Semua barang harus dirapikan dan dibawa ke tempat baru. Resep yang saya sembunyikan di amplop hijau, hilang. Saya takut bila resep itu telah dibuang.
Salah saya memang, mengapa dari dulu saya tidak menghafal nama obat sakit kepala itu sehingga tidak kalang kabut bila kehilangan resepnya. Siang itu, saya hanya bisa menangis. Memegangi kepala yang kian sakit.
Waktu saya menangis seperti itu, Mas Ali pulang dari kerja, “Ada apa?” “Lihat amplop coklat nggak?” Saya balik bertanya. “Kan, sudah diacak-acak tikus sama kecoak. Saya buang ke tong sampah,” jawabnya.
Waktu itu saya mengontrak di lantai dua. Saya turun. Saya aduk-aduk tong sampah tapi resep itu tidak ketemu. Saya khawatir bila sewaktu-waktu sakit kepala saya kambuh. Di mana obat simpanan saya sudah habis. Sengaja resep itu saya sembunyikan. Agar tidak ketahuan.
Benar. Malam harinya saya kambuh. Semalam suntuk sakitnya tidak kunjung henti. saya menangis. Dan bergulingan di tanah. Dalam keadaan demikian, Mas Ali ndedes (mencecar), “Kamu punya sakit apa sih. Kok sepertinya sudah parah.”
Biasanya kalau sudah sakit seperti itu, sedikit membaik bila diminumkan obat. Tapi sekarang, obatnya sudah habis. Mau beli, tidak tahu, karena resepnya sudah hilang. Akhirnya saya berterus terang bahwa saya mengidap kanker otak sejak tahun 2000. Saya divonis dokter hanya bisa bertahan empat tahun.
Kasih Sayang dibalik Bencana
Plong. Rasa sesak di dada sedikit berkurang setelah bercerita apa adanya. Mas Ali hanya bisa terdiam terpaku. Dia tidak sadar bahwa selama ini saya sedang berjuang melawan penyakit yang ganas. Sejak itu saya merasakan kasih sayang Mas Ali kepada saya mulai tumbuh.
Meski, tidak bisa saya pungkiri bahwa semenjak tidak lagi mengkonsumsi obat mulai muncul bayang-bayang kematian. Kalau saya meninggal siapa nanti yang merawat anak. anak saya yang masih kecil-kecil?
Saya bersyukur, tingkah laku Mas Ali sedikit demi sedikit berubah. ia mulai memperhatikan saya dan anak-anak. Secercah harapan kebahagian telah menanti di pelupuk mata. “Ya Allah, kalau memang saya harus mendapatkan perhatian suami dengan penyakit seperti ini, mungkin ini adalah jalan yang terbaik dari-Mu untuk menutup umur saya.”
Kebetulan pada pertengahan tahun 2003, kakak saya yang bernama Habibi, main ke rumah. la memberi masukan tentang aqidah. la juga memberi saya Majalah Ghoib yang mengungkap kisah seorang ibu yang disantet dengan menggunakan ulat bulu.
Hati saya terenyuh. Ternyata al-Ma'tsurat banyak manfaatnya. Saya terketuk Kenapa saya tidak mendekatkan diri kepada Allah di usia saya yang hampir berakhir? Usia saya tinggal sebentar.
Saya sering menangis bila teringat anak-anak. Tiba-tiba saat sedang menangis di suatu malam, saya mendengar bisikan, “Kenapa kamu menangis tidak mengaduh sama yang punya? Diri kamu itu siapa yang menciptakan?” Bisikan itu mengejutkan saya.
Saya kembali menangis, “Kalau saya meninggal dengan cara seperti ini, saya ingin dikenang anak-anak. Bahwa ibunya tidak jelek. Ibunya pantas untuk dijadikan panutan,” itulah yang sering saya lantunkan setiap malam.
Seminggu kemudian Kak Habibi datang lagi sambil membawa Majalah Ghoib dan al-Ma’tsurat. Kembali saya tersentuh dengan kisah seorang ibu yang meninggal karena tabrakan. Saya menangis. Kenapa saya tidak bisa menjadi perempuan seperti itu?
