Saturday, September 13, 2014

MEMBACA AL-QUR’AN BAGAIKAN AHLI SIHIR MEMBACA MANTERA


by ustad ; Perdana Akhmad,S.Psi

Pada muqaddimah (halaman XI), penulis mengemukakan opininya bahwa :

Fenoma “ruqyah” yang akhir-akhir ini marak menjadi salah satu pendorong ditulisnya buku ini. Saudara-saudara kita seiman dan seislam dengan bangga telah melaksanakan dan mensyi’arkan apa yang mereka katakan ruqyah. Mereka membaca ayat-ayat suci al-Qur’an al-Karim bagaikan ahli sihir yang sedang membacakan mantra-mantra.

Kesimpulan :

Kyai Luthfi mengatakan bahwa meruqyah dengan membaca a-Qur’an sama bagaikan ahli sihir yang membaca mantra.

Bantahan kami :

Wahai Kyai Luthfi, apakah anda bisa membedakan antara mantra yang dibaca tukang sihir dan doa yang dibaca seorang peruqyah syar’iyyah? Sesungguhnya anda sama sekali tidak menjelaskan perbedaan seorang yang meruqyah syar’iyyah dengan seorang tukang sihir yang membaca mantra. Kami tidak mendapatkan satu pun rujukan dalam buku anda dari pendapat para ulama ahlussunnah yang telah membedakan antara ruqyah syar’iyyah dengan ruqyah syirkiyyah.

Ada kriteria khusus dalam bacaan yang bisa dikategorikan sebagai ruqyah syar’iyyah. Kalau kriteria itu tidak terpenuhi dalam suatu bacaan, maka bacaan itu bisa dikategorikan sebagai ruqyah syirkiyyah atau mantra yang menyimpang dari syari’at islam (yangs sering digunakan oleh tukang sihir).

Syekh Ibnu hajar al-‘Asqalani berkata, “Para ulama’ telah sepakat (ijima’) bahwa ruqyah dibolehkan apabila memenuhi tiga kriteria”. [1]

Kesepakatan (consensus) tersebut disampaikan oleh beberapa ulama’ besar dan terkenal. Di antara mereka adalah Imam as-Suyuthi[2], Imam Nawawi[3], Imam as-Syaukani[4], Syekh Ibnu Taimiyyah[5], dan begitu juga Syekh Nashiruddin al-Albani (Pakar Hadits), serta masih banyak sederetan ulama’ terkenal lainnya.

Yang dimaksud dengan tiga syarat dan telah menjadi consensus para ulama’ tersebut adalah sebagai berikut :
Bacaanya Terdiri Kalam Allah (al-Qur’an) atau Kengan Asma’ dan Sifat-Nya atau Hadits Rasul

Bacaan yang dibaca oleh seorang peruqyah dengan ruqyah syar’iyyah adalah ayat-ayat Allah yang dibaca sesuai dengan kaidah bacanya, atau ilmu tajwid. Karena kita tidak boleh membaca ayat-ayat al-Qur’an kecuali sesuai dengan kaidah tajwidnya. Apabila ada seorang peruqyah membaca ayat-ayat al-Qur’an dengan cepat seperti seorang dukun membaca mantra, maka rusaklah makna dari ayat tersebut dan ia tidak akan dapat pahala, justru ia berdosa. Dan Islam juga melarang seorang peruqyah untuk membaca al-Qur’an dengan memenggal-menggal ayat yang bisa merubah maksud dan makna ayat tersebut.

Maka dari itu terkadang, kita jumpai seorang dukun juga membaca ayat al-Qur’an, tapi ia potong-potong ayat itu seenaknya. Atau mencampurnya dengan mantra yang ia baca atau rajah yang ia tulis. Ini termasuk pelecahan ayat suci yang sangat disukai oleh syetan. Apalagi bila ayat itu susunanya dibolak-balik, sebagaimana yang dikenal dengan istilah “Qulhu Sungsang”, yaitu surat al-Ikhlas yang dibolak-balik susunannya. Bacaan seperti itu, maka yang dipraktikkannya termasuk ruqyah syirkiyyah yang harus dijauhi, karena Islam telah mengharamkannya.