Saya merasa jauh berbeda dengan wanita itu. Saya banyak berdosa kepada suami dan anak-anak. Saya kurang mengurus mereka. Semenjak itu, timbul semangat dalam diri saya. Jangan sampai sisa umur yang tinggal setahun ini harus berakhir dengan sia-sia. Saya harus mengabdi kepada suami dan anak-anak, selain pengabdian kepada Allah.
Alhamdulillah, sejak itu saya tidak pernah meninggalkan shalat. Saya pikir, kalau memang saya harus tutup umur, semoga saya bisa menebus dosa-dosa yang lalu. Saya biasakan membaca al-Ma’tsurat setiap ada waktu luang. Kalau Mas Ali sudah berangkat kerja, anak-anak selesai sarapan dan berangkat ke sekolah, saya tidak berani keluar rumah. Saya shalat Dhuha dan membaca al-Ma’tsurat.
Saya mengurung diri di kamar. Saya pikir, saya sudah mendekati kematian. Yang ada dalam diri saya jangan sampai saya mati dengan sia-sia. Saya belum paham yang macam-macam. Sampai kak Habibi memberi saya Majalah Ghoib tentang orang yang mengendarai mobil dengan mata tertutup.
Ternyata itu adalah atas bantuan jin. Dari sini, saya mulai curiga bahwa saya juga seperti mereka. Untuk itu saya ingin ikut terapi ruqyah. Karena saya takut telah melakukan syirik atas apa yangterjadi pada masa lalu. Saya ingin benar-benar bersih di akhir hidup saya.
Pada bulan Mei 2004, saat usia kehamilan saya berjalan enam bulan saya mengikuti terapi ruqyah di kantor Majalah Ghoib. Waktu diterapi, kepala saya sakitnya bukan main. Saya sampai tidak tahu banyak apa yang terjadi.
Sewaktu dalam perjalanan pulang, tiba-tiba kak Habibi bertanya, “Kamu mengidap kanker otak sudah berapa tahun? Cuma tadi menurut pengakuan Ustadz Sadzali sakit di kepala insya Allah bisa sembuh. Karena sakit itu akibat perbuatan jin.”
Sepulang dari Majalah Ghoib, saya tumpahkan segala perasaan. Saya mengadu kepada Allah. “Kalau bisa disembuhkan dengan cara ini, ya Allah ini adalah hidayah dari-Mu. Saya akan terus meningkatkan ibadah kepada-Mu dan berbakti kepada suami serta mengurus anak-anak dengan baik”
Saya masih bisa panjang umur. Saya masih bisa lebih lama lagi mengurus anak-anak. Apalagi saya dalam keadaan hamil, yang sebelumnya disarankan dokter untuk digugurkan. Karena sakit kepala saya yang sering kambuh.
Sebulan kemudian, saya ruqyah lagi dengan ditemani ibu dan Mas Ali. Tapi ruqyah kali ini berbeda dengan yang lalu. Perasaan saya tidak tenang dan ingin kabur. “Mendingan kabur saja, daripada nanti kamu dipermalukan disini. Ntar, saya dipermalukan di sini. Dipegang orang kayak begitu.”
Terus lihat lagi yang dipukul. “Ntar kamu dipukuli kayak begitu, emang tidak sakit. Emang tidak malu. Mendingan pulang.”
Saya langsung lari keluar. “Pulang saja, bu”. Saya bilang begitu sama ibu sambil menangis. Tapi karena kekuatan seorang ibu. Saya dituntun lagi ke dalam. Dipegangi biar tidak bangun. Di dalam saya tidak bisa tenang.
Saya menangis saja, karena ingin pulang. Akhirnya saya disemprot pakai air bidara. Saya mengamuk. Tapi saya masih setengah sadar Kata Mas Ali, sewaktu diruqyah saya sempat meludahi ustadz yang menterapi.
Saya sama sekali tidak menyadari apa yang terjadi. Saya merasa malu setelah mendengar cerita dari Mas Ali. Memang, seminggu menjelang ruqyah, saya selalu diganggu bisikan dalam pikiran saya, “Nggak usah ruqyah”.