Di samping ayat al-Qur’an, seorang peruqyah juga bisa menjadikan do’a-do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai materi bacaannya. Karena hal itu telah dicontohkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga dipraktikkan oleh shahabat-shahabat serta para ulama’ pewaris ilmu mereka. Para ulama’ hadits telah membukukan do’a-do’a tersebut dalam kitab-kitab hadits yang mereka susun. Dan para ulama’ lain juga telah memasukkannya sebagai bacaan ruqyah dalam kitab-kitab mereka saat mengupas tentang materi ruqyah syar’iyyah.

Syekh Nashiruddin al-Albani berkata, “Ruqyah adalah do’a yang dibaca untuk mencari kesembuhan yang terdiri dari al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih. Sedangkan apa yang bisa dibaca oleh seseorang yang terdiri dari kata-kata yang bersajak atau kalimat-kalimat yang tidak jadi ada unsur kekufuran dan kesyirikannya, maka hal itu termasuk ruqyah yang dilarang.”(Kitab Dhaif Sunan Tirmidzi : 231).

Imam Nawawi juga telah berkata, “Ruqyah dengan ayat-ayat al-Qur’an dan dengan do’a-do’a yang telah diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu hal yang tidak terlarang. Bahkan itu adalah perbuatan yang disunnahkan. Telah dikabarkan para ulama’ bahwa mereka telah bersepakat (ijma’) bahwa ruqyah dibolehkan apabila bacaannya terdiri dari ayat-ayat al-Qur’an atau do’a-do’a yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi : 14/341).

Hal senada juga dinyatakan oleh Syekh Ibnu Hajar al-‘Asqalani dengan mengutip perkataan Imam Qurthubi, “Termasuk ruqyah yang dibolehkan adalah terdiri dari kalam Allah (al-Qur’an) atau asma’-Nya, atau yang do’a yang telah diajarkan Rasulullah.” [6]
Bacaannya Terdiri Dari Bahasa Arab

Para ulama’ sepakat bahwa bacaan ruqyah harus terdiri dari bahasa Arab, sebagai bahasa al-Qur’an dan as-Sunnah. Dan mereka berbeda pendapat jika bacaan ruqyah itu bukan bahasa Arab. Tapi yang perlu dicatat dan digaris bawahi adalah, tidak setiap bacaan yang berbahasa Arab itu benar maknanya atau tidak mengandung kesyirikan. Karena banyak masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam yang mempunyai persepsi bahwa yang berbahasa Arab iti pasti benar dan dilegalkan oleh Islam. Persepsi seperti itu tidak benar adanya, karena banyak juga mantra-mantra kesyirikan yang berbahasa Arab, karena pemilik atau pembuatnya orang Arab atau bisa berbahasa Arab.

Seorang ahli Hadits yang bernama Syekh Hafizh bin Ahmad Hakami berkata,“Ruqyah yang terlarang adalah ruqyah yang tidak terdiri dari al-Qur’an atau as-Sunnah dan tidak berbahasa Arab. Ruqyah seperti itu termasuk bacaan untuk mendekatkan diri kepada syetan. Sebagaimana yang dilakukan oleh pata dukun dan tukang sihir. Bacaan seperti itu juga banyak dijumpai dalam kitab-kitab mantra dan rajah seperti Kitab Syamsul Ma’arif dan Syumusul Anwar dan lainnya. Hal itu merupakan upaya musuh Islam untuk merusak Islam, padahal sesungguhnya Islam bersih dari hal semacam itu.” [7]

Seorang ahli Fiqh dan Ushul Fiqh yang bernama Imam al-Qarafi berkata, “Ruqyah adalah kalimat-kalimat khusus yang dengannya akan diperoleh kesembuhan dari penyakit dan terhindar hal-hal yang merusak dengan izin Allah. Tidak bisa dikategorikan sebagai ruqyah bila menimbulkan bahaya, tapi justru itulah yang disebut dengan sihir. Dan kalimat-kalimat (bacaan ruqyah) ada yang dianjurkan, seperti surat al-Fatihah dan al-Mu’awwidzatain. Dan ada juga yang dilarang, seperti ruqyah orang-orang jahiliyyah, atau orang-orang India dan lainnya. Karena dikhawatirkan mengandung kekufuran. Maka dari itu Imam Malik dan yang lainnya melarang ruqyah yang berbahasa selain Arab, karena dikhawatirkan di dalamnya mengandung suatu yang haram.” [8]