Seakan-akan ada pertentangan dalam diri saya. Saya ingin sembuh tapi pada saat lain, ada bisikan yang melarang. Bahkan mengancam, “Kalau sampai ruqyah, saya ludahi itu ustadznya.” Setiap malam saya tidak bisa tidur.
Karena bisikan-bisikan itu selalu mengganggu saya. “Lihat saja, saya bikin malu kamu di sana. Ntar yang ada sama kamu akan dimalu-maluin.” Terus timbul lagi dalam diri saya, “Ah siapa sih yang bisa mengalahkan kekuasaan Allah?” pertentangan yang ada semakin membuat hati saya tergoncang. Saya menangis. Kemudian saya kembali shalat malam lagi. Itu yang selalu saya alami selama seminggu.
Saya menangis bukan karena takut mati, tapi saya tidak mau dikalahkan syetan. “lni syetan nih.” Saya kembali menangis. Takut. Sampai waktu diruqyah memang betul terjadi. Sebelum pulang, Ustadz Syadzali (Team VVIP Ruqyah) berpesan agar saya datang lagi sebelum tiba waktu melahirkan. Karena jin yang berada di kepala mengaku masih mengancam. Jin itu ingin membawa janin saya pergi.
Saya dikasih daun bidara, dipakai untuk mandi dan minum. Waktu shalat Dhuhur, sehabis wudhu, badan menggigil. Dalam keadaan shalat tiba-tiba saya menangis. Waktu shalat Ashar terulang lagi. Saya menangis. Mungkin karena saya wudhu dengan air daun bidara. Disamping saya selalu membaca al-Ma’tsurat. Akhirnya saya diruqyah Kak Habibi.
Selang beberapa hari saya diruqyah kembali. Jin yang merasuk ke dalam diri saya, sudah kepayahan. Karena saya selalu membaca al-Ma’tsurat, dzikir dan shalat. Selain, itu saya tidak melupakan tugas sebagai seorang istri dan ibu.
Jin yang ada di kaki, katanya keluar dengan membawa luka terbakar. Sementara jin yang selama ini berada di kepala akhirnya menyerah dan keluar setelah terjadi dialog dan diajari taubat oleh Kak Habibi.
Alhamdulillah setelah jin yang di kepala keluar, kepala saya enteng. Saya tidak lagi merasakan sakit, apalagi sampai pingsan. Penyakit kanker otak yang menakutkan itu pun sembuh tanpa harus dioperasi. Sembuh tanpa menggunakan obat.
Sampai akhirnya saya berpikir, dengan sakit kanker ini bukannya saya mengeluh, tapi malah bersyukur. Justru dari penyakit kanker yang divonis dokter empat tahun, terbit hidayah. Sampai anak saya ketiga yang lahir beberapa hari setelah ruqyah terakhir, saya beri nama Siti Shalihah Nur Hidayah. Dengan nama itu saya berharap dia menjadi anak shalihah yang mendapat hidayah dari. Allah.
Padahal sebelumnya, saya sempat berpikir bahwa usia saya akan berakhir dengan berlalunya tahun 2004. Saya sampai membuat buku harian. Saya ingin membuat hari-hari saya yang terakhir dapat menyenangkan hati suami dan anak-anak.
Saya tidak mau, saya meninggal dalam keadaan sia-sia. Belum bisa menyenangkan suami. Karena selama ini selalu menyusahkan. Sampai saya sering menangis. “Ya Mas, maafkan kesalahan-kesalahan saya. lkhlaskan ya.”
Semoga kisah ini menjadi pelajaran berharga bagi setiap ibu dari anak-anak dan dalam waktu yang sama menjadi istri dari seorang suami. Di balik musibah tersimpan anugerah yang tidak ternilai. Tinggal terserah masing-masing bagaimana menggali dan menjadikannya sebagai bagian dari hidup.
Majalah Ghoib Edisi 31 Th. 2/29 Dzulqo'dah 1425 H/10 Januari 2005 M, Hal 4 - 9
0 comments:
Post a Comment