Tapi bila bacaannya tidak terdiri dari Bahasa Arab atau ‘Ajamiyyah, maka sebagian ulama’ ada yang membolehkannya dan sebagian lain melarangnya. Ulama’ yang membolehkan ruqyah dengan bahasa selain Arab memberikan persyaratan yang ketat. Termasuk syaratnya adalah, bisa dipahami maknanya, tidak mengandung unsur kesyirikan dan kekufuran seperti di dalamnya mencatut nama jin, malaikat, nabi, atau orang shahih dan tokoh yang dikagumi sebagai sosok yang diyakini bisa memberi pertolongan. DR.Abdullah bin Ahmad at-Thayyar berkata, “Ruqyah syirkiyyah (yang mengandung syirik) adalah bacaan yang di dalamnya memohon pertolongan kepada selain Allah SWT. Dan termasuk memohon pertolongan dan perlindungan kepada selain Allah, seperti meruqyah dengan nama-nama jin, malaikat, nabi dan orang-orang shahih.” [9]

Ibnu Taimiyyah berkata, “Adapun pengobatan orang yang kesurupan dengan ruqyah, maka bacaan yang dibaca itu ada dua macam. Apabila bacaan ruqyah tersebut terdiri dari kalimat yang bisa dipahami maknanya dan dibolehkan oleh agama Islam, maka bacaan seperti itu dibolehkan. Karena telah ditegaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengizinkan penggunaan ruqyah selama tidak mengandung kesyirikan.[10]. Tapi bila di dalamnya mengandung kalimat yang diharamkan, seperti ada kesyirikan atau maknanya tidak bisa dipahami atau mengandung kekufuran, maka tidak seorang pun diperkenankan untuk memakainya. Walaupun terkadang dengan kalimat tersebut jin mau keluar dari tubuh orang yang kesurupan. Karena bahaya kekufuran lebih besar adanya daripada manfaat kesembuhan yang diperoleh.” [11]

Imam Nawawi menukil perkataan Syekh al-Maziri, “Semua ruqyah itu boleh apabila bacaannya terdiri dari kalam Allah atau Sunnah Rasul. Dan ruqyah itu terlarang apabila terdiri dari bahasa non Arab atau dengan bahasa yang tidak dipahami maknanya, karena dikhawatirkan ada kekufuran di dalamnya.” [12]

Hendaklah Diyakini Bahwa Bacaan Ruqyah Tidak Berpengaruh Dengan Sendirinya, Tapi Berpengaruh Karena Kuasa dan Izin Allah

Karena hakikatnya yang bisa menyembuhkan penyakit, yang kuasa untuk menolak bahaya atau bencana, atau yang mampu untuk melindungi diri dari gangguan syetan hanyalah Allah SWT. Allah SWT mengabadikan keyakinan Nabi Ibrahim dalam al-Qur’an, “Dan apabila aku sakit, Dialah (Allah) yang menyembuh-kanku.” (QS. Asy-Sy’ara’ : 80). Di ayat lain, Allah berfirman, “Jika Allah menimpakan suatu kemudharatan (bahaya) kepadamu, maka tidak ada yang menghilangkannya melainkan Dia sendiri ….” (QS.al-An’am : 17). Hanya saja dalam usaha mencari kesembuhan, kita diwajibkan untuk mematuhi rambu-rambu syariat, jangan menghalalkan segala cara. Termasuk saat memilih praktik ruqyah yang menyimpang atau gadungan makin marak dan berkembang.

Kita harus memperhatikan criteria yang telah disepakati oleh para ulama’. Sebagaimana yang dipesankan oleh DR.Fahd bin Dhuwaiyyan (seorang ustadz akidah di Jami’ah Islamiyyah, Madinah al-Munawwarah). Ia menanggapi tiga syarat ruqyah di atas dengan mengatakan, “Sudah jelas, bahwa suatu hal yang sangat penting sekali untuk memahami tiga syarat yang benar. Apabila salah satu dari tiga syarat tersebut di atas tidak ada, maka kita harus berhati-hati dan waspada. Karena banyak tempat praktik ruqyah yang didatangi oleh banyak orang di berbagai belahan dunia, tapi tiga kriteria di atas tidak terpenuhi dalam praktik mereka. Padahal praktik seperti itu harus dijauhi oleh seorang muslim. Yakinlah terhadap firman Allah SWT,“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan keluar.” (QS.at-Thalaq : 2).

Dari kriteria diatas maka jika ada orang yang menamakan metode pengobatannya dengan nama terapi ruqyah walaupun menggunakan bacaan Al-Qur’an dan doa-doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam namun menambahi metodenya dengan cara-cara yang bid’ah dan penuh kesyirikan seperti menggunakan jurus-jurus pernapasan tenaga dalam, menggetar-getarkan tangannya seolah-olah mengalirkan sesuatu kekuatan, memakai ilmu-ilmu metafisik, atau pun selain menggunakan bacaan Al-Qur’an dan doa-doa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ia juga menggunakan mantra-mantra aji kesaktian (Aji Kulhu Geni, Aji Kulhu Sungsang, dst) tetaplah dinamakan ruqyah syirkiyyah sebab sudah sangat melanceng dari apa-apa yang telah dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Selain itu jika ada orang yang mengaku mengobati dengan ruqyah syar’iyyah tetapi ia dengan sengaja dan tanpa berdosa sedikit pun memegang atau menyentuh bagian tubuh yang bukan muhrimnya secara langsung hingga banyak bersentuhan kulit pada saat prosesi pengobatan maka sungguh apa yang dia lakukan sangat berdosa dihadapan Allah Ta’ala. Maka bagaimana ruqyah yang dia katakan (walau berjubah ulama, kyai sekalipun) sebagai ruqyah syar’iyyah sedangkan larangan Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersentuhan kulit mereka abaikan saja dan bagaimana pertolongan Allah akan datang jika dalam prosesi ruqyah fersi mereka sudah melakukan perbuatan dosa, sebab dengan dengan santainya menyentuh tubuh bukan mahramnya secara langsung.

Bersentuhan dengan wanita yang bukan mahram, meski pun dia muslimah, hukumnya jelas haram. Keharamannya bukan karena najisnya melainkan karena terkait dengan adab antara laki-laki dan wanita dalam Islam. Dalil yang terkuat dalam pengharaman sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram adalah menutup pintu fitnah (saddudz-dzari’ah), dan alasan ini dapat diterima tanpa ragu-ragu lagi ketika syahwat tergerak, atau karena takut fitnah bila telah tampak tanda-tandanya. Selain itu ada hadits nabi yang melarang hal itu. Dari Ma’qil bin Yasar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya ditusuknya kepala salah seorang diantara kamu dengan jarum besi itu lebih baik daripada ia menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (HR Thabrani dan Baihaqi)

Walau ada yang mengemukakan dalil bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallampernah menjabat tangan wanita namun bukanlah dengan bersentuhan langsung hingga saling bersentuhan kulit melainkan ada pengistilahan khusus atau dari balik lapisan kain. Diriwayatkan dari Ibnu Hibban, al-Bazzar, ath-Thabari, dan Ibnu Mardawaih, dari (jalan) Ismail bin Abdurrahman dari neneknya, Ummu Athiyah, mengenai kisah bai’at, Ummu Athiyah berkata: “Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, mengulurkan tangannya dari luar rumah dan kami mengulurkan tangan kami dari dalam rumah, kemudian beliau berucap, ‘Ya Allah, saksikanlah.'”Demikian pula hadits sesudahnya – yakni sesudah hadits yang tersebut dalam al-Bukhari – dimana Aisyah mengatakan: “Seorang wanita menahan tangannya”Memberi kesan seolah-olah mereka melakukan bai’at kepada Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam dengan tangan mereka.

Al-Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Untuk yang pertama itu dapat diberi jawaban bahwa mengulurkan tangan dari balik hijab mengisyaratkan telah terjadinya bai’at meskipun tidak sampai berjabat tangan. Adapun untuk yang kedua, yang dimaksud dengan menggenggam tangan itu ialah menariknya sebelum bersentuhan. Atau bai’at itu terjadi dengan menggunakan lapis tangan.”

Penjelasan bai’at itu terjadi dengan menggunakan lapisan pada tangan, dari Abu Daud meriwayatkan dalam al-Marasil dari asy-Sya’bi bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,. ketika membai’at kaum wanita beliau membawa kain selimut bergaris dari Qatar lalu beliau meletakkannya di atas tangan beliau, seraya berkata, “Aku tidak berjabat dengan wanita.” Dalam Maghazi Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, memasukkan tangannya ke dalam bejana dan wanita itu juga memasukkan tangannya bersama beliau.

Namun demikian tidaklah walau menggunakan sarung tangan misalnya kita bisa menyentuh tubuh wanita sesukanya, melainkan tetaplah pada kondisi khusus berjaga-jaga sewaktu ruqyah berlangsung dari hal-hal yang tidak diinginkan (seperti mencegah pasien yang bukan muhrimnya mengamuk hingga tangan atau kakinya dapat menyentuh tubuh kita atau bahkan melukai tubuh kita jika tidak kita tangkis dengan tangan).

Syarat prilaku dan sifat yang harus dimiliki seorang mu’alij yang meruqyah syar’iyyahadalah :
Harus beraqidah lurus seperti salafus shalih, yang bersih, jernih, benar dan terbebas dari syirik dan bid’ah.
Harus mewujudkan tauhid yang murni dalam perkataan dan perbuatan.
Harus yakin bahwa Al-Qur’an dan Sunnah punya pengaruh besar pada jin dan syathan
Harus mengetahui perihal jin dan syaithan, jerat-jeratnya, kegemarannya melalui hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Harus mengetahui pintu-pintu masuk syaithan pada manusia.
Dianjurkan dengan sangat, sudah menikah supaya bisa menjaga suasana hati.
Menjauhi hal-hal yang diharamkan, dosa kecil maupun dosa-dosa besar, dan sebagainya.
Harus mendukung dan melaksanakan berbagai ketaatan (kepada Allah dan Rasul-Nya).
Harus senantiasa dzikrullah, instrospeksi dan bertaubat. Juga harus menjaga keikhlasan dan sabar.

10. Harus mengetahui wirid-wirid harian yang diajarkan Rasulullah, seperti dzikir pagi, do’a harian seperti do’a masuk WC dan keluarnya, do’a keluar rumah, sunnah menjelang tidur dan sebagainya.

11. Harus mengetahui ilmu-ilmu hati supaya tidak mudah terperdaya lawannya (jin dan syaithan), apa yang melemahkan dan menguatkan, ilmu tentang maksiyat dan sebagainya dari pemahaman salafus shalih.

Adapun ciri-ciri perdukunan (Kahanah) dan peramalan (‘Iraafah) yang banyak dilakukan oleh para ahli sihir yang mengaku punya ilmu ghoib atau ilmu metafisika adalah sebagai berikut:
Mensakralkan mantra-mantra selain kalimat-kalimat Allah dengan bahasa Arab atau yang lainnya dengan syarat-syarat tertentu sebagai taqarrub kepada thaghut yang disembah dan dimintai pertolongan. Misalnya : sesaji, penyembelihan binatang, puasa mutih, puasa ngebleng, puasa pati geni dan sebagainya.
Menghinakan Al Qur’an atau kalimah thayyibah dengan membacanya dari belakang, menguranginya, menambahnya, mengubahnya atau membacanya di tempat najis dengan telanjang.
Ada lafal-lafal yang tidak jelas maknanya, atau tidak hubungannya satu sama lainnya.
Ada nama-nama thaghut yang diagungkan, atau nama-nama syaithan yang dijadikan wasilah kepada Allah. 

Dengan membayangkan simbol-simbol tertentu atau dibarengi dengan gerakan tertentu.
Dengan membayangkan seolah-olah melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya. Misalnya : membaca satu ayat dari surat Yusuf dengan hitungan tertentu untuk melakukan sihir mahabbah kepada seorang gadis cantik, agar bisa jadi pacarnya. Maka ia saat membaca Lii saajidiin, ia membayangkan gadis itu tunduk kepadanya.
Ada permohonan kepada selain Allah untuk menyelesaikan hajatnya, atau untuk membentengi dirinya, atau untuk menolak serangan sihir.
Mengirimkan Al Fatihah kepada orang mati dengan keyakinan arwahnya akan datang kepadanya, kemudian arwah itu dimintai tolong untuk membantu urusannya.
Ada juga dengan cara menulis mantra-mantra di kertas kemudian itu dibakar, abunya dimasukkan ke dalam segelas air untuk diminum.

10. Ada juga dengan menulis mantra-mantra syirik kemudian dijadikan azimat yang diyakini untuk penangkal bala’ atau untuk mendatangkan manfaat.

11. Bertanya namanya, nama ayahnya dan nama ibunya untuk dimanterai.

12. Meminta salah satu benda penderita (foto, kain, saputangan, peci, baju, dan sebagainya) sebagai syarat ritual atau deteksi.

13. Terkadang minta binatang dengan sifat tertentu (ayam cemani, burung pelatuk bawang dan lain sebagainya), atau media lain seperti bunga kantil, minyak ponibalsawa atau zakfaron, daun sirih ketemu ruas, buah apel jin, tanah dari rumah penderita, tanah kuburan, air sumur kramat, slametan dan sebagainya.

14. Menulis jimat-jimat tertentu (rajah), menggambar segi empat yang didalamnya ditulisi huruf dan angka, dan sebagainya.

15. Membaca mantera-mantera yang tidak difahami, potongan ayat Al-Qur’an yang dipisah-pisah dan sebagainya.

16. Kadang-kadang menyuruh penderita menyepi tidak terkena sinar matahari.

17. Kadang-kadang tidak boleh menyentuh air pada masa-masa tertentu, atau mandi tengah malam.

18. Memberi benda-benda yang harus ditanam di tanah, ditempel di atas pintu, sikep, susuk, keris, akik, cincin besi,’air sakti’, telur, ‘sabuk perlindungan’, benang untuk ditalikan di tubuh dan sebagainya atau memberikan batu kristal yang dikatakan sebagai media penarikan dan penyaluran energi.

19. Menyuruh penderita beribadah dan berwirid bid’ah (contoh: puasa mutih, bertapa atau meditasi, konsentrasi pada foto seseorang, istighosah , tahlilan, wirid sampai ribuan kali, ziarah kubur wali dengan meminta syafaat didalamnya dan lain sebagainya).

20. Terkadang sudah tahu duluan masalahnya, nama dan tempat asalnya. Dia juga bisa melihat ada jin di dalam diri seseorang.

21. Terkadang punya kamar khusus di rumahnya yang tidak boleh dimasuki orang lain.

22. Ada pantangan terhadap dirinya dan penderita terhadap hari atau tanggal tertentu (tahayyur).

23. Menulis ayat Al-Qur’an dengan sungsang, dari kiri atau dengan darah (haid) atau sesuatu yang najis.

24. Kebanyakan suram wajahnya, kebanyakan merokok, membakar kemenyan, sulit untuk tawadhu.

25. Suka mendeteksi penyakit dengan mengistilahkan dengan kepekaan tangan, memakai pendulum, transfer energi dan lain sebagainya.

26. Menggunakan ritual sihirnya dengan istilah “pembukaan”, shaktivat, inisiasi,attunement, pengisian, pembersihan dan pembukaan aura, pembuangan energi negatif, pembersihan karma negatif dan lain sebagainya.

27. Melakukan ritual atau prilaku aneh dalam pelaksanaan hajadnya seperti menggerakkan tangan seolah-olah menulis, menangkap atau menolak sesuatu, menyedot atau mengeluarkan napas dengan keras dengan mengejangkan salah satu anggota tubuhnya (biasa dilakukan oleh mereka yang belajar senam pernapasan tenaga dalam).

28. Memegang bagian-bagian tubuh pasien yang bukan muhrimnya secara langsung (bersentuhan kulit) dalam prosesi pengobatan.

29. Memberikan wejangan-wejangan yang bertentangan dengan ajaran Islam (seperti memberikan wejangan kejawen yang sesat mengenai sedulur papat lima pancer atau saudara kembar yang katanya bisa dipanggil untuk dimintai pertolongan).

Dari penjelasan yang telah kami jelaskan diatas, sungguh jauh “panggang dari api”, sungguh jauh perbedaan antara ruqyah syar’iyyah dengan ruqyah syirkiyyah. Maka tentu para pembaca sekalian sudah mengetahui ruqyah manakah yang sebenarnya dimaksudkan, jika membaca ungkapan Kyai Luthfi Ghozali (yang ditulisnya pada halaman 8-9) : “Untuk itu kita renungkan lagi tentang kegiatan yang mereka katakan ruqyah itu. Bukanlah yang diruqyah adalah orang yang sadar kemudian menjadi tidak sadar ? Ketika tidak sadar, maka para pelaksana ruqyah tersebut bersusah payah mengeluarkan jin yang terlanjur menguasai kesadaran itu, bahkan dengan tenaga dalam (katanya) sampai-sampai mengeluarkan keringat segala ? Kalau yang asalnya sadar kemudian menjadi tidak sadar dan kemudian disadarkan lagi, bukanlah yang demikian itu berarti memasukkan jin ? Inilah pokok pembahasan yang paling utama.”

Jelaslah yang selama ini dimaksudkan dan ditonton Kyai Luthfi sesungguhnya adalah ruqyah syirkiyyah sebab menggunakan tenaga dalam (inilah pokok pembahasan yang paling utama yang dimaksudkan Kyai Luthfi), yang memang pada hakikatnya menggunakan bantuan jin[13]. Bahkan pasien yang diobati dengan tenaga dalam (yang terkadang dicampur dengan ruqyah bacaan al-Qur’an) justru akan dimasuki jin dari orang yang mengobatinya [14]. Namun sayangnya Kyai Luthfi Ghozali dengan kejahilannya tidak punya kemampuan untuk memilah dan menilai yang mana ruqyah syar’i dan ruqyah syirik hingga dapat menyesatkan opini masyarakat awam, bahkan dia sendiri tidak bisa menilai ruqyah sufiyah yang dianggapnya sebagai ruqyah yang syar’i ternyata setelah kami teliti penuh dengan kesyirikan dan bid’ah.

[1] (Fathul Bari : 10/206).

[2] (Penulis kitab Tafsir ad-Durrul Mantsur)

[3] (Pensyarah Kitab Shahih Muslim)

[4] (Penulis Kitab Akidah Taisirul ‘Azizil Hamid)

[5] (Pemilik Kitab Majmu’ul Fatawa)

[6] (Kitab Fathul Bari : 10/196).

[7] (Kitab A’lamus Sunnah al-Mansyurah : 155).

[8] (Kitab al-Furuq : 4/147).

[9] (Kitab Fathul Haqqil Mubin : 106).

[10] (Lihat HR.Muslim No.2200, red)

[11] (Majmu’ul Fatawa : 23/277).

[12] (Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi : 13/341).

[13] Acara ruqyah syirkiyyah yang menggunakan kekuatan tenaga dalam, ilmu sihir juga turut disiarkan dimedia elektronika seperti acara reality show “Tim Pemburu Hantu”, “Dunia Lain” dan “Maunah Ilahi”

[14] Untuk mengetahui hakikat bantuan jin dalam tenaga dalam bisa membaca buku karya Ustadz Yuyu Wahyudin Kusnadi, Lc yang berjudul “Terapi Ruqyah Syar’iyyah VS Tenaga Dalam” Penerbit Alsina Press dan buku karya Perdana Akhmad S.Psi yangberjudul “ Membongkar Kesesatan Reiki, Tenaga Dalam dan Ilmu Kesaktian”Penerbit Az-Zahra Mediatama.




0 comments:

Post a Comment